x

Gambar ini diambil saat Lomba Festival Kampus Jakarta

Iklan

fiezu himmah

Penulis Indonesiana yang gemar jalan, dan menyelami pengalaman hidup melalui karya seni.
Bergabung Sejak: 8 Juli 2023

Senin, 24 Juli 2023 18:36 WIB

Njlimet dan Bukan Circle, Jadi Alasan Malas Nonton Teater?

Apa perbedaan peminat teater dan film di Indonesia? Teater belum memiliki posisi yang merata di hati masyarakat ketimbang film. Tapi setiap orang memang berhak menikmati seni tanpa takut memiliki perspektif yang berbeda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebenarnya ini lagu lama, perbandingan peminat teater dan film yang sampai sekarang bau-baunya masih kerasa belum punya posisi yang merata di hati masyarakat Indonesia. Padahal keduanya sama-sama berasal dari satu cabang kesenian seni peran. Perasaan penasaran yang sungguh-sungguh subjektif ini semakin lahir ketika saya sering merasakan perbedaan euforia saat film baru tengah rilis dan pertunjukkan teater akan digelar.

Dulu saat masih berkuliah di Jember tahun 2015-2019, saya seringkali kesulitan mencari teman yang mau diajak nonton teater. Paling mentok akhirnya bareng teman yang itu itu aja, kalau nggak ya solo, padahal jumlah teman ya gak dikit-dikit amat. Namun reaksi menjadi berbeda ketika saya mengajukan tawaran nonton film.

"Hayukk, kapan?"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Cuss.. mauuu nobar yuk" 

Akhirnya tanpa ada penjadwalan rencana penelitian khusus atau iming-iming wisuda, iseng-iseng saya melakukan riset kecil-kecilan super kepo. Arahnya untuk mencoba mengajak teman-teman yang belum pernah nonton teater agar menjadi mau dengan beberapa cara. Saya yakin teater bukan hanya sekedar selera suka-nggak suka, ada hal-hal lain di baliknya yang bisa digali untuk tau alasan pastinya.

Beberapa kali menjalani project iseng riset pribadi ini ternyata hasilnya wow, seru!  Dan kini masih sering saya terapkan meski nggak sering-sering dahulu kala. Mulanya saya sempat berpikir penyebab mereka tak berminat menonton teater adalah karena harga tiketnya yang mahal. Tapi ternyata nggak juga. 

Cara pertama, saya pernah mencoba beberapa kali membelikan tiket teater kampus yang harganya Rp5000-Rp10.000. Saya membeli 5 tiket dan memberikannya cuma-cuma pada teman-teman yang belum pernah nonton, dengan alasan tiket itu saya dapatkan dari hadiah tim ordal. Kenapa saya nggak bilang itu beli pakai uang saya? Alasan utama dikhawatirkan ada potensi penilaian “saya banyak uang” lalu merambah pada potensi “diutangi” juga jadi tinggi. Alasan kedua bisa jadi mereka menerima tiket saya karena kasihan dengan uang yang sudah dikeluarkan lalu menjadi terpaksa. 

Namun, ternyata tiket-tiket gratis itu pun tidak sepenuhnya laku. Ada yang membuka ketertarikan, ada pula yang tidak sama sekali. Pandangan saya tentang tiket teater yang mahal pun merasa semakin terbuka semenjak merantau di Jakarta (2020-2023). Saya mulanya cukup kaget mengetahui kalau tiket teater di sini harganya mulai Rp75.000 hingga Rp750.000 malah sering ludes. Kalau di Jember saya tak pernah kehabisan tiket, kalau di Jakarta justru saya sering kehabisan. Ya, meski tentunya perbedaan dua animo wilayah ini tidak bisa disimpulkan begitu.

Cara berikutnya yang secara halus saya lakukan untuk menggaet target penonton teater baru adalah dengan memposting pertunjukkan teater di media sosial. Sebagaimana masyarakat Indonesia adalah kebanyakan masyarakat visual yang gemar sekali foto estetik, saya mencoba memilih foto-foto yang bagus dengan teknik story telling. Tidak lupa sebelum post fotonya saya edit-edit dulu pakai lightroom. Ya, dan akhirnya beberapa kepincut dong, meski nggak banyak.

Dari hasil riset kecil-kecilan inilah, kemudian hasil analisis merujuk pada beberapa hal menakjubkan yang saya temukan saat berhasil menggaet ketertarikan teman untuk perdana nonton teater. Cerita-cerita mereka ternyata tak sepenuhnya bukan karena tak minat, bukan pula selalu karena harga. Ada sisi lain yang jarang terungkap, yakni ketidaktahuan, ketidakpahaman, dan semacam ketakutan berlebih. Beberapa di antaranya begini yang kuingat:

"Soale circle-ku kan uduk arek sastra, wedi ngang-ngong-ngang-ngong"

Yang artinya...

"Soalnya kan perkumpulanku bukan anak sastra, takut bingung, canggung"

"Aku iki wedi utekku gak tutuk, kan teater biasane cerito-ceritone njlimet"

Yang artinya.. 

"Aku takut otakku nggak sampai, kan teater biasanya cerita-ceritanya susah dipahami maksudnya"

Curahan di atas ternyata tidak hanya dialami teman-teman saya di Jember, bahkan ada pula teman di Jakarta. Totalnya kalau diingat mungkin sekitar 15 orang. Jember mungkin punya banyak permasalahan lain yang membuat peminat teater belum banyak, seperti gedung pertunjukkan, pemain, cara publikasi, dll. Tetapi Jakarta yang lebih terbuka ruangnya juga tak semuanya memiliki pemahaman yang mendasar tentang teater. 

Pemahaman dari perspektif mereka itu pun akhirnya membuatku menemukan cara baru, yakni mengajak penikmat baru ke cerita-cerita teater yang realis dan benar-benar ter-sortir kualitasnya. Jangan langsung surealis dulu apalagi absurdisme, hmmm. Pilihan cerita perdana akan menentukan seberapa jauh first impression, dan seberapa mampu mereka jatuh cinta dengan pertunjukkan teater lalu ingin menontonnya lagi dan lagi.

Film ataupun teater pada dasarnya sama-sama seni peran dan saya menyukai keduanya. Film punya kelebihan pengemasan visual yang seakan melahirkan imajinasi tak terbatas, ia pun lebih mudah diakses dan rata-rata durasi tayangnya lebih lama, apalagi didukung kecanggihan internet masa kini. Namun kecintaanku pada menonton teater barangkali karena ia yang apa adanya dan sebuah seni yang kompleks. Bagaimana tidak? Mataku selalu merasa takjub saat di waktu yang bersamaan para aktor harus bermain di atas panggung dengan pemahaman naskah, penyampaian pesan tersembunyi, alur cerita, menghafalnya, hingga mempertimbangkan setiap intonasi dan volume yang ia keluarkan. Kemudian di waktu yang sama pula otaknya harus bekerja sama dengan musik, properti, dan pengaturan gerak posisi ia berada. Kekayaan seninya yang bersifat eksklusif atau intim menciptakan kesan-kesan emosional yang seringkali tak terduga, termasuk pada lahirnya sisi magis. Proses kerja yang luar biasa baik.

Akhirnya, bagiku sama seperti film, teater adalah milik semua nafas dan siapapun berhak menjadi penikmatnya. Bukan hanya milik mereka yang kuliah di sastra, jurusan seni ataupun komunitas teater. Teater adalah bagian dari hidup karena peristiwa yang terjadi di dalamnya berupa rekam jejak manusia dan fenomenologinya. Simbol-simbol yang terasa berat di dalamnya juga merefleksikan kehidupan manusia yang sebenarnya diliputi ketidakjelasan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Justru meski usai menonton ada perasaan tak tuntas yang dihadirkan, kita sebagai penikmat berhak mempunyai peran untuk merajut atau menawarkan sendiri makna apa yang diingini. 

Nikmatilah pertunjukkan dan biarkan ia mengalir sebagai sebuah perasaan yang nyata. Memahami semampunya dengan cara-cara sederhana menjadi arah terbaik bagi tubuh tanpa terlalu berupaya menerka-nerka benar atau salah. Tak perlu takut hanya karena punya perspektif yang berbeda. ;)

 

Ikuti tulisan menarik fiezu himmah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu