x

Junimart Girsang dan Rocky Gerung

Iklan

Anggi Canser

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 April 2023

Senin, 21 Agustus 2023 06:14 WIB

Pentingnya Mengkritik Ulang Substansi Kritik

Mengkritik ulang si pengkritik sangat diperlukan untuk terus menghidupkan wacana kritis dan diskursus publik. Masalahnya, alih-alih meninjau kembali substansi kritikan pemantik yang diajukan, kecenderungan pejabat publik kita justru ‘bermain-main’ di tataran kulit luarnya saja dalam menyampaikan kritik balasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Anggi Canser

Seakan jadi langganan, setiap kali berada di transisi menuju awal pemilu yang lebih kekinian, ruang publik kita acap gaduh, serta dipenuhi kebisingan-kebisingan yang sejatinya menyiratkan lebih banyak kemunduran ketimbang majunya. Selain buang-buang energi, hal itu “membuat saya sedih” ucap Jokowi dalam orasinya di sidang MPR tahun 2023 (bisnis.tempo.co). Dalam hal ini, situasi transisi kekuasaan di ujung pasca pemilu 2019 menjelang awal pemilu 2024 juga mulai menunjukkan suatu fenomena ambivalensi sosial (kawanan) dalam urusan moral dan politik, antara lain soal keberagaman berpendapat versus kebebasan berbicara.

Tak ubahnya seperti maling teriak maling, malahan tindakan menyampaikan kritik di muka umum – yang seharusnya dapat dipahami sebagai partisipasi aktif warga negara dalam mengevaluasi suatu kebijakan – seolah-olah diremehkan dan dibungkam oleh pihak-pihak yang punya pandangan seragam. Padahal, “kebebasan berbicara sangat diperlukan untuk melawan tirani dari berbagai sumber” (Russell Blackford, 2018). Lebih-lebih di negara demokrasi seperti di Indonesia, dimana kebebasan berbicara dilindungi oleh UUD 1945.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski di satu sisi, konstitusi memfasilitasi hak kebebasan berbicara, tetapi di lain sisi ada juga tantangan terkait penyebaran informasi palsu. Tak terkecuali, soal kebijakan yang disinyalir dapat merugikan kepentingan nasional dalam jangka panjang, termasuk “Omnibuslaw”, “Food Estate”, "RUU Kesehatan", dan “Ibu Kota Negara” baru (IKN).

Oleh karena itu, perlu kiranya membicarakan masalah ini secara lebih serius dan substantif. Terutama, dalam kaitannya dengan kritik-mengkritik kebijakan publik yang belakangan memicu perdebatan berkepanjangan.

Mengenai hal itu, setidaknya ada empat hal pokok yang perlu diterangkan, yaitu a) relasi antara kritik dengan kebijakan publik; b) sumber kritikan; c) kekeliruan dalam penalaran; serta d) pentingnya mengkritik ulang substansi kritik yang diajukan. Tujuannya, agar kita dapat melihat persoalan dengan lebih jernih dan mendalam, sekaligus terhindar dari jeratan intrik politik praktis.

Relasi antara kritik dengan kebijakan publik

Apa yang akan terjadi seandainya pengkritik kebijakan publik tak pernah ada? Tentu, dalam negara tanpa kritik, kita bisasaja tenggelam dalam lautan pujian dan pelukan tanpa batas. Sementara kebijakan itu sendiri, menjadi sangat penting karena dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat. Makanya, selain perlu membuat kebijakan yang sesuai aturan (benar), juga perlu menjelaskan apa yang salah dari kebijakan tersebut (Paul Cairney, 2020). 

Oleh karena itu, kritik atau pemikiran kritis sebetulnya memainkan peran dan fungsi yang signifikan. Sekurang-kurangnya, kritik dapat dijadikan sebagai bentuk penyadaran publik, juga pengawasan terhadap kebijakan yang berpotensi diselewengkan oleh si pembuat kebijakan. Sebab, suatu kebijakan bisasaja dibuat-buat tanpa mendengarkan aspirasi dan keprihatinan warga, serta bolehjadi pula si pembuat kebijakan bersikeras pada pengetahuan dan pendekatan lama yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Dengan demikian, dalam perspektif ini pada hakikatnya si pengkritik maupun kritikannya bukanlah ancaman, melainkan refleksi dari masyarakat yang peduli, yang ingin melihat perubahan yang lebih baik serta perbaikan yang nyata.

Sumber kritikan

Kritik tidak datang dari ruang hampa. Sebuah kritikan tentunya memiliki sumber pemicu, dan hal itu bisasaja datang dari kebijakan yang sedang maupun sudah disahkan. Entah itu berkenaan dengan muatan kebijakannya, proses atau cara pembuatan kebijakannya, potensi dampak negatifnya, model, sikap, keputusan, dan sebagainya.

Masalahnya, alih-alih meninjau ulang substansi kritikan yang diajukan si pemantik, acapkali pejabat, pengamat, atau politisi kita hanya bermain-main di tataran kulit luarnya saja dalam membuat kritik balasan. Seksi memang, bahkan bolehjadi menguntungkan secara sepihak, namun hal itu menunjukkan kekeliruan logikanya yang payah.

Kekeliruan dalam penalaran

Terdapat berbagai macam jenis fallacy atau kekeliruan dalam penalaran (Nathaniel Bluedorn and Hans Bluedorn, 2009). Beberapa yang kerap muncul di ruang publik kita baru-baru ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori fallacy: pertama, propaganda; kedua, menghindari pertanyaan; dan ketiga, pembuatan asumsi.

Pertama, kekeliruan propaganda. Dalam hal kritik-mengkritik, pengertiannya dapat dipahami sebagai argumen meragukan yang tidak bersandar pada bukti pendukung yang kuat, data-data yang akurat, serta logika yang konsisten. Praktiknya bisa berbentuk berita bohong, pemutarbalikan fakta, streotipe, maupun retorika berlebihan. Asumsinya bahwa pendengar tidak akan memeriksa atau menganalisis dengan kritis informasi-informasi yang disampaikan oleh si pembicara.

Salah satu jenis propaganda fallacy yang belakangan muncul di media massa ialah strawman fallacy (membuat versi palsu dari argumen yang sebenarnya). Contoh kalimat strawman fallacy yang dilansir dari kalbar.suara.com (1/8/2023) sebagai berikut: “Hai Rocky Gerung, kau tidak pantas tinggal di Indonesia, kau telah menghina simbol negara Republik Indonesia, yaitu presiden anda sendiri”. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Bab XV, bahwa presiden tidak termasuk simbol atau lambang negara. Dengan kata lain, kekeliruan terjadi karena adanya penyimpangan atau penyederhanaan argumen lawan sehingga lebih mudah untuk ditolak.

Kedua, ialah kekeliruan menghindari pertanyaan, antara lain yaitu red herring (mengalihkan perhatian dari topik utama). Contoh kalimat red herring seperti yang disitir dari metrotvnews.com (2/8/2023): “Itu hal-hal kecil lah, saya kerja saja”. Dalam hal ini, kekeliruan terjadi karena topik utama yang dibicarakan dalam kritikan pemicu tidak dibahas, malah dialihkan ke isu lain, yakni “kerja”. Padahal, pihak yang dikritik punya kesempatan untuk menjelaskan, bahkan membantah kritikan yang dilayangkan terhadapnya, sekaligus membuat terang persoalan dan publik menjadi tenang.

Ketiga, kekeliruan pembuatan asumsi, antara lain yaitu appeal to ignorance fallacy atau “kekeliruan yang merujuk pada ketidaktahuan”. Sebagai contoh, dikutip dari cnbcindonesia.com (18/10/2022): “IKN Nusantara adalah kota pintar masa depan yang berbasis hutan dan alam di dunia. Tolong dicarikan, belum ada, ini yang membedakan, ini yang menjadi diferensiasi dengan ibu kota negara lain”. Dengan demikian, kekeliruan terjadi karena kebenaran pernyataan pembicara digantungkan pada ketidaktahuan atau tidak adanya bukti kota serupa “IKN” tersebut.

Pentingnya mengkritik ulang substansi kritik

Pada dasarnya mengkritik ulang substansi kritik merupakan suatu proses penting dalam menganalisis dan menghidupkan wacana kritis secara berkelanjutan. Hal ini dapat membuat kita memiliki pemahaman lebih mendalam terhadap pendapat atau pemikiran yang diajukan sebelumnya. Tentu, langkah-langkah tersebut harus disertai dengan pembongkaran argumen, pemeriksaan bukti-bukti yang disajikan, juga mengevaluasi kembali validitas dan ketepatan kesimpulan yang diungkapkan dalam kritik tersebut.

Akhir kata, dalam mengkritik ulang substansi kritik, kita perlu menjaga sikap jujur dan terbuka, supaya kita dapat membangun dialog konstruktif dan diskusi yang berarti bagi kemajuan bangsa. Salam

Ikuti tulisan menarik Anggi Canser lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu