x

Iklan

Anggi Canser

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 April 2023

Kamis, 31 Agustus 2023 16:22 WIB

Mengukur Kelulusan Mahasiswa Lewat Gagasan “Satu Mahasiswa, Satu Karya”

Mengandalkan ukuran lama untuk zaman yang sudah berubah, bolehjadi tak relevan, membuat kita tetap nyaman, namun tak akan menghasilkan kemajuan yang berarti. Karenanya diperlukan evaluasi dalam dunia pendidikan hari ini, baik dalam lingkup kecil organisasi sebuah lembaga pendidikan maupun organisasi yang lebih besar secara nasional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hiruk-pikuk soal kebijakan terbaru di bidang pendidikan seringkali membuat bising ruang publik. Hal itu tak hanya memicu polemik, bahkan mengundang perdebatan sehari-hari di ranah kehidupan sosial masyarakat. Misalnya, mengenai kebijakan pendidikan nasional yang belakangan ramai dipersoalkan yaitu tentang syarat kelulusan akademik mahasiswa sebagai turunan dari kebijakan kurikulum “merdeka belajar” yang disodorkan oleh menteri terkait yakni Nadiem Makarim.

Singkatnya, dengan adanya peraturan “Permendikbudristek Nomor 53 tahun 2023 tentang penjaminan mutu pendidikan tinggi”, maka ribuan kampus di seluruh Tanar Air kini tak lagi harus terpaku pada skripsi, tesis, dan disertasi sebagai syarat kelulusan mahasiswa (kompas.com).

Dari satu sisi, ada pihak yang mendukung kebijakan tersebut karena memandang bahwa pendidikan hari ini haruslah adaptif dan inovatif. Sedang di sisi lain, ada juga pihak yang menolak gagasan "merdeka belajar" tersebut karena menilai kebijakan semacam itu hanya mempertegas komersialisasi atas pendidikan itu sendiri (tirto.id).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Emangnya selama ini kita belum merdeka ya?” ujar seorang profesor dalam sebuah acara webinar.

Kendati pertanyaan itu singkat dan padat, namun jawabannya tak sesederhana kata “sudah” dan “belum”. Tentu, untuk menjawab hal tersebut diperlukan suatu tinjauan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan di masa lalu, situasi-kondisinya hari ini, dan seperti apa langkah strategis yang perlu dilakukan dalam menghadapi tantangan global di masa depan.

Pasalnya, mengandalkan ukuran lama untuk zaman yang sudah berubah, bolehjadi tak relevan, membuat kita tetap nyaman, namun tak akan menghasilkan kemajuan yang berarti. Karenanya diperlukan evaluasi dalam dunia pendidikan hari ini, baik dalam lingkup kecil organisasi sebuah lembaga pendidikan maupun organisasi yang lebih besar secara nasional.

Sebab, berbicara tentang pendidikan di Indonesia mesti membicarakan pula seluruh fenomena yang berkaitan dengannya dari level paling bawah hingga atas. Termasuk sistem pendidikan, proses pembuatan dan implementasi atas kebijakan, situasi-kondisi infrastruktur penunjangnya di tiap daerah mulai dari Aceh sampai Papua, dan yang tak kalah penting mengenai stakeholder yang bersangkut-paut dengan pendidikan tersebut. Antara lain yaitu pemerintah, lembaga atau institusi pendidikan, figur pendidik, peserta didik, juga para orang tua.

Sesungguhnya, mengulasnya secara keseluruhan adalah penting karena saling terkait dan dapat mempengaruhi satu sama lain. Namun pada tulisan kali ini lebih difokuskan pada pentingnya peran figur tenaga pendidik, peserta didik, dan karya yang dihasilkan sebagai syarat kelulusannya.

Berkaca ke sejarah pendidikan awal di Yunani

Apabila kita bercermin pada sejarah pendidikan dunia, kita dapat menemukan figur-figur unik yang meski sudah meninggal tetapi masih memberikan sumbangsih pemikiran hingga hari ini. Yang selain mengagumkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, juga berguna bagi peradaban manusia berkat karya yang dihasilkannya. Tentu hal itu tak terlepas dari penddidikan, termasuk sistem yang diterapkan, kondisi zaman saat itu, juga menyangkut tujuan dan mindset masyarakat serta pemangku kebijakan lainnya.

Sebagai contoh misalnya sejarah pendidikan awal di Yunani, terutama Sparta (Laconia) dan Atena (Attica). Yang mana dari sejarah pendidikan di Sparta, kita dapat mengenal figur dengan sosok kepahlawanan yang sangat setia pada negaranya. Demikian pula di Atena, kita menemukan figur-figur yang terkenal di bidang filsafat (pemikir), seni (seniman), politik (politikus), dan sebagainya.

Meski sama-sama berada di wilayah Yunani, akan tetapi kedua negara-kota tersebut menerapkan sistem pendidikan sederhana yang tidak persis sama, dan sebagai hasilnya mereka juga melahirkan figur-figur yang lebih menonjolkan kecakapan khusus yang berbeda pula. Artinya, dalam hal membuat kemajuan, maka kecakapan umum tanpa kecakapan khusus tidak akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Walau begitu, penekanan pentingnya terletak pada karya yang dihasilkan oleh seseorang berdasarkan kecakapan (umum dan khusus) yang dimilikinya.

Namun pada hakekatnya pendidikan awal Yunani pada zaman itu adalah “mendidik anak-anak kelas penguasa untuk melanggengkan kekuasaan” (Ellwood P. Cubberley, 1920). Agaknya, hal ini pulalah yang hari ini di satu sisi mulai terlihat agak mirip sedang berlangsung di Indonesia.

Situasi dan Kondisi Hari Ini

Memang, di era teknologi digital seperti yang terjadi sekarang ini, di satu sisi kita memerlukan adanya pandangan jauh ke depan dengan melakukan transformasi kebijakan publik. Namun masalah krusialnya, kebijakan publik di negeri ini seringkali dibuat secara politis dan disandarkan pada agenda kepentingan untuk melayani diri dan kelompok pihak tertentu, bukan digantungkan atas dasar kepedulian dan keadilan sosial.

Sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945 Bab XIII, tujuan pendidikan nasional ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dimana bangsa Indonesia tersebut bukanlah seperti di Yunani atau di Amerika yang terdiri dari berbagai bangsa-bangsa, melainkan satu bangsa yang terdiri dari sekumpulan orang atau warga negara yang beragam latar suku-budaya, tingkat ekonomi, kondisi infrastruktur pendukung dan kualitas sumber daya manusia yang mendiami masing-masing pulau-pulaunya.

Oleh karena itu, kecerdasan kehidupan bangsa tak mungkin tercapai apabila tidak dibarengi dengan upaya mencerdaskan kehidupan setiap warga negaranya. Dengan demikian, memaksakan satu sistem atau kebijakan pendidikan nasional yang diterapkan untuk situasi-kondisi masyarakat dan daerah yang beragam itu, tak akan efektif selama elemen-elemen pembentuknya tidak diperbaiki lebih dulu. Yakni, soal tingkat kesenjangan dan lemahnya pembangunan keadilan sosial sebagai dua hal penting yang jarang diperbincangkan secara serius di tingkat elit dan pembuat kebijakan di negeri ini.

Pada ujungnya di satu sisi patut diduga bahwa transformasi kebijakan dalam pendidikan hanyalah basa-basi pencitraan yang ingin menunjukkan bahwa menteri pendidikan adalah sosok pemimpin yang transformasional. Namun di sisi lain, kebijakan terkait transformasi kebijakan yang memberikan otonomi pada lembaga pendidikan tinggi harusnya disambut dengan baik. Termasuk dalam hal mengakomodasi hak mahasiswa untuk memilih lulus dengan skripsi maupun tanpa skripsi.

Studi Kasus dan Eksperimen “Satu Mahasiswa Satu Karya”

Sesungguhnya gagasan mengukur kelulusan akademik tanpa harus menulis skripsi bukanlah sesuatu yang baru di lingkungan kampus. Sebut saja misalnya di kampus Institut Seni Indonesia, hal serupa telah diterapkan sejak lama, dimana mahasiswa boleh memilih pengkajian (skripsi, tesis, disertasi) dan penciptaan (berkarya seni) sebagai syarat tugas akhir kelulusannya. Meski demikian, pada mahasiswa yang mengambil minat penciptaan karya seni juga mesti pula menulis proposal dan laporan karya seni, baik musik, tari, rupa, film dan sebagainya.

Masalahnya, tidak semua kampus merupakan kampus seni. Sebagai studi kasus yang agak relevan misalnya di program studi PGSD atau PG-PAUD yang di dalamnya termuat pula mata kuliah pendidikan seni dan metode pengembangan seni. Dimana lulusannya merupakan mahasiswa yang akan atau sedang menjadi guru yang mengajarkan materi kesenian pada anak-anak di sekolah. Dalam hal seni musik, kecenderungannya adalah menggunakan lagu-lagu lama yang sudah tersedia sebagai materi pembelajarannya.

Jadi, tidak mengherankan, bila pada akhirnya peluang semacam itu diambil oleh industri hiburan yang menciptakan karya seni khusus anak-anak seperti Moonbug Entertainment yang kontennya memanjakan para orang tua untuk memperkaya pengalaman musikal anaknya, dimana mereka dapat mengakses youtube kids atau semacamnya yang belum tentu aman dan sesuai bagi masalah perkembangan si anak.

Padahal, materi-materi lagu lama yang diajarkan pada anak-anak, dulunya juga diciptakan. Jadi, kenapa tidak kampus-kampus yang memiliki program studi PGSD dan PG-PAUD memberikan opsi alternatif bagi mahasiswa yang nantinya menjadi guru memilih minat penciptaan karya seni khusus anak-anak.

Memang ada pandangan lama yang menganggap bahwa mahasiswa non-seni seperti halnya mahasiswa PGSD atau PG-PAUD tak mungkin menciptakan karya seni. Namun hal itu hanyalah mitos dan alasan yang dilebih-lebihkan. Sebab, berdasarkan pengalaman yang saya lakukan sebagai pengampu mata kuliah metode pengembangan seni dan pendidikan seni di SD pada mahasiswa program studi PGSD di Universitas Terbuka Medan, hal itu sangat mungkin dilakukan meski tergantung pada figur dosen yang mengajar, serta kelonggaran kebijakan kampus yang memberi keleluasaan.

Sebagai contoh eksperimen, semester lalu saya menginisiasi gagasan “satu mahasiswa satu karya” pada empat kelas mahasiswa program studi PGSD di Universitas Terbuka Medan yang mengambil matakuliah Pendidikan Seni di SD. Gagasan itu menekankan paling tidak tiga hal penting.

Pertama yaitu menghargai individualitas karena mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih sumber inspirasi penciptaannya sendiri, baik melalui pengamatannya terhadap anak didik di sekolah tempat mereka mengajar, observasi di rumah pada adik, anak saudara, anak tetangga, maupun anak-anak usia SD di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Tak hanya itu, mahasiswa juga punya kebebasan untuk mengangkat tema lagu berdasarkan pengalaman pribadi yang menyenangkan di masa kecil mereka masing-masing.

Kedua, mendorong kreativitas dengan cara mendekati masalah anak-anak secara nyata dan langsung di lapangan. Dimana mahasiswa juga diwajibkan untuk melibatkan anak-anak dalam proses latihan dan presentasi karya ciptaan yang sifatnya orisinil, bukan saduran atau sekedar memindahkan melodi lagu yang sudah ada ke lirik yang lebih baru. Tentu, hal tersebut memberikan kontribusi positif pada perkembangan inovasi dan pribadi mereka.

Ketiga, penilaian holistik yang dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kemampuan setiap mahasiwa melalui proses yang komprehensif. Karena, selain ditugaskan untuk menciptakan lagu sederhana untuk anak usia SD dengan durasi minimal satu menit. Mereka juga harus membuat laporan hasil karya yang diciptakannya, mulai dari pra-produksi, produksi, dan pasca-produksi sebagai evaluasi kelebihan dan kekurangan atas hasil karyanya masing-masing.

Pendeknya, mahasiswa yang mengambil mata kuliah pendidikan seni di SD semester lalu dengan saya, tidak hanya mendapatkan nilai berupa angka, tetapi juga kenang-kenangan berupa karya yang dapat mereka jadikan materi pembelajaran seni yang telah disesuaikan dengan masalah anak-anak mereka. Dengan kata lain, gagasan “satu mahasiswa satu karya” dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kemajuan di dalam bidang pendidikan. Bahkan, karya-karya yang mereka ciptakan juga dapat dinikmati oleh para orang tua.

Penutup

Dengan mengadopsi gagasan “satu mahasiswa satu karya”, pendidikan dapat menjadi wahana untuk menggali potensi setiap individu. Melalui karya orisinal mereka, mahasiswa tak hanya akan diukur dari hasil akademis semata, tetapi juga dari kemampuan mereka untuk berinovasi, berkolaborasi, dan beradaptasi di dalam perkembangan zaman yang terus berubah. Anggi Canser

Ikuti tulisan menarik Anggi Canser lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

7 jam lalu

Terpopuler