x

Iklan

Raja Faidz el Shidqi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Januari 2023

Senin, 14 Agustus 2023 20:41 WIB

Kemerdekaan Tak Lebih dari Sekedar Retorika

Kemerdekaan hari ini tak lebih dari sebuah retorika dalam setiap pidato di acara-acara seremonial untuk menghipnotis tentang rasa nasionalisme. Banyaknya masyarakat yang berada di dalam garis kemiskinan, puluhan juta orang kekurangan gizi hingga penegakkan hukum yang tebang pilih membuat rasa kemerdekaan itu menjadi palsu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Raja Faidz El Shidqi, Mahasiswa FISIP UMJ.

Sudah 78 Tahun Negeri ini merdeka dari penjajahan bangsa asing. Ratusan ribu nyawa mungkin sudah melayang dalam upaya membebaskan diri dari cengkraman bangsa asing selama era pra-Kemerdekaan hingga Agresi Militer I dan II. Bahkan, bangsa ini harus menerima kenyataan pahit, bahwa di masa yang tertatih itu kita juga harus melawan saudara kita sendiri yang ternyata memutuskan lebih memilih berpihak kepada penjajah dengan berbagai alasan dan kepentingan.

Setelah semua yang dilalui, lantas bagaimana nasib negeri ini pada hari-hari yang akan datang? Akan seperti apa negeri ini ketika para generasi tua menyerahkannya kepada generasi muda? Apakah kemerdekaan hanya sebatas kebutuhan dalam retorika pidato untuk menarik simpati masyarakat? Untuk menghipnotis masyarakat awam dengan rasa nasionalis sesaat dengan berbagai perlombaan dan acara ceremonial lantas kembali untuk ugal-ugalan dalam menentukan nasib negeri ini?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesejahteraan dan Kesenjangan

Katadata.co.id merilis sebuah data berdasarkan laporan The State of Food Security and Nutrition in the World dari Food and Agriculture Organization (FAO) bahwa Indonesia menempati posisi pertama penyumbang angka kekurangan gizi di wilayah Asia Tenggara dengan jumlah 17,7 juta orang. Jika kita berpikir melalui sudut pandang pemerintah atau pembahasan makro, angka 17,7 juta orang yang mengalami kekurangan gizi memang tidaklah seberapa jika dibanding total jumlah penduduk di Indonesia.

Atau kita bisa beralasan lain dengan mengikuti atau menormalisasi yang terjadi di negara-negara maju lainnya? Bahwa setiap negara, sekalipun negara adidaya pasti memiliki persoalan yang sama dengan porsi yang berbeda. Namun, apakah layak Indonesia sebagai bangsa yang melawan untuk sebuah kemerdekaan mengikuti standar dunia luar? Negara yang dikenal sebagai ‘Tanah Surga’ menjadi narasi bahwa di negeri ini semua orang harusnya bahagia dan tak pernah kelaparan jika disebut tongkat, kayu dan batu jadi tanaman.

Coba kita lihat betapa sejahteranya para pejabat kita, para direktur-direktur dalam perusahaan BUMN, komisaris, dirjen-dirjen, anggota dewan, dan lainnya. Mereka adalah orang-orang terpilih yang menempati posisi tersebut dari sekian ratus juta rakyat Indonesia saat ini, mungkin atas dasar pertimbangan kualifikasi yang mumpuni atau memang atas rekomendasi pejabat lainnya?

Entahlah, lalu kita alihkan pandangan ke pinggir-pinggir jalan protokol, ke setiap perempatan jalan, ke setiap trotoar ada rakyat yang berusaha keras berjuang hanya demi dirinya bisa makan di esok hari. Itu pun masih harus berpacu dan kucing-kucingan dari kejaran Satpol PP yang berusaha merazia mereka.

Ribuan mungkin sampai ratusan ribu keluarga berada di garis kemiskinan, bahkan diantaranya ada yang hidup bertahun-tahun dibawah kolong jembatan atau flyover, dibawah jalan tol, dipinggir rel kereta api dengan terpal atau spanduk sebagai atap dan tembok, sebagian lagi hidup berpindah-pindah dijalan raya, didalam gerobak.

Hukum dan Sila Ke – 5

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, begitu yang tertulis dalam Sila ke – 5 dalam Pancasila. Sebuah nilai yang dijadikan dasar kita dalam bernegara dan merancang Undang-Undang, rasanya kurang dipahami dan dihayati, Pancasila terkesan hanya menjadi kumpulan mimpi yang dihafal dan dibacakan setiap kali upacara. Hukum yang tumpul ke atas tajam kebawah seolah sudah menjadi rahasia umum dan konsumsi publik bahwa memang seperti itulah kondisi hukum di negara kita, negara yang melalui aparatur dan pejabatnya berkali-kali mengeluarkan narasi bahwa negara ini adalah negara hukum dan lain sebagainya. Namun, gagal untuk memastikan hukum tegak tanpa pandang bulu dan memberikan rasa keadilan bagi semua rakyatnya atas situasi serta kondisi yang dirasakan.

Hari ini Indonesia banyak terdapat diskursus mengenai bobroknya hukum yang diterapkan, ada begitu banyak penilaian masyarakat tersebar di warung-warung kopi hingga di laman sosial media mengutuk setiap tindakan yang merendahkan moral kemanusiaan dengan mempermainkan hukum. Mengapa demikian? Mari kita lihat bagaimana Pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam mengurus kasus Tragedi Kanjuruhan misalnya, ratusan orang harus kehilangan nyawa akibat puluhan tembakan gas air mata di dalam stadion dengan akses pintu keluar yang terbatas. Bahkan, masih sempat muncul narasi diawal kejadian yang seolah menyalahkan teman-teman supporter saja yang menerobos ke lapangan, dan di afirmasi pula oleh kebanyakan orang bahkan pihak yang terlibat, ditambah dengan divonis bebasnya oknum kepolisian yang menembakkan gas air mata tersebut menambah fakta bahwa hukum di negara ini tidak ditegakkan secara serius.

Lihat bagaimana tentang Nenek 92 tahun yang dihukum penjara akibat menebang sebuah pohon durian untuk lahan makam leluhurnya? Bandingkan dengan Perusahaan-perusahaan yang menebang ribuan pohon secara illegal bahkan membakar hutan untuk kepentingan perusahaannya. Lihat bagaimana tentang nenek Asyani yang dihukum 1 tahun penjara hanya karena dituduh mencuri beberapa batang kayu? Atau bagaimana tentang seorang bocah SMP yang telah membakar sekolahnya akibat tindakan bullying yang dilakukan teman sekelasnya bahkan gurunya lalu dikawal oleh petugas bersenjata lengkap tanpa memperdulikan sebab dari tindakan tersebut seolah menutup mata atas bullying yang terjadi di Indonesia? Atau kita lihat seorang anak dari mantan pejabat Dirjen Pajak, Mario Dandi yang telah melakukan tindak kekerasan terhadap rekannya hingga Koma masih bisa tertawa tanpa kejelasan hukum bahkan mampu melepas dan memakai sendiri borgolnya?

Selamat hari Kemerdekaan Indonesia ke – 78 entah kita hari ini benar-benar telah merdeka atau tidak. Silahkan maknai sendiri, mungkin kita telah ‘merdeka dari’ bukan ‘merdeka untuk’ dan sialnya apakah kita merdeka dari penjajahan asing lantas dijajah oleh negeri sendiri? Entahlah, semoga tulisan yang serba kekurangan ini mampu menjadi api kecil semangat kita dalam mengoreksi diri untuk upaya memperbaiki negeri dan memperjuangkan apa yang seharusnya dirasakan sebagai sebuah bangsa yang merdeka.

Ikuti tulisan menarik Raja Faidz el Shidqi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

15 jam lalu

Terpopuler