x

Iklan

Richard Kalilago

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Mei 2023

Selasa, 30 Mei 2023 08:10 WIB

Bangunan Baru di Atas Pondasi Tua; Catatan Antropologi dari Kaki Gunung Cycloop

Tulisan ini didedikasikan untuk mendiang istri saya, Maria F Suwae, yang telah memberi kontribusi pimikiran mengenai cagar alam Pegunungan Cycloop dalam pandangan adat masyarakat sekitarnya. Juga berangkat dari pesan para leluhur masyarakat adat: Jaga Cycloop supaya ada air saat kemarau dan tidak kebanjiran pada saat hujan. Dalam tulisan ini akan dideskripsikan kondisi Pegunungan Cycloop ketika masih dikelola dan dimanfaatkan masyarakat adat, hingga pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berbais aturan perundangan seperti saat ini. Tulisan bertujuan untuk membangun opini publi mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dengan status Geopark Site selain status perlindungan cagar alam saat ini yang terus-menerus mengalami sejumlah ancaman dan tekanan terhadap kelestarian sumber daya alam di Cagar Alam Pegunungan Cycloop saat ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengenal Pegunungan Cycloop

Pada umumnya sudah banyak kajian yang dilakukan oleh para ahli  tentang berbagai satwa dan tumbuhan di kawasan Pegunungan Cycloop. Dari kajian itu sudah banyak menghasilkan karya-karya ilmiah yang komprehensif dan cenderung yang menjadi konsumsi masyarakat ilmiah atau para ilmuwan kampus di dalam maupun di luar negeri. Itu membuat kehidupan satwa dan tumbuhan yang ada di kawasan ini dapat dipahami secara komprehensif.

Tulisan ini adalah suatu kajian antropologi ekologi untuk memahami hubungan manusia dengan ekosistem di sekitarnya. Pemilihan aspek antropologi ekologi sebagai tema kajian ini didasarkan pada alasan sebagai berikut: bahwa sudah banyak penelitian di kawasan ini, namun kajian-kajian tersebut masih bersifat kajian tematik dan hanya bermanfaat bagi masyarakat ilmiah dan para ilmuwan serta pemerhati isu lingkungan hidup satwa dan tumbuhan. Sementara terhadap masyarakat adat dan pemerintah hanya kebagian tugas dan tanggungjawab untuk melindungi dan menjaga kelestarian kawasan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alasan lainnya adalah kawasan ini membutuhkan kajian-kajian tematik dengan pendekatan interdisiplin ilmu agar tidak sulit bagi pemerintah menetapkan kebijakan-kebijak publik yang sifatnya melindungi potensi sumber daya alam di kawasan ini. Juga agar tidak sulit bagi masyarakat melaksanakan tugas perlindungan terhadap kawasan sesuai sistem budaya masyarakat sendiri.     

Pemilihan judul Bangunan Baru di atas Pondasi Tua memberi gambaran bahwa bangunan baru merupakan peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan penetapan status perlindungan kawasan ini. Sementara pondasi lama  menggambarkan bahwa kawasan ini sejak dulu dikelola dan dimanfaatkan dengan nilai-nilai budaya, norma-norma adat, aturan-aturan adat oleh masyarakat adat yang ada di sekitar kawasan ini.

Kawasan Pegunungan Cycloop, berada di dua wilayah administrasi pemerintahan. Batas administrasinya sebagai berikut: Sebelah timur berbatasan dengan wilayah distrik Jayapura Utara, distrik Jayapura Selatan dan distrik Heram, wilayah Kota Jayapura. Di sebelah selatan berbatasan dengan distrik Sentani Timur, distrik Sentani dan distrik Sentani Barat wilayah Kabupaten Jayapura. Di sebelah barat berbatasan langsung dengan wilayah distrik Depapre dan di sebelah utara berbatasan langsung dengan wilayah distrik Ravenirara Kabupaten Jayapura.

Secara geografis, Pegunungan Cycloop membujur dari Teluk Humboltd di sebelah timur hingga ke Teluk Tanah Merah di sebelah barat dan dari tepi pantai Samudera Pasifik di sebelah utara memotong hingga ke Lembah dan Danau Sentani di sebelah selatan. Luas kawasan ini yang berada di wilayah pemerintah Kota Jayapura seluas 10,391.67 ha (33 %) dan wilayah Kabupaten Jayapura seluas 21,088.22 ha (67 %). Panjang kawasan ini adalah 22,5 mil atau 36 km membujur dari Tanjung Suaja di timur hingga Tanjung Tanah Merah di barat.

Sejak dulu, sumber daya alam di kawasan ini telah dikelola dan dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat adat yang hidup di sekitarnya, namun kelestarian kawasan ini, tetap terjaga dengan sangat baik, padahal ketika itu tak ada peraturan daerah, surat keputusan bahkan undang-undang yang ditetapkan pemerintah, agar kawasan ini tetap lestari. Berbeda dengan kondisi saat ini, dimana telah banyak surat edaran pemerintah, peraturan daerah, surat keputusan, bahkan undang-undang, tetapi hari ini kawasan yang penting dalam menopang kehidupan penduduk di Kota dan Kabupaten Jayapura ini menghadapi tekanan dan ancaman serius terhadap kelestariannya.

Sejarah Management Kawasan

Dari aspek sejarah pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di Pegunungan Cycloop ini dapat kita lihat bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam bermula, ketika pemerintah Belanda menetapkan kawasan seluas 6.400 ha, Pada tahun 1954, dengan alasan perlindungan terhadap tanah. Setelah penetapan, status perlindungan kawasan ini, pemerintah Belanda memanfaatkan air dari kawasan ini untuk kebutuhan penduduk kota Jayapura, instalasi militer, pengembangan pertanian di kota Nica (sekarang Kampung Harapan), pembangunan rumah sakit umum Dok II di Jayapura dan lain-lain.

Pada tahun 1974 Pemerintah Indonesia menetapkan kawasan seluas 4.197 ha sebagai kawasan perlindungan terhadap sumber air bagi penduduk Jayapura, Abepura dan Sentani dan pada tahun 1978 status kawasan ini ditingkatkan status perlindungannya, berdasarkan SK Menteri Perkebunan No. : 56/Kpts/Um/ 4/1979 menjadi kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop dengan luas 22.500 ha karena merupakan pensuplay air, ekosistem dan habitat serta tumbuhan dan satwa.

Pada tahun 1984, WWF Indonesia Program Papua masuk di kawasan ini dan terus berganti-ganti hingga USAID LESTARI menyelesaikan program pengelolaan kawasan ini pada Januari 2020 (BBKSDA, 2015).

Pada tahun 1987, kawasan ini kembali dipertegas dengan SK Menteri Kehutanan No: 365/Kpts-II/87 dengan status Cagar Alam dan pada tahun 2012 luas kawasan ini menjadi 31.479,89 ha berdasarkan SK Menteri kehutanan No: SK.782/Menhut-II/2012.

Pondasi Tua

Sejak dulu, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di kawasan ini telah berlangsung sejak dahulu, oleh masyarakat adat yang hidup di sekitarnya, dalam mengambil kayu soang (Xanthostomum novaeguinensis), untuk keperluan konstruksi rumah, pagar kebun, perkakas dapur, tugal, mata anak panah, obat-obatan tradisional, bahan pembuatan Tomako Batu (Alat Bayar Maskawin pada Orang Tabi). Meskipun pengelolaan dan pemanfaatan kawasan ini telah berlangsung lama, namun selalu berpegang pada pesan-pesan arif dan bijak leluhur masyarakat adat di sekitarnya, yaitu “Jaga Cycloop supaya tidak haus pada saat kemarau dan tidak kebanjiran ketika musim hujan” .

Bertolak dari pesan leluhur masyarakat adat sekitar kawasan ini, maka dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam masyarakat adat diatur dalam zona-zona pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tradisional sebagaimana diuraikan Rizky Novan Ngutra di bawah ini ;

Masyarakat Adat Sentani :

  • Nobukla/Faukla : Kampung sekaligus dengan kebun tanaman jangka panjang.
  • Onggikla/Yalikla : Tempat berkebun sewaktu-waktu, berburu, tanaman obat-obatan tradisional.
  • Weykla, Howangkla, Naukala, Hoplokala : Tempat mengambil kayu Soang (kawasan hutan alam yang dilindungi sebagai bekas kebun).
  • Poylo waybolokla : Hutan alam yang dilindungi dan berfungsi sebagai tempat bersemayam para dewa atau penguasa alam.

Masyarakat Adat Moy :

  • Kudben : Hutan dipuncak sebagai hutan alam yang dilindungi.
  • Boynugum : Hutan bekas kebun yang bertumbuh menjadi hutan alam kembali.
  • Busyo/Pay : Hutan perladangan pertanian atau perkebunan.
  • Muay Knip : Kampung.

 Masyarakat Adat Tepra :

  • Yo/Buso             : kampung dan ladang halaman.
  • Emiyere/ Emiseke : Perladangan pertanian berotasi.
  • Seke             : Bekas ladang dan telah menjadi hutan alam.
  • Sena             : Hutan alam yang dilindungi adat  ( Risky Novan Ngutra,  2017, hal 54 ; lihat juga Richard Kalilago, dalam Mongabay, 30 April 2021 Mengkaji Etnoekologi, Ruang Hidup Orang Tepra di Pegunungan Cycloop Papua )

Masyarakat Adat Ormu :

  • Tena Troikha : Hutan alam yang dilindungi adat
  • Angkwa : Kampung dan sekaligus dusun
  • Nyewa/Techa ucha : Bekas Kebun, Kebun, tempat berburu,
  • Tuaja : Hutan pantai, tempat pengambilan kayu bakar, dusun,  kayu Soang, dll
  • Tena : Hutan primer, tempat pengambilan batu untuk tomako Batu

Ilustrasi Pengelolaan Landscape pada Masyarakat Adat Tepra

Bangunan Baru

Beberapa lembaga telah mengelola kawasan ini, namun menurut hemat kami, persoalan belum terselesaikan hingga hari ini, karena pada saat penetapan kawasan ini sebagai cagar alam, masyarakat adat sekitar di kawasan ini tidak dilibatkan. Nampak sepele, namun issue pelibatan masyarakat adat dalam penetepan status perlindungan kawasan ini, telah mengesampingkan pengelolaan  dan pemanfaatan sumber daya alam tradisional masyarakat adat. Inilah issue central dan sangat mendasar yang perlu diselesaiakan.

 

Peta Batas Cagar Alam Pegunungan Cycloop (Doc. BBKSDA - Prov. Papua)

Issue-Issue Tekanan dan Ancaman

Hari ini, kawasan ini menghadapi tekanan dan ancaman serius terhadap kelestariannya dan bahkan telah berbalik mengancam keberadaan penduduk sekitar kawasan ini seperti : Perla-dangan, Perburuan Satwa, Pengambilan Tanaman Hias, Galian Golongan C dan Rencana Per-tambangan Nikel, Pembangunan Perumahan Penduduk, Pembangunan Sarana dan Prasana Publik, Kebakaran Hutan disengaja, Pengambilan/Penebangan kayu bakar

Menurut Yakonias Maintindom (2006 ; 58 ), bahwa penetapan status perlindungan terhadap kawasan konservasi ini menjadi polimik antara masyarakat adat dan pemerintah. Masyarakat adat berpandangan bahwa pemerintah memproteksi dusun-dusun mereka dalam kawasan Cagar Alam, tanpa keterlibatan masyarakat adat. Sementara pemerintah berpendapat bahwa pemerintah hanya memproteksi kawasan ini untuk kepentingan bersama penduduk Kota dan kabupaten Jayapura. Sesungguhnya, konflik ini masih berlangsung hingga saat ini dan perlu diselesaikan segera, sebelum semua menjadi terlanjur.

Tekanan dan ancaman terhadap pelestarian kawasan ini, sesungguhnya telah berdampak dan berbalik mengancam keberadaan penduduk di sekitarnya, seperti ; debit air bersih yang terus-menerus menurun setiap tahun, bahkan saat ini beberapa bagian wilayah di Kota Jayapura mengalami kekeringan dan kita baru saja menghapus air mata kita, ketika banjir bandang pada Maret 2019 lalu, saat ratusan jiwa dan harta benda hilang.

Solusi : Membungkus Status Kawasan Cagar Alam

Menyimak perjalanan stautus perlindungan yang diemban kawasan Pegunungan Cycloop, selama 40 tahun lebih, sesungguh perlu dilakukan evaluasi apa capaian-capaian saat ini? Apakah pengelolaannya lebih baik? Apakah semua penduduk di sekitarnya menyadari bahwa kawasan ini merupakan asset bersama yang perlu dijaga kelestariannya? Apakah ada pendanaan khusus dari daerah ( Dana Otsus ) untuk perlindungan kawasan konservasi?

Pertanyaan-pertanyaan di atas, pada dasarnya telah mendorong gagasan atau ide untuk  membungkus kawasan Cagar Alam Cycloop saat ini dengan status perlindungan lain, seperti Geopark. Berdasarkan study kelayakan, ternyata status perlindungan Geopark  lebih layak untuk digunakan, maka kita tetapkan sebagai kawasan Geopark Site, sehingga kawasan Cagar Alam Cycloop saat ini adalah zona perlindungan dari kawasan Geopark. Dengan demikian semua peladang yang sedang berladang di sekitar dan di dalam kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop perlu dialihkan ke wilayah selatan atau sekitar Danau Sentani ( Lihat Peta ).

Ilustrasi Luasan Kawasan Geopark yang kami usulkan (Peta Dasar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop/Dok. BBKSADA Papua)

Apa itu Geopark Site? Menurutt  Ibrahim Komoo (1993) geopark adalah sebuah konsep pengembangan kawasaan dimana beberapa geoheritage yang terletak berdekatan di wilayah yang telah dibangun dikelola dengan cara mengintegrasikan prinsip-prinsip konservasi dan rencana tata ruang eksisting pemerintah yang disusun atas masukan dan partisipasi masyarakat.

Geopark merupakan prakarsa UNESCO (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization) untuk mendukung taman bumi (geopark), yang merupakan respon atas besarnya kebutuhan akan kerangka kerja internasional yang disuarakan oleh sejumlah negara untuk meningkatkan perlindungan warisan bumi (geoheritage) yang merupakan kunci sejarah kehidupan di planet ini.

Dengan demikian kawasan Pegunungan Cycloop memiliki karateristik alam dan lingkungan yang sangat potensial, setidaknya terdapat tiga konsep pemanfaatan sumber daya alam berlandaskan perlindungan alam, yaitu ekowisata (ecotourism), geowisata (geotourism), dan taman bumi (geopark).

Kesimpulan

Hubungan antara masyarakat adat di sekitar kawasan ini telah berlangsung sejak dulu, meskipun selama itu kawasan ini dikelola dan dimanfaatkan, namun masih ada dalam batas-batas orientasi nilai budaya (sistem budaya) masyarakat adat, sehingga kawasan ini tetap terjaga dengan baik. Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa ada hubungan yang kuat antara mereka dengan lingkungan alam sekitarnya.

Apabila membandingkan situasi dan kondisi kelestarian alam di kawasan Pegunungan Cycloop pada jaman sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi memang ada perbe-daan-perbedaan yang signifikan. Ketika belum ada status perlindungan hukum terhadap kawasan ini, interaksi masyarakat adat terhadap kawasan ini sangat memperhatikan kelestariannya. Hal ini didorong oleh pesan-pesan bijak para leluhur “Jaga Cycloop supaya tidak banjir pada waktu hujan dan tidak haus pada waktu kemarau”. Berdasarkan pesan-pesan bijak para leluhur itu, maka dalam interaksi masyarakat adat dengan sumber daya alam di kawasan ini dikelola dan dimanfaatkan dalam zona-zona pemanfaatan tertentu. Situasi dan kondisi berbeda, ketika ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan status perlindungan, justru pada saat penetapan status inilah kelestarian alam dan sumber daya alam di kawasan ini semakin terdegradasi. Hal ini dapat saja terjadi, karena didorong oleh pertambahan jumlah penduduk yang masuk tanpa difilter oleh pemerintah daerah, penega-kan hukum yang lemah dan inkonsistensi, dan pemanfaatan dana Otsus yang tidak tepat sasaran.

REFERENSI

  1. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Papua ( 2015 ) : Materi Presentasi : Kolaborasi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Cycloop, slide 3
  1. Geni Dipatunggoro ( Desember 2007 ) Laboratorium Geologi Teknik, Jurusan Geologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran : Nikel Laterik Di Daerah Tanah Merah, Tablasufa Dan Ormo, Kabupaten Jayapura, Propinsi Papua dalam : Bulletin of Scientific Contribution. Vol. 5, No. 3, Desember 2007: 173-181.
  2. R Mansoben ( 1999 ), Makalah Seminar Dampak Eksploitasi SDA terhadap Masyarakat dan Pelestarian Lingkungan hidup di Irian Jaya, 15-16 Desember 1999, di Kampus Universitas Cenderawasih, Abepura-Jayapura : Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya
  3. Johszua Robert Mansoben (1995), Terbitan LIPI – URL Seri 5,: Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya.
  1. Heddy Shri Ahimsa Putra, (1994) : Dalam Jurnal Masyarakat Indonesia Tahun xx, No 4, 1994, Antropologi Ekologi : Beberapa Teori dan Perkembangannya .
  2. Richard Kalilago ( 2021 ) : Dalam Mongabay, terbitan 30 April 2021: Mengkaji Etnoekologi Ruang Hidup Orang Tepra di Pegunungan Cycloop Papua
  1. Risky Novan Ngutra, ( 2017 ), Thesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor : Model Pengembangan Ekonomi Lokal Masyarakat Dalam Rangka Pelestarian Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop, Jayapura Papua 2017.
  1. Sri Nurani Kartikasari, Andrew J. Marshall dan Bruce M. Beehler,( 2012) : Ekologi Papua Seri 4
  1. Uji, ( 2005 ) : Dalam Jurnal Teknik Lingkungan P3TL – BPPT Keanekaragaman dan Potensi Flora di Cagar Alam Pegunungan Cycloop Papua,
  1. Yaconias Maintindom, Andry Indrawan, Hariadi Kartodihardjo (2006), Dalam Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 3 : 58-71 : Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Lahan Pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop.

Ikuti tulisan menarik Richard Kalilago lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler