x

Tuhan Yesus Tersalib

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Jumat, 15 September 2023 12:42 WIB

Ia Telah Wafat Bahkan Wafat di Kayu Salib

Perjalanan ke Yerusalem itu terasa sangat menyedihkan, sekalipun itu adalah ziarah menuju kemuliaan. Dan Yesus mesti melintasi jalan itu. Bukan sebuah jalan penuh pesona. Ia tak disambut gempita. Tak diiringi gemuruh penuh puja-puji.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Ia Telah Wafat Bahkan Wafat di Kayu Salib”

(biarlah kita di jalan ‘ketanpaan’)

 
Letakkan harapanmu pada belaskasih Allah dan cinta Kristus; katakanlah setiap setiap saat sambil memandang Salib: “Di sanalah pusat semua harapanku”
(St Paulus dari Salib, 1694 – 1775)

 

Perjalanan ke Yerusalem itu terasa sangat menyedihkan. Iya, sekalipun perjalanan itu adalah ‘ziarah menuju kemuliaan.’ Dan Yesus mesti melintasi jalan itu. Bukan sebuah jalan penuh pesona. Ia tak disambut gempita. Tak diiringi gemuruh penuh puja-puji. Tidak! Dan memang semuanya jauh dari gelegar sorak-sorai.

Cemeti, pentungan, mahkota duri, salib, dengan segala adegan siksaan itu telah jadi drama di setiap via crucis tahunan. Namun, apakah via crucis itu berkisah sepintas hanya tentang kekerasan dan darah? Atau Hanya seputar awal tak adil dan kejamnya putusan Pilatus, dan betapa liciknya ia untuk kemudian mencuci tangan, “Aku tidak bersalah atas darah Orang ini?” (Mat 27:24). Mari menangkap ‘lebih.’

“Perjalanan ke Yerusalem sejatinya mengarah pula pada penelanjangan Yesus.” Ketanpaan pada Yesus mesti jadi kisah nyata dan terang benderang pada dunia dan bagi kita. Yesus yang bakal disalib mesti terlihat ‘seperti apa adanya dan sungguh rapuh.’ Yesus yang ‘telanjang dan kosong’ mesti ditatap nyata. Hingga pada tulang-tulangNya yang remuk dan terbilang.


Sungguh! Glorifikasi salib di Golgota mesti diawali dengan ‘penanggalan semuanya yang terlekat pada Tubuh Suci.’ Dan Ia lalu mesti ‘dipermahkotai duri dan ditinggikan di salib.’ Kita sungguh telah memandang Tuhan yang ‘tiada berpunya lagi.’ Iya, Tuhan yang ketiadaan, Tuhan yang tak ditutupi, Tuhan yang jelas menderang..’ Namun, mesti kah kita terendam dalam kolam tanpa harapan dan ketiadaan asa untuk lanjut berziarah?


‘Kisah ketelanjangan Tuhan dan elegi salibNya’ menuntun kita dalam keyakinan menuju sukacita. Benarlah bahwa “kisah kegembiraan dimulai dengan membiarkan diri kita dipandang oleh Yesus.” Sebagaimana kita bertarung untuk memandangNya dalam ‘ketanpaan’ ketika “Ia ditelanjangi di depan kita” maka sepantasnya “kita harus berani membuka diri pada pandanganNya, dan percaya bahwa Dia akan berkenan pada kita.”


Tetapi ‘ketelanjangan dan derita salib Tuhan’ adalah marwah solidaritas ilahi pada kemanusiaan, pada kejasmanian, pada kebumian. Tuhan memang telah menjadi sama dalam segalanya dengan kita, kecuali dalam hal dosa (cf Ibr 4:5).


Jalan Salib mesti jadi kerygma ziarah ketanpaan ‘milik kita.’ Kita mesti diperlihatkan atau memperlihatkan diri sebagaimana adanya kita. Salib dalam Tuhan adalah petunjuk bahwa kita ‘mesti telanjang.’ Tanpa pernak-pernik dan asesori berdaya pikat yang mengecoh. Dalam Salib kita dicahayai untuk masuk dalam kelemahan dan kerapuhan diri. Untuk “berani memeluk diri yang tidak indah.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Satu percikan penuh makna pantas direnungkan: “Para imam dan religius harus berani maju ke tempat terang dan terlihat rapuh, bagaikan seorang yang meraba-raba dalam gelap, yang kehilangan kesabaran, yang mengalami kesulitan berdoa atau tantangan apapun yang dihadapi” (T. Radcliffe. OP). Hanya dengan cara itulah semua kita belajar untuk dipenuhi kekuatan rahmat Tuhan. Untuk diselimuti Kasih Tuhan sendiri yang menyelamatkan!


Salib pasti dienyahkan oleh para pemburu pencitraan. Yang membungkus diri dan jalan hidup dengan segala yang glamour dan elitis. Sebab salib menantang siapapun untuk tanggalkan dan tinggalkan ‘pakaian kuasa, jabatan, kedudukan, harta dan kekayaan, dan segala atribut kebesaran. Pun salib pasti dibenci oleh siapapun yang ‘berpakaian kesalehan abal-abal.’ Yang hanya berkiat untuk menutupi religiositas penuh semu dan tak berjiwa.’


Di bumi yang berputar penuh gejolak ini, kisah-kisah kehidupan tetaplah membara dalam persaingan penuh sengit demi “membungkus citra diri.” Manusia saling mencakar dan menerkam saat ia merasa bahwa ‘telanjang dan ketanpaan’ adalah aib. Manusia saling merebut ‘pakaian’ ini dan itu. Semuanya agar terlihat ‘gagah dan tak telanjang.’


Namun sayangnya, di alam keras penuh kompetisi ini, kiat menelanjangi orang lain seakan tak pernah surut. Bahkan semakin jadi kasar dan membabi buta. ‘Pakaian kekuasaan’ yang diperebutkan sudah tenggelamkan manusia dalam hoaks, penyesatan, berita palsu, penggiringan opini negatif, kritik di luar nalar dan tanpa etika.


Dan semuanya itu jadi makin rumit, saat “pakaian kekuasaan” itu telah masuk rana politik. Dan siapakah yang sanggup membantah bahwa “Poltik itu kotor. Politik itu janji petai-hampa, senyum yang diperhitungkan, salam yang dicari efeknya, rangkulan yang tidak ikhlas. Politik itu bujukan, tipuan, ancaman, juga suap.”


Di ketinggian salib, Dia yang datang dari kemuliaan justru hendak kembali pada kemuliaan abadi di dalam “ketanpaan.” Semuanya mesti Ia tinggalkan. Yang bersamaNya, biarlah hanya dua penyamun, sampah masyarakat yang tak diperhitungkan! Manusia durjana ‘tanpa nama baik lagi.’


Dari kitab Ayub, yang dibakukan pada abad IV SM, tertangkap seruan Ayub, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang pula aku akan kembali ke dalamnya” (Ayub 1:21). Titik awal dan titik akhir kehidupan siapapun anak manusia adalah “ketelanjangan, ketanpaan, ketiadaan.” Sayangnya, di antara kedua titik awal dan tidak akhir itu, manusia telah bergerak tak berarah. Kepanikan yang penuh cemas akan varian ‘pakaian’ telah membuat manusia jauh dari rasa kasih sayang, keakraban, kerukunan dan rasa penuh persaudaraan.


Kita memang mesti ‘berani suci’ untuk tetap memandang salib. Untuk membiarkan pula Tuhan yang tersalib memandang setiap kita. Tanpa segala asesori yang dipaksakan. Iya, seperti adanya kita.... Sebab dalam salib Tuhan memang “kita mesti telanjang dan benar-benar bersih.....” untuk akhirnya kembali kepadaNya. Selamanya.....


Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro - Roma

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu