x

Sumber gambar: \x22https://id.lovepik.com/illustration/\x22\x3eillustration images from Lovepik.com\x3c/a\x3e\xd

Iklan

Nadhila Hibatul

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2022

Selasa, 22 Agustus 2023 12:00 WIB

Menelisik Permainan Simbol dalam Lubang Dari Separuh Langit Karya Afrizal Malna

Bahasa yang ada dalam sajak-sajak Malna memang cenderung rancu, sebab kata-kata ditampilkan dengan tidak beraturan ataupun berbenturan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Agaknya, permainan simbol memang tidak bisa lepas dari karya-karya Afrizal Malna. Penyair yang muncul di awal tahun 1980-an ini dikenal kerap menghadirkan karya dengan struktur kata dan logika bahasa yang tidak biasa. Sitok Srengenge bahkan menyebut Malna menggunakan “logika sungsang” dalam beberapa sajaknya. Bahasa yang ada dalam sajak-sajak Malna memang cenderung rancu, sebab kata-kata ditampilkan dengan tidak beraturan ataupun berbenturan. Puisi-puisinya mengandung sebuah misteri dan sulit dicerna karena menggunakan bentuk pengucapan yang tidak biasa, kalimat yang berlompatan, dan analogi yang menyimpang. Maka, tidak heran ketika Malna menelurkan sebuah novel berjudul Lubang dari Separuh Langit, “logika sungsang” ini juga turut terbawa.

Novel Lubang dari Separuh Langit (2004) garapan Afrizal Malna merepresentasikan model kehidupan masyarakat pinggiran yang tinggal di bantaran sungai ibu kota. Seperti dalam puisi-puisinya, tulisan Malna dalam novel ini juga disertai bumbu-bumbu metaforik sehingga membuat pembaca perlu pemahaman mendalam ketika ingin menyelami ceritanya. Pengarang memang tidak serta merta menulis secara gamblang kisah para tokoh dalam Lubang dari Separuh Langit, alhasil novel yang mengeksplorasi kehidupan kaum termarginalkan ini menjadi kaya akan simbol.

Lubang dari Separuh Langit berkisah mengenai berbagai kondisi manusiawi yang ada di dalam realitas budaya masyarakat pinggiran. Malna berusaha mengeksplorasi dunia masyarakat bantaran sungai yang sarat akan kekumuhan dan kemelaratan. Suara para akar rumput ini terlalu lemah untuk sampai ke telinga pemerintah yang duduk di tampuk kekuasaan. Sehingga, mereka-mereka yang notabene sudah kesulitan untuk hidup layak pun masih harus berdamai dengan penderitaan akibat rumah mereka digusur paksa oleh kaki tangan pemerintah. Tidak berhenti sampai di situ, mata pencaharian sebagian warga bantaran sungai juga “dimatikan” dengan adanya penggarukan oleh aparat yang dalam praktiknya tidak mengindahkan sisi kemanusiaan. Silang sangkarut kehidupan semacam ini dapat dilihat dari perjalanan hidup para tokoh-tokoh dalam Lubang dari Separuh Langit, seperti Candi, Neneng, Jejak, Sarpan, dan Bayang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sedari awal, cerita sudah dimulai dengan hal yang menggelitik  benak pembaca, yakni pergantian jenis kelamin tokoh utama dalam novel ini yang terjadi secara ajaib dan tiba-tiba. Sang tokoh utama awalnya merupakan laki-laki nerumur 40 tahun, tetapi tiba-tiba saja di suatu malam tubuhnya menjelma tubuh perempuan. Pada pagi harinya, ia telah sibuk mengerjakan berbagai pekerjaan perempuan. Baik secara fisik maupun psikis, tokoh utama dalam novel ini telah mengalami tranformasi. Tokoh utama ini kemudian mengubah namanya menjadi Candi, ia lalu memutuskan meninggalkan rumahnya untuk memulai kehidupan baru sebagai seorang perempuan. Candi pada akhirnya memutuskan menetap di rumah kontrakan yang ada di bantaran sungai. Berawal dari sinilah rekam perjalanan para tokoh lain dimulai, Candi bertemu dan berkenalan dengan tokoh Neneng (pelacur), Bayang (anak Neneng), Jejak (preman kampung), dan Sarpan (tukang becak). Perkenalannya dengan para tokoh ini mengantarkan Candi pada konflik-konflik yang dialami oleh warga bantaran sungai. Konflik-konflik itu diantaranya adalah penggusuran, pemerkosaan, pembunuhan, dan penggarukan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat pemerintah.

Selain kisah para tokohnya, hal yang juga menarik dalam Lubang dari Separuh Langit yakni penulis menginternalisasi salah satu karakter punakawan. Karakter tersebut adalah Petruk yang oleh Malna dihadirkan pada bab-bab terakhir novelnya. Dengan masuknya tokoh Petruk membuat cerita bergeser dari ranah realis menuju surealis. Sebab dalam kehidupan nyata, sosok Petruk sudah barang tentu tidak dapat dijumpai, kecuali sebagai lambang semata. Keberadan tokoh Petruk yang hanya di akhir cerita pun menumbuhkan pertanyaan di benak pembaca, seperti  “Sebenanrnya siapa tokoh Petruk ini?”; “Apa kepentingannya dalam cerita?”; “Mengapa keterlibatannya hanya pada sebagian kecil cerita yakni di bagian klimaks hingga menuju penyelesaian cerita?

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, Lubang dari Separuh Langit merupakan salah satu novel yang kaya akan simbol. Simbol-simbol tersebut dapat dilihat mulai dari judul, pemilihan nama tokoh, hingga internalisasi salah satu karakter punakawan dalam cerita. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kita akan sedikit membahasnya.

 

Makna Simbol Judul Lubang dari Separuh Langit

Dalam konteks isi teks, lubang separuh langit merupakan simbol sebuah ketimpangan. Ketimpangan terjadi karena tidak tercapainya suatu kondisi yang ideal. Lubang identik dengan sesuatu yang dalam, rendah, sempit, dan menganga. Sementara itu, langit identik dengan sesuatu yang luas dan tinggi. Lubang yang ada di langit menunjukkan suatu keadaan yang tidak ideal karena sesuatu yang harusnya sempurna tidak lagi menjadi sempurna disebabkan lubang-lubang pada sebagiannya.

Apabila dihubungkan dengan konteks cerita, maka ketimpangan itu dialami oleh para tokoh sebagai kaum kelas bawah yang tinggal bantaran sungai. Idealnya dalam sebuah negara fakir miskin dipelihara dan diayomi oleh pemerintah, tetapi yang terjadi di novel ini justru sebaliknya. Pada cerita ini (dan tentu saja pada realitasnya) kehidupan masyarakat bantaran sungai senantiasa berkelindan dengan penderitaan. Seolah hanya nasib buruk saja yang digariskan untuk mereka. Pemerintah sama sekali tidak peduli pada kemelaratan yang dialami oleh kaum marginal ini. Malahan, pemerintah menambah beban warga bantaran sungai dengan melakukan penggusuran sepihak dan penggarukan terhadap tukang becak secara membabi buta.

Penggusuran menjadi taring bagi pemerintah untuk mengisap sisa-sisa darah masyarakat di bantaran sungai. Mereka  yang hidupnya sudah serba kekurangan dan melakukan sembarang pekerjaan untuk sekadar memenuhi kebutuhan, masih harus kehilangan tempat tinggal  yang direnggut secara paksa. Perlawanan yang mereka lakukan untuk mempertahankan tempat tinggal berujung pada tertangkapnya sejumlah warga karena dianggap menganggu jalannya program pemerintah.

Penggarukan pun acapkali dilakukan trantib kepada para tukang becak. Alasannya sungguh sulit diterima akal sehat, yakni hanya karena becak merupakan transportasi yang merusak pemandangan. Cara para tantrib menertibkan tukang becak pun tanpa perhitungan dan terkadang tidak manusiawi. Becak mereka diangkut dan pemiliknya juga digelandang ke kantor polisi. Bahkan ada pula tukang becak yang dianiaya hingga kehilangan nyawa.

 

Makna Simbol Petruk

Petruk adalah adalah salah satu karakter punakawan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Punakawan merupakan para pelayan atau abdi dari para Pandhawa yang terdiri dari  Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Kelima karakter ini hanya ada di dalam pewayangan atau cerita Mahabharata versi Indonesia.

Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia (tirto.id), menuturkan dalam konteks filosofi Jawa para punakawan adalah rakyat kecil sebetulnya adalah para dewa. Secara filosofis kehadiran para punakawan yang merupakan jelmaan dari para dewa merupakan bentuk pembelaan terhadap rakyat kecil. Dengan kata lain, setiap penguasa tidak boleh semena-mena terhadap rakyat kecil.

Nama Petruk berasal dari  bahasa Arab yaitu “Fat ruk”, yang berati tinggalkanlah. Petruk digambarkan dengan fisik yang tinggi, hidung mancung, dan tangan yang panjang. Dalam pewayangan tokoh Petruk identik dengan sifat yang pandai berbicara, kritis, cerdas, dan lucu. Dalam lawakan-lawakannya Petruk kerap menyindir segala ketidakbenaran yang terjadi di sekitarnya.  Apabila  dikaitkan dengan konteks cerita, Petruk merupakan Dewa Penyelamat masyarakat bantaran sungai yang selama hidupnya disemena-menakan oleh kekuasaan pemerintah.

 

Pembaca, membaca Lubang dari Separuh Langit  memang perlu perhatian lebih agar kita dapat menangkap isi ceritanya. Meski perlu sedikit upaya memeras otak, tapi novel ini sangat layak untuk dibaca sebab apa yang disajikan Afrizal Malna memang relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Seperti yang kita bahas sebelumnya bahwa dalam Lubang dari Separuh Langit Malna berusaha memotret kehidupan kaum paria di sekitar bantaran sungai lengkap dengan segala penderitaanya. Potret ini dalam realita dapat kita temukan pada kehidupan warga DKI Jakarta golongan menengah ke bawah yang bermukim di dekat sungai. Jadi, ketika membaca, hitung-hitung mengasah kepekaan kita. 

Ikuti tulisan menarik Nadhila Hibatul lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu