x

ilustrasi korban

Iklan

Anggi Canser

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 April 2023

Rabu, 19 Juli 2023 14:43 WIB

Mengurai Pro-Kontra Ultimatum Tembak Mati Pelaku Begal

Mendukung atau menolak pernyataan tembak mati bagi pelaku begal harus dipikirkan matang dan tidak boleh dianggap sebagai candaan, gertakan, maupun alat pencitraan. Karena hal itu menyangkut nyawa dan hak hidup seseorang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Anggi Canser

Tindakan membunuh seseorang sebagai bentuk hukuman bagi pembunuh seringkali menimbulkan kontroversial. Salah satu kontroversi yang belakangan viral yaitu soal ultimatum tembak mati pelaku begal yang disampaikan oleh Bobby Nasution selaku wali kota Medan. Pernyataan orang nomor satu di kota Medan itu ramai diperbincangkan di media sosial, sehingga menimbulkan polemik dan kemudian memecah belah publik.

Di satu sisi, ada masyarakat yang mendukung pernyataan Bobby, namun di sisi berlawanan ada juga masyarakat yang mengecam pernyataan itu. Namun, dapat dipahami bahwa keduanya punya argumentasi. Meski demikian, jika dicermati lebih mendalam, ada kelemahan dan bias kepentingan pada pendapatnya masing-masing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adapun masyarakat yang mendukung (pro) pernyataan menantu Presiden Jokowi itu merasa bahwa keadilan juga harus ditegakkan bagi korban begal. Pasalnya, selain merampas harta benda milik si korban, pelaku begal juga kerap melakukan kekerasan fisik yang fatal, bahkan ada yang sampai merenggut nyawa korbannya. Karena itu masyarakat yang pro atau setuju pelaku begal ditembak mati, alasannya antara lain agar terpenuhinya rasa keadilan bagi si korban dan keluarganya.

Di samping demi terciptanya rasa aman di lingkungan masyarakat, ultimatum tembak mati mengandung pesan yang kuat yang dirasa mampu memberikan efek jera dan efek pencegahan kepada para pelaku begal untuk berpikir dua kali sebelum melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut.

Sebaliknya, di pihak yang berseberangan, masyarakat yang tidak mendukung (kontra), memahami bahwa, menyetujui tembak mati pelaku begal sama artinya membenarkan kejahatan untuk menumpas kejahatan, dan hal itu dipandang sama biadabnya.

Selain itu, masyarakat yang kontra juga menyadari adanya potensi bahaya resiko kekeliruan yang dapat terjadi di berbagai pihak, baik itu oleh masyarakat di jalanan, oleh aparat kepolisian di lapangan, bahkan oleh hakim di pengadilan. Sebab, mereka yang kontra juga belajar dari pengalaman sebelumnya, dimana sistem peradilan tidak selalu sempurna dan ada resiko orang yang dinyatakan bersalah lalu dihukum mati, namun kemudian tidak terbukti bersalah. Yang mana hal itu mencederai etika kemanusian. Sementara hukum alam mengajarkan pada kita bahwa nyawa yang sudah diambil tidak lagi dapat dikembalikan.

Hal lainya yang mereka pedulikan ialah tentang hukuman alternatif yang bisa memberikan kesempatan atau peluang bagi pelaku kejahatan untuk bertobat, lalu memperbaiki diri, hingga kemudian mampu memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat, bangsa dan negaranya.

Kejahatan dapat dipahami sebagai kegiatan pelanggaran hukum yang berkenaan dengan perilaku manusia. Akan tetapi untuk mengetahui suatu kegiatan itu bertentangan dengan norma hukum yang berlaku, maka perlu dibuktikan melalui serangkaian proses hukum di pengadilan. Oleh karena itu, dalam menyikapi persoalan yang menyangkut nyawa seseorang, kita harus mengacu pada norma hukum. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 A UUD 1945 bahwa setiap orang berhak untuk hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Artinya, orang lain selain dirinya sendiri tidak berhak atau dilarang merenggut nyawa atau kehidupan seseorang.

Disamping itu, sejarah mengkonfirmasi pada kita, bahwa perbuatan jahat tidak melulu datang dari pelaku begal yang notabene adalah rakyat miskin. Perbuatan jahat juga dapat dilakukan oleh orang-orang kaya, berpendidikan tinggi, pejabat tinggi, bahkan aparat penegak hukum itu sendiri. Yang membedakannya, antara lain yaitu jenis, ragam, dan karakteristik kejahatan yang mereka lakukan. Hal itu diverifikasi dalam banyak temuan penelitian yang menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor yang membuat orang bertindak kriminal. Namun hal itu bukan berarti orang yang tidak miskin tidak akan berbuat jahat. Sebab, setiap orang pada lapisan tertentu diliputi jenis masalahnya masing-masing yang mendorong mereka melakukan sesuatu termasuk perbuatan jahat.

Ada banyak contoh kasus mengenai hal itu, salah satunya kasus Ferdy Sambo yang telah di vonis berdasarkan proses hukum yang sah, yang mana perbuatan pidana yang dilakukannya itu berhubungan dengan soal rasa harga diri, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan soal kemiskinan.

Contoh kasus lainnya, baru-baru ini beberapa media online seperti tempo.co, kompas.com, dan aceh.tribunnews.com juga memberitakan mengenai kasus salah tangkap oleh aparat kepolisian kota Banyumas pada seorang pria bernama Oki Kristodiawan yang diduga melakukan tindak kriminal sehingga dilakukan penahanan. Namun sebelum dinyatakan terbukti bersalah oleh hakim di pengadilan, Oki kemudian dipulangkan ke rumah orang tuanya dalam keadaan tidak bernyawa dengan tubuh penuh luka. Tentu peristiwa memilukan semacam itu bukan kali pertama menunjukkan bahaya resiko kesalahan dari aparat penegak hukum di negeri ini.

Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, kejahatan berkaitan dengan perilaku manusia. Sedang perilaku manusia itu sendiri selalu berkaitan dengan kebutuhan yang khas, dan sifatnya bisa berlapis-lapis. Menurut hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan akan rasa aman adalah lapisan kedua setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan fisik lainnya terpenuhi. Dengan kata lain, terlebih dulu setiap orang akan memenuhi kebutuhannya yang paling dasar, contohnya yaitu mengatasi rasa lapar, haus, seksual dan sebagainya. Di mana pada tahap ini, orang belum sampai memperdulikan lapisan-lapisan di atasnya, karena masih diliputi tekanan akan kebutuhannya pada lapisan pertama tersebut. Dalam upaya memenuhi kebutuhan dasarnya itu, orang akan menerima segala konsekuensi atas tindakan yang dapat membuatnya tidak aman dan nyaman, bahkan telah siap menangung resiko atas perbuatannya itu. Dengan demikian, besar kemungkinan, masyarakat yang pro pada tindakan menumpas kejahatan demi terciptanya rasa aman, adalah orang-orang lapisan kedua dan lapisan di atasnya yang dapat mengatasi persoalan kebutuhannya pada lapisan pertama dengan lebih mudah.

Pada intinya, baik yang pro maupun yang kontra sepakat bahwa mereka sama-sama ingin masyarakat hidup dalam rasa aman, damai, dan keadilan ditegakkan bagi setiap orang tanpa pandang bulu, karenanya menumpas kejahatan adalah suatu tindakan yang dianggap benar dan mulia. Namun, memberantas kejahatan dengan melakukan kejahatan dapat mengindikasikan banyak hal yang berbahaya. Diantaranya, dapat ‘menyembunyikan’ atau ‘mengamankan’ kejahatan yang telah-sedang-akan berlangsung.

Sekalipun punya niat dan tujuan yang baik, namun pejabat publik, aparat kepolisian, maupun masyarakat, perlu bersikap netral, objektif, serta bijak dalam menyikapi setiap persoalan yang ada, termasuk dalam soal kriminalitas. Sebab, mengenai penegakan hukum di wilayah Republik Indonesia, kewenangannya telah diatur secara tegas dalam konstitusi dan undang-undang yang berlaku. Karena itu penanganan masalah kejahatan tidak boleh dilakukan secara barbar, baik itu melalui tindakan nyata atau tegas oleh aparat kepolisian, oleh masyarakat di lapangan, maupun oleh pejabat publik dengan membuat penyataan-penyataan yang berpotensi menimbulkan keonaran. Maka dari itu, Bobby Nasution tidak perlu terkesan pencitraan untuk menarik simpati masyarakat lapisan kedua dan seterusnya. Serta tidak harus memasang badan untuk aparat kepolisan hanya demi terwujudnya gagasan kolaborasi yang diusungnya sejak awal mencalonkan diri sebagai wali kota Medan.

Di satu sisi kita juga mengapresiasi niat baik Bobby untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat dengan membuat satgas begal, tapi disadari atau tidak disadari, rasa aman itu bukan untuk segelintir orang pada lapisan kedua dan lapisan di atasnya, melainkan juga semua orang sebagaimana tercantum dalam sila ke-lima pancasila.

Di lain sisi kita juga perlu mengkritik pernyataan Bobby sebagai pejabat publik, karena niat baik juga harus dibarengi dengan cara-cara yang baik menurut hukum. Hal yang barangkali luput dari kesadarannya sebagai pejabat, ia seakan-akan tidak pernah peduli seperti apa rasanya menjadi warga yang menghadapi dilema untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara Bobby tampak sibuk mengkhawatirkan soal prestasi dan karirnya sebagai pejabat publik. Karena itu pernyataan Bobby yang mendukung kejahatan untuk menumpas kejahatan bukanlah solusi, melainkan sinonim atau eufemisme dari kata 'kejahatan' itu sendiri. Sebab, hampir semua kasus kejahatan menunjukkan pada kita bahwa tindakan jahat selalu diupayakan oleh yang lebih kuat kepada yang lebih lemah.

Seringkali dalam melancarkan aksinya, pelaku begal tidak bertindak sendirian, dan perbuatan itu bukan pula dilakukan untuk gagah-gagahan. Melainkan untuk merampas harta benda milik targetnya yang kemudian dijual atau diuangkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pembegal dapat berbuat semakin sadis karena sang korban melakukan perlawanan dalam upaya mempertahankan harta benda miliknya, hal itu terjadi barangkali karena sang korban merasa harta itu merupakan benda berharga satu-satunya yang ia miliki.

Oleh karena itu perlu adanya suatu tindakan bersama-sama secara sosial di samping menumpas kejahatan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Salah satu tujuannya yaitu demi menghindari banyaknya korban jiwa. Misalnya dengan menciptakan layanan berhenti membegal dengan melibatkan berbagai pihak yang relevan, seperti psikiater, guru agama, atau pihak lainnya yang sekiranya dapat membantu menyadarkan serta mengubah perilaku buruk pembegal ke perilaku yang lebih baik. Tujuannya agar pelaku begal tidak melakukan atau pun mengulangi perbuatan yang sama dikemudian hari yang dapat merugikan dirinya maupun orang lain.

Selain itu, bagi korban begal dan keluarganya, juga diberikan semacam layanan korban begal, dimana masyarakat mempercayakan satu pihak resmi tertentu seperti bank sosial atau semacamnya untuk menampung iuran/urunan warga yang mana dana tersebut dapat disalurkan langsung kepada si korban sebagai upaya santunan yang memperkuat rasa kepedulian sesama anak bangsa yang akhir-akhir ini mulai terkikis oleh sikap individualistis. Dengan catatan, dana tersebut dikelola secara amanah dan profesional serta peruntukkannya dilaporkan secara jujur dan transparan kepada publik.

Tentu ide untuk menciptakan layanan korban begal dan layanan berhenti membegal ini perlu didiskusikan lebih lanjut. Harapannya kita dapat menekan angka kriminalitas serta membuat bangsa ini menjadi bangsa yang maju dengan cara yang beradab, bukan sebaliknya.

 

Ikuti tulisan menarik Anggi Canser lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu