Aku Lupa

Kamis, 20 Juli 2023 12:07 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Cara Melupakan Kenangan Buruk
Iklan

Entah apa istilahnya dalam dunia kedokteran. Katanya aku tidak menderita Alzheimer, sebab sifatku ini dari kecil. Aku juga tidak lupa ingatan, karena aku masih bisa mengingat hal-hal yang sering aku jumpai, seperti ibuku. Aku bisa mengingat sesuatu asal jangan dalam waktu yang lama.

Hal yang paling aku sedihkan di dunia ini hanya ada satu hal: lupa. Yah, aku mempunyai sifat pelupa yang benar-benar membuat susah hidupku.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan karena sifatku inilah aku sering disalahpahami banyak orang sebagai sikap yang sombong, khususnya teman-temanku yang sudah lama tak berjumpa. Aku selalu kesulitan menghapal wajah-wajah mereka.

 

Jadi, jika kau adalah teman lamaku dan bertemu aku di jalan lalu aku tak menyapamu, itu bukan karena aku sombong atau belagu, tapi aku benar-benar lupa kepadamu.

 

Pernah di suatu waktu aku bertemu dengan seorang wanita, ia menegurku sewaktu aku hendak pulang dari pasar.

 

"Hei, Don. Gimana kabarnya? Wah, tambah gemuk sekarang, ya?" ucapnya dengan ekspresi sangat akrab.

 

Aku yang memang pelupa tak bisa mengenali ia siapa. Berkali-kali memutar otak mencoba menjajaki riwayatnya dalam kepalaku, tapi aku benar-benar tidak menemukan jejaknya dalam rekaman otakku.

 

Akhirnya aku suka ngasal menyebut nama mereka. Bukankah itu lebih baik daripada berkata "Kamu siapa, ya?".

 

Ayolah, itu terkesan lebih sadis, bukan?

 

"Eh Sinta, apa kabar?" terkaku sekenanya waktu itu.

 

"Kok, Sinta, aku Yayuk, Don. Astaga masa lupa. Teman satu kelas waktu SD," jawabnya.

 

Jangankan teman SD, orang yang aku temui lebih dari satu bulan saja aku sudah tidak kenal. Sebabnya apalagi kalau bukan karena sifat pelupaku ini.

 

Kali lain aku bertemu dengan seorang saat diajak oleh ibuku di suatu hari.

 

"Eh, Doni, sudah besar, ya, sekarang?" ucapnya. Aku kesulitan menebak, akhirnya aku seperti biasa ngawur saja sekenanya.

 

"Mbah Marijan, ya?"

 

"Nak, dia itu pamanmu. Namanya Pakde Rojak. Mbah Marijan, kan, juru kunci gunung Merapi," tukas ibuku menjelaskan dengan sabar.

 

Yah, ibuku adalah orang pertama yang paling mengerti keadaanku. Rasanya hanya dia yang memahami aku di dunia ini.

 

Kali lainnya aku bertemu dengan seorang yang tiba-tiba menyapa saat aku pulang dari warung sebelah rumah.

 

"Don. Gimana kabarmu? Lama tak jumpa, ya? Masih pelupa?" tukasnya. Pasti ini orang sudah cukup akrab denganku makanya dia sudah tahu sifatku.

 

Akhirnya aku menebak dia adalah pasti kerabatku.

 

"Bulek Kasmi, ya? Iya Bulek, kabarku baik."

 

Dia melotot, "Bulek mbahmu kiper, saya Parjo, tukang bangunan yang bangun rumahmu dulu."

 

Bahkan nama perempuan dan laki-laki pun aku suka salah menempatkan. Coba bayangkan betapa susah hidupku.

 

Aku suka ngawur menyebut nama seseorang dengan nama-nama yang aku simpan di kepala. Kadang nama artis atau siapapun yang aku tahu dari buku atau tayangan di tv.

 

Dan ini tidak hanya soal nama manusia.

 

"Pus pus kucingku sayang, sini," ujarku sambil menjentikkan jari-jariku siap memberi makan.

 

"Dia bukan kucing, Nak. Dia ayam," kata ibuku menjelaskan. Ibuku memang selalu telaten memberitahukan kepadaku apa-apa yang aku salah dalam menyebutkannya.

 

Dan banyak kisah yang lainnya.

 

Entah apa istilahnya dalam dunia kedokteran. Katanya aku tidak menderita Alzheimer, sebab sifatku ini dari kecil. Aku juga tidak lupa ingatan, karena aku masih bisa mengingat hal-hal yang sering aku jumpai, seperti ibuku. Aku bisa mengingat sesuatu asal jangan dalam waktu yang lama.

 

Kata ibuku sih, waktu kecil aku lahir prematur. Ibu melahirkanku ketika usia kandungan ibu baru menginjak usia 7 bulan. Dan katanya anak prematur akan mempunyai masalah dalam otaknya. Entah benar apa tidak aku tidak tahu.

 

Teman-temanku sering mengejekku kalau aku suka makan berutu. Pantat ayam. Katanya kalau pelupa itu gara-gara suka makan itu. Ada-ada saja.

 

Namun, karena terlalu sering mereka mengejekku, akhirnya aku mengadukan juga kepada ibuku.

 

"Bu, apakah aku selama ini ibu kasih makan berutu? Kata teman-temanku aku pelupa begini karena suka makan itu?"

 

Ibuku hanya tersenyum waktu itu dan bilang kalau ia tak memberikan aku makan itu.

 

"Atau jangan-jangan ibu waktu ngidam aku suka makan berutu?" selidikku.

 

Namun, ibu juga menjelaskan bahwa ia juga tak melakukan itu.

 

Pernah aku di bawa ke seorang laki-laki aneh di suatu tempat yang cukup jauh, kata ibuku aku mau diobati.

 

"Oh, jadi ini anaknya," kata lelaki tua itu sembari memegang kepalaku begitu aku sampai di tempatnya.

 

Seperti biasa aku kesulitan mengingat siapa dia.

 

"Pakde Jono, ya," tebakku.

 

"Nak, ini Mbah Jiwo, dukun yang akan mengobatimu."

 

Coba tebak apa yang dikatakan dukun itu. Ia bilang bahwa pikiranku suka dicuri oleh setan makanya aku pelupa dan katanya aku harus diruwat. Ruwatan itu harus menyembelih satu ekor kerbau bule.

 

Jangankan kerbau bule, kerbau pribumi pun Ibu tidak mampu membelinya karena memang keuangan kami kala itu sangat miris sejak ditinggal bapak meninggal. Akhirnya ibu mencari dukun lain. Dan jawaban dukun itu berbeda-beda. Ada yang bilang kalau aku sedang diguna-guna oleh mantan ibuku yang sakit hati. Ada yang bilang aku adalah anak pembawa sial. Ada yang berkata aku ketempelan demit. Dan macam-macam. 

 

Setelah kejadian itu akhirnya ibu tidak membawaku ke orang-orang pintar itu lagi. Ibu juga tidak menyekolahkanku di sekolahan seperti anak-anak pada umumnya. Mungkin ibu paham dan tidak mau aku jadi bahan olok-olok. Ibu memilih mengajariku sendiri apa-apa yang harus diketahui seorang anak seperti baca tulis dan hitung menghitung.

 

Baginya itu sudah cukup.

 

Usiaku kini sudah 20 tahun. Aku sudah merasa lebih baik daripada dulu-dulu karena aku menemukan cara agar tidak terlalu pelupa lagi.

 

Ya, aku menemukan cara dengan mencatat setiap kejadian dan orang-orang yang aku temui dalam hidupku di sebuah buku tebal. Kalau tentang wajah orang, akan aku gambar sekenanya lengkap dengan ciri-cirinya dan aku kasih nama. Lalu, saat akan menjelang tidur aku baca-baca semua itu sampai aku terlelap. Terus begitu setiap hari.

 

Makanya aku bisa menuliskan kisah-kisah itu untuk kalian. 

 

Namun, sampai di sini tampaknya aku harus minta maaf kepada kalian kalau cerita pendek ini harus berakhir di sini.

 

Maklum, aku lupa kelanjutannya seperti apa.

 

***

 

End.

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asmaraloka Dewangga

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Pahlawan

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB
img-content

Nggak Bahaya, Ta?

Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua