x

Elite Politik

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Selasa, 29 Agustus 2023 22:38 WIB

Kritik, Politik, dan  Luka Kita Sendiri

Otak para Farisi dan Ahli Taurat pasti tajam bicara tetang kewajiban publik. Dan kaum elit ini punya dakwaan berat sekiranya orang tak sampai pada ketaatan penuh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kritik, Politik dan  Luka Kita Sendiri

(sekadar satu perenungan)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kata-kata Yesus, Tuhan dan Guru, sungguh menyentak. Di satu kesempatan Ia ingatkan serius kepada orang banyak dan para MuridNya. SabdaNya demikian, “Ahli-ahli Taurat dan  orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turuti dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka karena mereka mengajarkan tetapi tidak melakakukannya...” (Matius 23:3).

 

Dan kata Yesus selanjutnya, “Mereka itu mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya” (Matius 23:4). Apa yang diajarkan para penguasa ‘kursi Musa’ itu terkadang adalah tuntutan berat. Itu bisa berkenaan dengan segala aturan ini-itu yang wajib diindahkan publik.

 

Otak para Farisi dan Ahli Taurat pasti tajam bicara tetang kewajiban publik yang mesti ditaati. Dan kaum elit ini punya dakwaan berat sekiranya orang tak sampai pada ketaatan penuh akan aturan dan tata istiadat nenek moyang. Semua tata auran yang klasik dan tradisional itu.

 

Adakah yang salah dari Hukum dan Taurat dan tradisi nenek moyang? Tentu saja tidak! Sebab Yesus sendiri tegaskan bahwa “yang para elit bicara itu, ya ikutilah, taatilah atau lakukanlah!” Namun, yang menjadi soal adalah bahwa tak ada ‘bingkai kesaksian nyata dari kata-kata yang diajarkan itu.’ Dan ini memang jadi masalah serius ketika ‘konstruksi kata-kata tak dilapisi kuat dengan meterai tindakan nyata.’

 

Apa yang diingatkan Yesus dua ribuan tahun lalu kini masih ditangkap sebagai alarm hidup sosial. Namun, kita dapat renungkan dalam beberapa pemahamannya. Taruhlah ‘bahwa beban berat itu adalah seonggokan kata-kata saleh serta ungkapan bertuah bagi sesama.’ Tentu terdengar indah memang. Namun, tak selamanya dan seharusnya si penabur kata bijak itu telah hayati sungguh segala isi kata bertuah itu. Tidak! Lalu persoalannya?

 

Kata bijak dan nasihat saleh terkadang terungkap setelah si ‘bijak’ telah dapati (banyak) pelajaran dari sekolah kehidupan. Itulah jalan hidup yang sulit, berat, penuh perjuangan. Tetapi juga terdapat jalan hidup penuh suram dan bahkan gelap yang telah jadi pengalaman berharga. 

 

Kisah pahit penuh durhaka terkadang berujung pada pelajaran kehidupan penuh sunyi yang bermakna gelegar. Apakah sel tahanan, penjara, rumah pengasingan  ‘hadir tanpa sedikitpun gema nilai kehidupan’? Alam kaum terkucil dan orang-orang buangan’ sesungguhnya adalah kampus sunyi penuh makna yang hanya dapat ditangkap oleh kesanggupan kerka batin dan membedah jiwa.

 

Di ‘alam tahanan’ itu tampak hanya ada sunyi, kebisuan, tatapan wajah kosong serta segala ketakberdayaan. Tetapi, tidak kah, sekali lagi, semua itu sebenarnya berdaya untuk menerobos hati semua kita yang ‘benar, suci-saleh, moralis dan yang rajin tampil sebagai pendakwah (pengkritik)?

 

Jika mesti meminjam ungkapan H. Nouwen, terkadang mesti dialami sebagai apa yang disebutnya sebagai “penyembuh yang terluka.” Yang hendak dikatakan adalah bahwa seringkali seseorang “harus merawat lukanya sendiri, tapi juga siap menyembuhkan luka orang lain.” Terdengar paradoks memang! Bahwa diri sendiri lagi ‘berantakan’, tetapi tetap bernyali untuk ‘sembuhkan luka dan derita orang lain.’

 

Tetapi tidakkah kisah ‘penyembuh yang terluka’ ini bisa ditelisik dari sudut pandang lain? Bagaimanapun “Sungguh menakjubkan sekali melihat kesulitan tidak bisa menghadang kita untuk melakukan kebaikan.” Bahwa harapan itu tetap terlihat bagi orang lain walau terkesan untuk diri saja kita masih tampak jauh dari harapan itu sendiri. Selalu ada harapan keselamatan yang ditunjuk dan dibawa bagi ‘orang lain, walau diri sendiri nampak tak dapat ia selamatkan’ (cf Matius 27:42).

 

Ketika “penyembuh yang terluka” kembali pada diri yang rapuh dan jalan hidup sendiri yang rentan, maka lainlah ceritanya pada pengkritik yang kasar. Para pengkritik yang kejam itu bertarung untuk ‘hilangkan jejak-jejak hitamnya’ dengan membawa semuanya untuk diletakkan pada ‘bahu orang lain.’

 

Mekanisme diri penuh defensif terjadi pada individu (pengkritik keji) yang secara lihai proyeksikan ketidakhebatan atau kegagalannya seolah-olah semuanya itu adalah ‘peristiwa rapuh milik orang lain.’ Kepada orang lain diletakkan ‘beban-beban yang hampir tak terpikulkan. Namun dengan satu jaripun, ia tak bernyali untuk menyentuhnyanya. Walau dengan ‘satu ujung jari  solusi sederhana sekalipun.’

 

Kita lagi kebanjiran para pengkritik keji. Dan dari mulut dan lidah mereka ditembakkanlah peluru-peluru tajam melejit. Adakah yang salah dari berbagai lesatan kritik? Pasti tidak! Berpikirlah gagah serentak teduh. Di balik segala kata-kata tajam tetap ada harapan elok walau dalam cara nista, bahwa selalu ada harapan untuk berubah dan semakin menjadi lebih baik.

 

Bagaimanapun, keasyikan pelorkan kata-kata kritik demi yang lain, atau berupaya ‘mempertontonkan tidak indahnya orang lain,’ orang jadinya lupa akan segala kesemberawutan lalulintas dalam diri sendiri. Lupa akan “tengoklah ke dalam sebelum bicara (kritik), dan singkirkan debu dalam diri sendiri yang masih melekat.”

 

Kita bisa terperangkap dalam dinamika suram sebagai “penyembuh yang seolah-olah suci lahir dan di dalam batin.” Di titik inilah, mungkin dalam nafas Bang Ebiet kita bermenung, sepantasnya, “Mari kita bersama-sama berkaca. Lihat luka bernanah di wajah kita.....” Yesus, Guru ilahi, menantang dengan satu pertanyaan mendasar: “Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?” (Matius 7:3).

 

Tantangan Yesus perlu kita lanjutkan, “Bagaimana engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkn selumbar itu dari matamu, padahal ada balok dari matamu. Hai orng munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu...” (Matius 7:4-5).

 

Kritik itu, sekali lagi, jelas tak diharamkan! Namun, agar bingkai dan isi kritik jadi tampak tulus dan sungguh benar, iya itu tadi, pakailah mata kita sendiri yang sepantasnya telah dibersihkan terlebih dahulu. Namun, apakah jalur ini  gampang dilalui? Nampaknya lebih mudah melihat ‘selumbar di luar mata sendiri.’

 

Tetapi, apa jadinya ketika kritik telah masuk dalam bias-bias politik? Pertarungan penuh kompetisi ‘mati atau hidup, atau kalah atau menang’ menjadikan kritik sebagai modus demi ciptakan kesan fatal akan lawan politik.

 

Di hari-hari ini sungguh tak sulit untuk membedakan antara ‘mata analis’ dan ‘suara pengkritik keji.’ Saat analis menatap satu kenyataan dalam kerangka obyektif, berimbang, membuka ruang berpikir dalam berbagai sudut pandang, dan berwawasan, maka para pengkritik keji hanya berputar-putar dalam arus indoktrinasi yang sempit dan picik.

Yang menjadi soal, iya itu tadi, sederetan ‘kritik politis’ yang bertendensi pada simpati publik (rakyat) demi mendulang suara mayoritas menuju kekuasaan yang ambisional. Yang mengkritik, sedihnya lagi, sekiranya ia hanya ingin ‘membungkus ketidaksanggupannya’ demi mempersalahkan pihak lain.

 

Tidakkah kritik Anis Baswedan terhadap Pemerintah Pusat yang dinilai terlalu ‘mengambil alih masalah di daerah’ (21 Mei 2023) hanyalah sebagai cara alihkan perhatian publik bahwa sebagai Gubernur DKI Jakarta ia sendiri sebenarnya banyak mandeknya dalam berurusan dengan berbagai soal?

 

Dalam rana sosial, publik, dalam kebersamaan hidup apa saja, lalu lintas kritik pasti tetap ramai menderu. Itulah kewajaran hidup bersama. Kita rindukan kritik yang membangun, yang menghidupkan, yang membawa nilai plus, pun kritik yang membawa tawaran solutif dan alternatif.

 

Sementara kritik yang berbau anyir hanya demi kepentingan sendiri, atau kritik dari siapapun ‘yang masih tersesat dalam post and pre power syndrome’ teramat sering hanya ingin sembunyikan ‘luka-luka sendiri.’  

Dan, sekali lagi, kritik tetaplah berarti dalam rana kebersamaan. Bagaimanapun, kata-kata Eric Thomas  (motivator Amerika) ada benarnya, “Aku tidak akan menerima kritik membangun dari orang-orang yang tidak pernah membangun apapun.”

 

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro - Roma

 

 

 

  

 

 

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu