x

Kapal bercadik yang ditampilkan di Borobudur. Pada 990 Raja Dharmawangsa dari Jawa mengirim armada kapal perang untuk menyerbu Sriwijaya di Sumatra. Wiki[edoa

Iklan

Made Darme

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2023

Jumat, 22 September 2023 18:15 WIB

Mengenal Teknologi Perahu Masa Sriwijaya

Sriwijaya dikenal bukan hanya dari kebesaran kekuatan armada kemiliterannya, tetapi memiliki kekayaan sumber daya alam yang dibutuhkan negara lain. Untuk sampai di wilayah kekuasaan Sriwijaya butuh perahu hebat. Lagipula, kebesaran Sriwijaya juga didukung para perompak laut yang malang melintang di perairan Nusantara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kekuatan Kedatuan Sriwijaya memang ditentukan letak geografisnya yang sangat strategis, sebagaimana dilewati berbagai negara pendatang, seperti pedagang Arab, India, dan China. Sehingga untuk mencapai ke suatu negara yang dituju harus melewati Kedatuan Sriwijaya, oleh karena apabila melanjutkan pelayaran lebih lanjut maka harus menunggu musim musom selama enam bulan. Maka dari itu pelayaran yang dilakukan oleh pedagang Arab, India, dan China harus singgah dan menetap di Kedatuan Sriwijaya.

Selain itu, Kedatuan Sriwijaya merupakan negara maritim yang sebagian besar masyarakat hidup dari pelayaran dan perdagangan. Negara yang hidup dari perdagangan tentu tidak lepas dari sumber daya alam yang dapat menjadi komoditas perdagangan. Sumatra kaya akan sumber daya alam, yakni komoditas perdagangan berupa hasil hutan, hasil tambang, dan hasil bumi yang banyak digemari orang Arab, Persia, India, dan China.

Kemudian, untuk melancarkan kekuatan utama Kedatuan Sriwijaya adalah penguasaan terhadap daerah Selat Malaka sehingga memegang kunci pelayaran perdagangan ke China dan negeri-negeri barat. Sektor perdagangan dan pelayaran yang menjadi sektor andalan Kedatuan Sriwijaya membutuhkan pengawasan langsung dari penguasa berbagai daerah taklukannya. Kedatuan Sriwijaya mempunyai kekuatan angkatan laut untuk melakukan ekspedisi ke luar negeri sekaligus memastikan jalur pelayaran aman dari bajak laut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di samping memperkuat kekuasaan Kedatuan Sriwijaya, ia melakukan beberapa ekspansi ke wilayah taklukan, seperti Kedah, Ligor, Semenanjung Melayu, Kota Kapur, Jambi, Lamoung, dan Baturaja. Hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti kutukan yang diciptakan oleh raja Kedatuan Sriwijaya, apabila ia melanggar prasasti tersebut maka Kedatuan Sriwijaya akan melakukan pemberontakan kembali ke wilayah yang tidak tunduk, tujuannya untuk menunjukkan adanya suatu pengakuan kedaulatannya.

Dalam melancarkan kekuatan besar Kedatuan Sriwijaya menggunakan sarana transportasi bernama perahu. Seseorang yang memakai perahu biasanya untuk kegiatan mata pencahariannya, seperti menangkap ikan, berdagang, dan berlayar ke tempat lain. Namun berbeda pada sistem kerajaan, mereka menggunakan perahu untuk melampaui tempat yang ingin disinggahi. Karakteristik perahu yang digunakan menyesuaikan dengan air laut yang ditempuh, apabila ingin berkunjung ke negara-negara besar maka pembuatan perahu lebih besar. Upaya ini dilakukan untuk mengarungi ombak air laut yang besar agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.

Masuk pada abad XVI M, berbagai negara-negara besar Eropa melakukan pelayaran menggunakan teknologi perahu modern atau dikenal dengan perkapalan. Sebagaimana maksud dari datangnya orang-orang berlayar mengunakan kapal untuk menggapai daerah yang diinginkan. Tujuannya untuk membuktikan bahwa negara itu bulat ataupun mencari daerah penghasil sumber daya alam yang melimpah sebagai kebutuhan dunia internasional. Dengan demikian, pentingnya teknologi perkapalan pada masa Kedatuan Sriwijaya sampai Eropa adalah mempermudah mencapai ke titik yang akan dituju dan menghindari terjadinya perampokan di jalur darat.

Sistem Kekuatan Kemaritiman Kedatuan Sriwijaya

Sistem kekuatan maritim pada masa Kedatuan Sriwijaya menggunakan dua strategi pada kekuasaan wilayahnya, yakni Sea Power dan Naval Power. Sea Power adalah hal-hal dasar menuju kebesaran bangsa. Sea Power secara umum dijelaskan termasuk di dalamnya semua aspek kekuatan, dan perikanan. Sea Power ini mengangkat pentingnya aspek laut dan kekuatan maritim bagi kesejahteraan bangsa. Kepentingan tersebut bisa terwujud bila memiliki elemen-elemen yang dibutuhkan untuk membangun negara maritim. Umumnya pembahasan itu dapat dibagi ke dalam dua aspek yaitu, strategis dan operasional. Selain itu, Sea power mengacu pada kontrol menyeluruh atas lautan, sedang yang kedua mengacu kepada angkatan bersenjata yang terorganisasi di lautan. Naval power tidak hanya digunakan untuk penyebutan sebuah negara, namun juga dapat untuk menyebut sebuah Badan/Kompeni dengan sejumlah konsensi yang memiliki kapal-kapal yang dikirim untuk bertempur melawan musuh atau yang digunakan untuk melindungi pernigaan. Pemakaian istilah naval power berarti merujuk kembali seluruh hubungan sejarah yang mengutamakan pengaruh laut.

Terdapat beberapa teori Mahan, yaitu 6 elemen, yakni aspek strategis mencakup karakter geografi, dekat dengan laut, memiliki pantai yang relatif cukup panjang, karakter bangsa yang menganggap laut sebagai aset penting untuk meningkatkan kesejahteraan nasional, ada sumber daya alam yang mendukung kekuatan maritim, dan karakter pemerintah yang memiliki mindset berorientasi ke domain maritim. Sedangkan aspek operasional, lazimnya terdiri dari tiga elemen besar, yaitu, kekuatan pengamanan atau dalam istilah teknis fighting instrument untuk melindungi aset dan kepentingan, armada niaga, dan yang terakhir berhubungan dengan industri dan jasa yang mampu mendukung kedua elemen operasional meliputi berbagai kegiatan yang terkait dengan laut. Oleh karena itu harus dibangun armada laut yang kuat untuk menjaganya.

Dalam teori Mahan mengalami kelemahan, yakni menurut Sir Halford J. Mackinder adalah seorang ahli geografi Inggris yang secara terbuka mengkritik pandangan Mahan. Menurut Mackinder, sejarah dunia tidak hanya terbatas pada pergulatan berkelanjutan untuk mengontrol lautan, namun juga antara kekuatan laut dan darat. Dalam pandangan MacKinder, negara maritim merupakan salah satu fase dalam pergulatan sejarah. Hal ini didasari oleh perkembangan signifikan dalam bidang transportasi darat dan udara yang akan memperkuat land power.

Pentingnya Perahu sebagai Sarana Transportasi masa Sriwijaya

Perahu merupakan sarana transportasi utama yang dapat menghubungkan daerah pesisir dan daerah hulu sungai. Sisa-sisa perahu kuna dari kayu sering ditemukan di dalam rawa. Bukti tertulis menengenai penggunaan perahu sebagai sarana transportasi pada masa Sriwijaya ialah diperoleh dari prasasti, berita China, dan berita Arab. Prasasti Sriwijaya yang menyebutkan penggunaan perahu adalah prasasti Kedukan Bukit yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Dapunta Hiyang berangkat dari minanga dengan membawa 20.000 pasukan dan 200 buah peti perbekalan yang diangkut dengan perahu-perahu. Apabila membandingkan dengan perahu pinisi yang dapat mengangkut 500 orang, maka perahu yang dibutuhkan Dapunta Hiyang dalam ekspedisinya sekurang-sekurang 40 buah perahu yang seukuran dengan perahu pinisi.

Perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas, antara lain badan (lambung) perahu berbentuk seperti huruf V sehingga bagian lunasnya berlinggi, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya, dalam seluruh proses pembangunannya sama sekali tidak menggunakan paku besi, dan kemudi berganda di bagian kiri dan kanan buritan. Teknik yang paling mengagumkan untuk masa kini ialah cara mereka menyambung papan. Selain tidak menggunakan paku besi, cara menyambung satu papan dengan papan lainnya adalah dengan mengikatnya dengan ijuk. Sebilah papan pada bagian tertentu dibuat menonjol. Di bagian yang menonjol ini diberi lubang yang jumlahnya 4 buah menebus ke bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang ini tali ijuk kemudian dimasukan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Bagian sisi yang tebal di perkuat dengan pasak-pasak kayu/bambu. Teknik penyambungan papan seperti ini dikenal dengan istilah “teknik papan ikat dan kupingan pengikat”.

Perahu juga digunakan sebagai alat mata pencaharian utama yaitu menangkap ikan selain mengumpulkan hasil hutan di daerah lahan basah. Sebuah kemudi ditemukan di Karangagung Tengah. Kemudi ini panjangnya 287 cm dan ditemukan tidak bersama dengan sisa-sisa perahu sehingga tidak diketahui bentuk dan ukuran perahu. Berdasarkan lokasi penemuan kemudi perahu tersebut diperkirakan bentuk dan ukuran perahu dapat memasuki anak-anak sungai di daerah rawa. Di bagian hulu Sungai Lalan, penduduk memberi informasi mengenai adanya temuan-temuan perahu kuna (pinis) di Sentang dan rawa-rawa di sepanjang aliran Sungai Merang. Hal ini menunjukkan bahwa telah adanya komunikasi antara komuniti-komuniti di hulu dan hilir Sungai Lalan.

Perahu yang digunakan adalah Perahu Kajang. Perahu yang menggunakan atap dari daun-daunan kering, misalnya daun nipah (kajang), menggunakan satu kemudi perahu yang berada di buritan dan dua dayung dari kayu di bagian huluan. Untuk ukuran perahu kajang yang panjangnya antara 6-8 Meter digunakan kemudi perahu yang berukuran panjang sekitar 250 cm dan dayung memiliki ukuran yang lebih panjang yaitu sekitar 3 Meter.

Perkembangan Teknologi Perkapalan Abad XVI-XVIII M

Bukan hanya perahu yang ada pada masa pelayaran yang dilakukan di Nusantara, akan tetapi berkembangnya teknologi perahu menjadi berkembang sangat pesat dan dimodifikasi lebih besar serta modern. Sebagaimana lebih dikenal dengan nama kapal. Karena dapat memuat manusia dan barang-barang dalam jumlah yang lebih besar. Munculnya kapal ini juga dipelopori oleh bangsa Eropa dan Asia.

Kapal Jung adalah kapal yang memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari kapal-kapal para penjelajah Eropa pada saat itu, dan memiliki keunikan konstruksi yang tidak pernah orang-orang Eropa temukan sebelumnya. Sebelum mengenal lebih jauh tentang Kapal Jong ini, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu terminologi dari nama Jong itu sendiri. Jong atau Jung yang dalam bahasa Inggris ditulis Junk pada masa modern lebih dikenal sebagai sebutan untuk kapal tradisional bangsa China, dan bukan untuk menyebutkan kapal dari Nusantara. Jung China dan Jong Nusantara walaupun memiliki nama yang mirip, serta mempunyai karakteristik yang sama, yaitu memiliki kapasitas kargo yang besar, papan lambung yang berlapis serta mempunyai beberapa layar. Tetapi memiliki dua perbedaan yang mendasar. Pertama adalah teknik konstruksinya, Jong menggunakan pasak sebagai penyambung kapalnya, sedangkan Jung China selalu menggunakan paku besi dan penjepit. Kedua adalah sistem kemudi, Jung China menggunakan satu kemudi tengah sedangkan Jong menggunakan dua kemudi samping.

Untuk Kapal Jung sendiri terkhusus di Nusantara terdapat Kapal Jung Jawa pada abad ke-VIII. Kapal ini menjadi perhatian kawasan Asia Tenggara, karena teknologi yang digunakan dalam pembuatan kapal ini cukup unik. Jung Jawa dibangun tanpa menggunakan paku, seperti halnya pembuatan Kapal Borobudur. Kapal ini terdiri dari empat tiang layar dan dinding, yang merupakan gabungan dari empat lapis kayu sehingga tahan akan tembakan meriam dari kapal-kapal Portugis. Berat dari Jung Jawa juga bervariasi, dari kisaran 600 sampai 1000 ton seperti yang digunakan oleh Kerajaan Demak dalam peperangan di Malaka tahun 1513.

Dengan demikian, adanya kapal-kapal besar yang dibuat secara berbeda-beda, baik bentuk maupun ukuran. Selain itu pelayaran yang dilakukan selalu berbeda dari setiap pengemudi kapal. Namun perlu digarisbawahi bahwa fungsi utama kapal sebagai suatu kegiatan pelayaran ataupun perdagangan dalam mengarungi Samudera Pasifik. Apalagi pembuatan kapal didesain lebih modern dan kekinian untuk menghadapi bahaya yang terjadi di tengah laut.

Referensi

Anugrah, P.T. 2017. Sea Power, Security & Good Order at Sea. Bogor: Fakultas Keamanan Nasional.

Munandar, A. A., Utomo, B. B., Wurjantoro, E., Astra, I. G. S., Ardika, I. W., Suhadi, M., Mustopo, M. H., Nur, M., Julianto, N. S., Rahardjo, S., & Nastiti, T. S. (2012). Kerajaan Hindu-Budhha (T. Abdullah & A. B. L. (alm) (eds.)). PT Ichtiar Baru van Hoeve.

Bafadal, I. 2018. Kapal Besar Jung Jawa, Armada Terbesar Indonesia di Masa Lampau yang Jarang Orang Ketahui. https://www.goodnewsfromindonesia.id/-2018/01/23/kapal-besar-jung-jawa-armada-terbesar-indonesia-di-masa-lampau-yang-jarang-orang-ketahui.

Dewa, A.L., Mafruhah, I., & Susilowati, I. 2020. Peran Transportasi Laut pada Poros Maritim dalam Pengurangan Disparitas Antar Wilayah di Indonesia. Surakarta.

Rangkuti, dkk. 2019. Tabir Peradaban Sungai Lematang. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan: Balai Arkeologi Sumatera Selatan.

Sutikno. 2018. Arkeologi Lahan Basah di Sumatera Selatan dan Kalimantan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan: Balai Arkeologi Sumatera Selatan.

Fiqri, Y.A. 2020. Teknologi Perkapalan Nusantara Abad Ke-16-18 M. jurnal sejarah, budaya, dan pengajaran. 14(1), 1-21.

Pradani, S.I. 2017. Sejarah Hukum Maritim Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dalam Hukum Indonesia kini. Jurnal Lembaran Sejarah. 13(2):186-103.

Poesponegoro, M.D., & Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Yuliati. 2014. Kejayaan Indonesia sebagai Negara Maritim (Jalesveva Jayamahe). Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. 27(2):129-134.

Ikuti tulisan menarik Made Darme lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu