x

Bahasa politik

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 5 September 2023 08:33 WIB

Suburnya Kultur Politik Pagi Tempe Sore Tahu

Dalam relasi yang diwarnai prasangka menjelang pilpres dan pileg, alih-alih memikirkan nasib rakyat, para elite justru sibuk menemukan cara untuk bisa bertahan dan bahkan unggul. Bahkan jika harus menempuh siasat licik. Bila siasat tidak sehat semakin lumrah, itulah pertanda standar kesehatan semakin menurun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Politik praktis memang tidak terlepas dari siasat—siasat untuk unggul dalam kompetisi politik. Para elite politik paham betul tentang hal ini, sebab politik tanpa siasat bukanlah politik. Siasat itu merupakan wujud praktis dari strategi politik, itulah aksi yang konkret di lapangan, yang melampaui kata dan janji. Bahkan, seringkali, siasat dalam wujud praktis itu melanggar kata dan janji asalkan strategi dapat berjalan dan tujuan dapat tercapai.

Bagaimana kita sebagai warga masyarakat memahami praktik politik semacam itu bahwa siasat apapun boleh ditempuh asalkan strategi dapat berjalan dan tujuan bisa tercapai? Elite politik yang hidup setiap hari dalam ekosistem politik barangkali memandang praktik politik seperti itu sebagai lumrah, wajar, banal. Semakin besar hasrat meraih dan mempertahankan kekuasaan, praktik seperti itu semakin dianggap lumrah.

“Jangan baper,” bila meminjam istilah sekarang. Istilah ini dianggap sebagai ungkapan yang pas ditujukan pada mereka yang memprotes dan mengritisi praktik politik yang semakin tidak mengindahkan kesantunan. “Emangnya politik butuh kesantunan?” balas orang yang mengatakan ‘jangan baper’. Politik terkait kekuasaan dianggap tidak memerlukan basa-basi dan kesantunan. Jika seseorang terjun ke gelanggang politik kekuasaan, ia harus siap untuk ditekuk, ditelikung, dikibuli, dan sebaliknya siap menekuk, menelikung, mengibuli.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Praktik politik, khususnya yangterkait kekuasaan, dianggap memiliki standar etika tersendiri, yang sayangnya tampak lebih rendah dibandingkan etika kemasyarakatan. Tidak melibatkan rakyat secara sungguh-sungguh dalam penyusunan undang-undang telah dianggap sebagai praktik yang lumrah. “Kekuasaan memang harus begitu,” kata para pendukung praktik politik semacam itu. Agak berbau Machiavellian? Sepertinya begitu.

Semakin hari, standar etika politik para elite juga tampak semakin menurun. Seorang politikus yang berkantong sangat tebal tampak begitu mudah keluar-masuk partai politik dan langsung memperoleh jabatan tertentu. Kader partai yang berjuang dari bawah diabaikan, sebab partai membutuhkan bahan bakar banyak untuk menggerakkan organisasi dalam mencapai tujuannya. Bahkan, karena kantongnya demikian tebal, seseorang bisa langsung menjadi bakal calon presiden atau calon wakil presiden, meskipun dia ‘orang baru’ di lingkungan partai.

Jadi, kultur dan etika politik apa yang sedang dibangun oleh para elite politik masa sekarang dengan praktik dan siasat politik seperti yang kita saksikan saat ini? Koalisi partai bisa pecah kapan saja, partai politik berganti sekutu dalam waktu sekejap, pagi masih kawan petang hari sudah musuhan. Apa sesungguhnya yang dikejar oleh elite politik ini bila bukan kekuasaan semata?

Praktik politik yang berlangsung saat ini mempertontonkan dengan gamblang seperti apa nilai-nilai yang dipegang oleh elite politik: pragmatisme. Persekutuan di antara partai dan elite begitu rentan untuk tercerai-berai karena kepentingan yang tidak terakomodasi—semuanya berlangsung cepat. Pemeo klasik, ‘tidak ada kawan yang abadi, melainkan kepentingan yang abadi,’ tetap berlaku dan jadi nilai yang dipedomani oleh politikus.

Dalam relasi yang diwarnai prasangka dan kewaspadaan menjelang pilpres dan pileg mendatang, alih-alih memikirkan nasib rakyat, para elite justru disibukkan menemukan cara untuk bisa bertahan dan bahkan unggul dibanding pesaing meski harus menempuh siasat yang tidak sehat. Bila siasat yang tidak sehat semakin dianggap lumrah, maka itulah pertanda bahwa standar kesehatan itu semakin menurun. Standar etika dan kultur politik inikah yang akan diwariskan oleh politikus masa sekarang kepada generasi mendatang? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler