x

Foto dua anak sedang baca buku

Iklan

Erkam Pramana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Juli 2023

Senin, 31 Juli 2023 17:42 WIB

Kurikulum Merdeka dan Pudarnya Persepsi Kasta

Siswa di Indonesia yang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) merasakan dampak adanya persepsi kasta, ialah ia yang memilih peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siswa di Indonesia yang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) merasakan dampak dari adanya persepsi kasta, ialah ia yang memilih peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Fenomena yang terjadi selama ini, IPS dipandang sebelah mata oleh sesama siswa, orang tua, dan masyarakat. Berbeda dengan mereka yang masuk peminatan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Miskonsepsi

Pemahaman yang dipakai banyak pihak terhadap permasalahan tersebut, dilatar belakangi oleh beberapa hal. IPA dianggap lebih istimewa, karena kesulitan materi yang lebih tinggi, kualitas guru yang berbeda, gengsi di antara orang tua murid, kemampuan berhitung dan sekadar menghafal pada keduanya. Hal tersebut, berdampak pada pemahaman bahwa siswa dengan nilai tinggi harus masuk IPA, begitu juga sebaliknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keberadaan mata pelajaran matematika yang memiliki kaitan dengan fisika yang ada di peminatan IPA, juga menjadi alasan. Berbeda dengan IPS yang dirasa lebih banyak menghafal, dibandingkan dengan berhitung. Bahkan, ketika masuk perguruan tinggi, peminatan IPA bisa masuk ke ranah IPS yang berimbas pada pilihan yang lebih banyak.

Secara objektif, kesulitan setiap mata pelajaran selayaknya sama di keduanya. Pada mata pelajaran ekonomi juga sangat berkaitan dengan berhitung, tidak hanya ada di IPA. Selain itu, peminatan ada untuk memfasilitasi siswa belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga untuk memilihnya bukan berdasarkan nilai. Peluang untuk masuk perguruan tinggi juga sama, apabila minat dan bakat siswa ditempatkan pada peminatan yang tepat, prestasi belajar tentu menjadi kepastian.

Dampak

Dampak dari miskonsepi tersebut adalah adanya persepsi kasta pada peminatan siswa di SMA. Siswa yang masuk IPS akan diremehkan dan merasa rendah diri. Kondisi tersebut, berpengaruh terhadap proses belajarnya di sekolah.

Selanjutnya, siswa belajar tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga potensinya tidak berkembang secara maksimal. Mereka juga masih bingung dalam memilih program studi ketika seleksi masuk perguruan tinggi. Ditambah ada yang lintas jurusan dan harus belajar lebih keras, saat sebelum ataupun sesudah masuk program studi yang ia pilih.

Kurikulum Merdeka

Dilansir kemdikbud.go.id, hasil Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia, menunjukan 70% pelajar usia 15 tahun masih di bawah keterampilan minimum dalam memahami bacaan dan matematika dasar, angkanya sendiri tidak ada kenaikan signfikan selama 15 tahun terakhir. Lalu, diperparah dengan adanya ketertinggalan belajar atau learning loss pada siswa akibat pandemi. Kondisi tersebut menjadi salah satu alasan yang kuat, mengapa Kurikulum Merdeka hadir.

Hadirnya juga membawa beberapa keunggulan. Pertama, lebih sederhana dan mendalam, materinya fokus pada hal penting, sehingga pembelajaran lebih menyenangkan, tidak terburu-buru, dan bermakna, tetapi disesuaikan dengan perkembangan fase peserta didik. Kedua, lebih merdeka, siswa dibebaskan memilih materi pelajaran sesuai minat dan bakatnya, serta tidak ada lagi peminatan IPA atau IPS. Ketiga, lebih relevan dan interaktif, dalam hal ini pembelajaran berbasis proyek ditekankan untuk melatih keterampilan siswa dan mencapai profil pelajar Pancasila.

Hilangnya Persepsi Kasta

Dengan salah satu keunggulan kurikulum tersebut, yakni lebih merdeka, dapat disimpulkan bahwa ada sistem yang mengatur dan menjadi pemicu, supaya persepsi kasta pada peminatan siswa harus ditiadakan. Tidak hanya mengandalkan kesadaran setiap individu. Sehingga, bukit pemisah yang menjadi batas antara IPA di atas dan IPS di bawah akan berangsur pudar.

Hal tersebut tentu menjadi angin segar bagi dunia pendidikan, terkhususnya bagi siswa. Mereka akan dapat belajar secara maksimal sesuai dengan minat dan bakatnya. Tidak perlu lagi merasa rendah diri ataupun diremehkan orang lain. Walaupun, tentu harus ada pendampingan dari berbagai pihak guna membantu siswa dalam menemukan minat dan bakatnya.

Dengan harapan, hasil dan prestasi belajar sang tulang punggung bangsa menjadi lebih baik. Dimana kondisi pelajar hari ini ialah cerminan bangsa di masa depan. Terlebih, tujuh tahun lagi Indonesia memasuki bonus demografi dan kurang 22 tahun lagi, Indonesia Emas 2045 ada di depan mata. Usaha mencerdaskan kehidupan bangsa selayaknya konsisten untuk terus dilakukan.

Ikuti tulisan menarik Erkam Pramana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu