x

Proses pertambangan

Iklan

Iput A. Futhona

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Mei 2023

Rabu, 24 Mei 2023 21:33 WIB

Perjalanan Industri Ekstraktif di Indonesia, Lewat Pintu Gerbang atau Jalur Belakang?

Pertambangan sebagai bagian dari industri ekstraktif di Indonesia merupakan salah satu sumber pendapatan nasional. Keberadaannya diatur secara rinci oleh perundang-undangan. Namun meskipun demikian, masih terdapat kegiatan tambang yang tidak mengantongi izin resmi dan tetap beroperasi tanpa hambatan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dalam berbagai aspek, seperti bagaimana keselamatan kerja pada pekerja dan bagaimana pula kondisi alam yang terimbas. Maka, permasalahan pertambangan tanpa izin (PETI) harus menjadi pemikiran bersama agar keberadaannya tidak semakin merajalela.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“… Padang hijau permadani negriku
Unggas terbang bebas nian berlagu
Membuat kharisma dunia
bagai simfoni alami …”

Demikian penggalan lirik lagu berjudul Kharisma Indonesia yang populer dinyanyikan oleh Louise Hutauruk. Lagu yang dengan puitis menggambarkan keindahan alam Indonesia. Hal yang patut kita syukuri adalah fakta bahwa selain memiliki banyak wilayah dengan visual menawan, Indonesia juga dikenal dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang dimilikinya. Kekayaan alam yang melimpah inilah yang perlu dikelola dengan baik sebagai bentuk rasa syukur kita atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Beberapa kekayaan alam Indonesia seperti emas, gas alam, minyak bumi, batu bara, dan hasil lautannya bahkan tidak dimiliki oleh banyak negara lain. Keistimewaan ini tentu menjadi objek bidikan banyak pihak untuk bisa mengelolanya. Namun meski demikian, pengelolaan kekayaan alam yang ada di Indonesia harus teratur dan terarah, tidak bisa dilakukan secara sembarangan, dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dikutip dari laman https://investbro.id/, industri yang berkaitan dengan pengambilan kekayaan alam dan memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dikenal dengan istilah industri ekstraktif. Jenis yang termasuk di dalamnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang agrikultur dan tambang. Kondisi alam Indonesia yang mendukung membuat industri ekstraktif terus berkembang.

Mineral dan batu bara misalnya, merupakan kekayaan alam tak terbarukan yang banyak berada di wilayah Indonesia. Pengelolaannya diatur oleh negara agar dapat membantu perekonomian nasional. Sebagaimana tercantum pada laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, pengelolaan mineral dan batu bara diatur oleh UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Undang-Undang ini kemudian mengalami perubahan terbaru yaitu dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2020.

Peraturan sudah ada, tetapi bukan berarti semua berjalan lurus tanpa hambatan. Catatan yang diambil dari laman Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dipublikasi para tanggal 09 Maret 2022, masih terdapat permasalahan pada pelaksanaan UU Minerba ini seperti kriminalisasi terhadap warga dan penjarahan lahan tambang. Hal ini tentu bukan bagian yang diinginkan dari proses pengelolaan kekayaan alam di Indonesia.

Pengaturan industri ekstraktif dari segi ekonomi sudah terlihat di mana Indonesia telah memiliki Peraturan Presiden no 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperoleh dari dari Industri Ekstraktif. Indonesia resmi menjadi kandidat Negara Pelaksana EITI (Extractive Industries Transparency Initiatives) pada Oktober 2010. Hal ini menjadi tanda bahwa Indonesia sangat memperhatikan proses pengelolaan keuangan yang bersumber dari pengolahan Sumber Daya Alam.

Sayangnya, berdasarkan data yang diperoleh dari laman resmi EITI, pada tahun 2017 masih terdapat 2522 izin tambang yang berstatus non C&C (clear and clean). Status C&C ini memastikan dua poin penting, yaitu bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak menyalahi aturan serta wilayah tambang tidak tumpang tindih dengan perusahaan tambang lain dan kawasan konservasi. Jumlah ini ternyata malah meningkat di tahun-tahun berikutnya. Kementerian ESDM bahkan mengeluarkan siaran pers pada 12 Juli 2022 yang membahas Pertambangan Tanpa Izin (PETI), karena berdasarkan data tahun 2021 diketahui bahwa jumlah PETI yang tersebar di Indonesia mencapai 2700 lokasi.

Masalah PETI mungkin dipandang hanya sekadar hal administratif. Padahal kenyataannya, dengan beroperasinya pertambangan yang tidak memiliki izin resmi banyak masalah lain yang muncul baik dari segi ekonomi, sosial, bahkan berkenaan dengan lingkungan hidup.

Sebagai contohnya, salah satu wilayah dengan jumlah PETI terbanyak adalah Provinsi Sumatera Selatan. Jika dikaitkan dengan masalah kualitas air pada beberapa sungai di Sumatera Selatan yang menurun drastis, tentu perusahaan yang menjalankan pertambangan tanpa izin akan menjadi sorotan. Adanya aktivitas tambang batu bara yang dilalui aliran sungai membuat kualitas airnya turun drastis. Dengan penurunan kualitas air ini tentu kualitas kehidupan masyarakat juga menurun.

Apakah dampak positif keberadaan pertambangan sebagai industri ekstraktif sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan?

Sejauh ini, permasalahan lingkungan yang ditimbulkan akibat adanya pertambangan tidak hanya dalam proses operasi produksi, tetapi juga tentang reklamasi dan pascatambang. Untuk kegiatan tambang yang memiliki IUP, tentu reklamasi dan pascatambang merupakan suatu keharusan dan diminta laporan perencanaannya. Sedangkan untuk kegiatan tambang tanpa perizinan, tidak ada jaminan reklamasi dan pascatambang akan terlaksana sebagaimana mestinya.

Hal ini harus dikembalikan pada prinsip bahwa pengelolaan kekayaan alam adalah untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, menunjang pembangunan nasional untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sejahtera berarti pula selamat atau terlepas dari berbagai macam gangguan. Maka, kesejahteraan sejatinya tidak bisa hanya diukur dari segi ekonomi. Rakyat tidak hanya harus merasa selamat dan dapat memenuhi kebutuhannya secara ekonomi, tetapi juga harus selamat dan aman dalam mengonsumsi air dan pangan meskipun tinggal di wilayah tambang.

Fakta bahwa banyak dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan dari proses pertambangan tidak bisa kita lupakan begitu saja. Kualitas air yang menurun, lahan pertanian dan perkebunan yang terganggu, dan deretan masalah lain harus terus menjadi perhatian bersama. Kondisi ini menjadikan kata “kesejahteraan” bagai puncak gunung yang tinggi dan untuk mencapainya perlu pendakian panjang serta kerja sama solid dari semua pihak.

Jika tambang yang memiliki IUP sudah menjalankan kegiatannya dengan baik sesuai prosedur, maka bagaimana dengan PETI? Ini yang kita bidik sebagai akar masalahnya. Operasi produksi yang tanpa aturan ditambah dengan rencana reklamasi dan pascatambang yang tanpa kejelasan, hasilnya tentu bukan hal yang baik. Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab?

Jika Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) selalu melaporkan keberadaan PETI pada pihak berwenang dan bahkan Kementerian ESDM pun sudah memberikan imbauannya bahwa PETI harus menjadi perhatian semua pihak, lalu mengapa kegiatan pertambangan tanpa izin ini masih terus berjalan dengan mulus?

Kata “oknum” tentu melintas dalam pikiran kita. Tetapi siapa yang menempati posisi “oknum” itu bukan hal prioritas yang harus dipikirkan agar mental kita tidak terlatih untuk terus menyalahkan orang lain.

Sebagai makhluk yang diberi akal sempurna, manusia tentu harus menggunakan akalnya dengan baik pada koridor yang benar. Jika akal sempurna ini hanya digunakan untuk mengambil kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya, maka inilah yang terjadi. Kerusakan nyata di muka bumi.

Sebagai manusia yang berkeyakinan pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, kita ketahui bahwa menjaga lingkungan adalah suatu keharusan. Alam adalah sumber daya yang bisa kita kelola untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu. Karena segala hal yang berlebihan akan berdampak tidak baik, termasuk dalam eksploitasi alam.

Industri ekstraktif tambang menjadi salah satu sumber pendapatan nasional. Hal itu tidak bisa dimungkiri. Namun jika keberadaannya mengganggu kondisi alam yang menjadi sumber kehidupan rakyat, tentu hal itu harus ditinjau ulang. Apalagi jika sifat keberadaan tambang tersebut di luar perizinan. Jika tidak bisa dihilangkan sekaligus, barangkali dicabut satu demi satu. Jika tidak bisa dicabut satu demi satu, setidaknya jangan biarkan PETI semakin merajalela. Kita cegah PETI untuk lingkungan hidup yang tetap terjaga.

 

Referensi:

https://investbro.id/industri-ekstraktif/

https://www.walhi.or.id/menuju-2-tahun-uu-minerba-puluhan-warga-dikriminalisasi-jutaan-hektar-lahan-dijarah

https://eiti.esdm.go.id/ijin-tambang-status-non-cc/

https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/pertambangan-tanpa-izin-perlu-menjadi-perhatian-bersama

https://betahita.id/news/detail/7631/kualitas-air-sungai-di-sumsel-rendah-akibat-tercemar-tambang.html.html

Ikuti tulisan menarik Iput A. Futhona lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler