x

Kegiatan pelatihan implementasi kebijakan Kurikulum Merdeka

Iklan

Thomas Elisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 November 2022

Rabu, 30 Agustus 2023 10:36 WIB

Sejak Awal Guru Harus Sejahtera

Keprihatinan terhadap guru yang masih terjerat pinjaman online. Guru honorer dan guru swasta masih berjuang untuk hidup.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SEJAK AWAL GURU HARUS SEJAHTERA

Akhir-akhir ini, banyak media massa merilis berita tentang profesi guru  yang mendominasi penggunaan pinjaman online. Dalam kultur kehidupan demokrasi, sah-sah saja siapapun menggunakan pinjaman online. Akan tetapi, bagaimana bila hal tersebut justru didominasi oleh guru? Tentunya, hal tersebut terasa sangat kontradiktif. Pasalnya, aplikasi pinjaman online seharusnya didominasi oleh para pedagang dan pengusaha. Lalu, dimana letak kesalahan dalam fenomena ini?

            Saya selaku guru dengan mudah menjawab akar fenomena ini adalah kesejahteraan finansial guru.  Hal ini kiranya tidaklah berlebihan. Apabila guru sudah dalam taraf sejahtera niscaya jerat pinjaman online dapat dihindari. Bayangkan saja, seorang guru dengan tanggung jawab besar mendapat kesejahteraan yang kecil. Akibatnya, banyak guru masih pontang-panting  memenuhi kebutuhan hanya untuk sekadar survive. Resiko yang muncul dari buruknya kesejahteraan guru adalah kegiatan belajar mengajar menjadi tidak maksimal. Rekan saya pernah mengatakan efek domino bila seorang guru gagal dalam mendidik yaitu hancurnya sebuah generasi . Hal ini lebih fatal dibandingkan malpraktik seorang dokter ke seorang pasien.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam etimologi budaya Jawa, guru memiliki arti sebagai orang yang digugu (diteladani) dan ditiru (dicontoh). Peran ini  menghadirkan sederet beban dan tanggung jawab tersendiri bagi para guru. Banyak hal yang harus ditempuh seorang guru (termasuk saya) dalam rangka menjadi orang-orang yang layak diteladani demi  terciptanya generasi bangsa yang berkualitas. Oleh sebab itu, kesejahteraan guru haruslah menjadi hal mutlak yang perlu diperhatikan.

            Saat seseorang memilih memutuskan menjadi seorang guru, ada banyak hal yang harus dihadapi. Mula-mula, guru akan berhadapan dengan nasib para generasi bangsa dalam mengarungi perubahan zaman. Guru haruslah bergulat dengan kurikulum yang sarat pengembangan pendidikan sesuai dengan konteks tantangan zaman. Seorang guru akan melihat tantangan global yang semakin tidak mudah dan tak bisa diprediksi. Perkembangan teknologi yang dapat mengancam eksistensi manusia,  data bonus demografi pada masa mendatang, serta ancaman degradasi bangsa membuat seorang guru berpikir keras menghasilkan inovasi-inovasi dalam metode pembelajaran. Tugas ini setara dengan yang dilakukan CEO yaitu pembuatan road map perusahaan. Lalu, manusiawikah bila  masih ada guru yang mendapat upah Rp 300.000—600.000 per bulan ? Hal ini amatlah memprihatinkan.  

 

            Tantangan berikutnya yang tidak kalah pelik, saat seseorang memutuskan menjadi guru  adalah memahami peserta didik. Guru adalah profesi yang berkaitan dengan manusia bukan barang. Manusia sebagai makhluk yang unik memiliki kompleksitas tinggi. Kurikulum Merdeka yang dicanangkan memiliki tuntutan agar guru  mampu mendeferensiasikan materi sesuai dengan kebutuhan siswa. Banyangkan saja, satu guru memiliki rasio mengampu 150 siswa. Betapa tidak mudahnya menciptakan diferensiasi materi sesuai kebutuhan peserta didik dalam skala besar. Bagi seorang guru profesional, proses diferensiasi akan menghabiskan waktu energi. Bukankah tugas demikian layak mendapatkan kesejahteraan yang baik?

            Urain-uraian di atas sudah cukup membuka kembali mata kita yang terkadang picik dengan profesi guru. Bila diuraikan lebih jauh, masih teramat berat tugas yang diampu para guru. Para guru masih punya tanggung jawab menguraikan persoalan-persoalan peserta didik supaya pembelajaran dapat optimal. Lebih-lebih, generasi saat ini yang sarat dengan problem insecure, broken home, stabilitas emosi yang labil, memperbesar tanggung jawab guru dalam bekerja. Belum juga perkara administrasi yang harus dikerjakan secara berkala setiap waktu.

Selama ini, guru masih identik dengan jargon pahlawan tanpa tanda saja. Meskipun, istilah ini sempat dikoreksi menjadi pahlawan pembangun insan cendekia. Namun, tetap saja kesan ‘tanpa tanda saja’ masih melekat. Memang kita tahu, pemerintah sudah seoptimal mungkin memberikan solusi mulai dari kebijkan PPPK bagi guru, tunjangan profesi, dan aspek lainnya. Akan tetapi, kebijakan ini tampaknya masih belum merata dan adil. Nasib ribuan guru honorer masih belum tertolong, bahkan  guru swasta juga mulai terancam nasibnya. Banyak sekolah swasta yang mulai tutup sehingga para guru swasta menjadi terkatung-katung.

Pemerintah harus melihat lebih detail permasalahan kesejahteraan guru. Poin pentingnya adalah legacy terhadap status para guru. Sejak awal, saat seseorang ingin bercita-cita menjadi seorang guru maka nilai kesejahteraannya haruslah sudah mendapatkan jaminan. Dengan begitu, sekolah manapun yang hendak mempekerjakan para guru dan instansi daerah yang ingin merekut tenaga guru tidak lagi menempatkan guru dengan pendapatan yang ‘nir’dan menyesakkan para guru. Selain itu, proses rekrutmen para guru dari segi PPG non jabatan maupun dalam jabatan hingga PPPK harus benar-benar bisa menjamin kesejahteraan bagi para guru.

Poin terakhir yang perlu diperhatikan  dan segera diselamatkan adalah nasib para guru swasta. Lho, swasta kan tidak terikat pemerintah. Memang benar tetapi sekali lagi para guru harus menjadi tanggung jawab negara. Seorang rekan saya mengalami tragedi cukup mengenaskan. Saat sekolah swasta tempatnya mengajar tutup, ia sudah tak bisa menempuh PPPK karena faktor usia yang sudah paruh baya. Saat beliau berpamitan di grup whatts app, nyaris tak ada yang berkomentar. Pada akhirnya, beliau masih kesulitan mencari tempat mengais rezeki.

Kesejahteraan guru adalah  hal yang amat vital bagi roda bangsa yang ingin berputar ke arah yang lebih. Fenomena Literasi PISA kita yang rendah, fenomena tagihan pinjol yang memburu guru-guru honorer, dan fenomena para lulusan FKIP yang memilih banting stir ke pekerjaan lain adalah bentuk jaminan kesejahteraan pada legacy pekerjaan seorang guru belumlah terpenuhi. Kita tentunya berharap lebih baik, saat seseorang memiliki komptensi memadai menjadi seorang guru hendaknya diikuti juga dengan legacy  berupa kesejahteraan sebagai seorang guru.  

Daftar Referensi :

Guru Jadi Profesi Tertinggi yang Terjerat Pinjol Ilegal, Kalahkan Ibu Rumah Tangga dan Karyawan PHK .https://kaltim.tribunnews.com/2023/08/16/guru-jadi-profesi-tertinggi-yang-terjerat-pinjol-ilegal-kalahkan-ibu-rumah-tangga-dan-karyawan-phk. Diakses pada : 18 Agustus 2023.

Hafsah M. Nur, Nurul Fatonah. 2022.  Paradigma Komeptensi Guru.   Jurnal PGSD UNIGA. 12—17, (1).

70 Persen Anak Indonesia Memiliki Tingkat Literasi di Bawah Standar Minimum Berdasarkan Tes PISA. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5357299/70-persen-anak-indonesia-memiliki-tingkat-literasi-di-bawah-standar-minimum-berdasarkan-tes-pisa Diakses : 18 Agustus 2023.

 

 

Ikuti tulisan menarik Thomas Elisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu