x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Rabu, 4 Oktober 2023 10:23 WIB

Inilah 5 Perbedaan JHT BPJS dan DPLK yang Perlu Anda Ketahui

Bila perusahaan atau pekerja sudah punya JHT BPJS Ketenagakerjaan, apa nggak perlu DPLK? Sangat perlu bila tidak mau merana di masa pensiun. Bila sudah punya kipas angin apa nggak perlu AC?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sering ada pertanyaan. Bila perusahaan sudah punya program JHT (Jaminan Hari Tua) BPJS Ketenagakerjaan, apa nggak perlu lagi punya Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK)? Hal yang sama terjadi pada seorang pekerja, bila sudah diikutkan perusahaan tempatnya bekerja ke JHT BPJS, apa nggak perlu juga punya DPLK? Mohon maaf nih dan mungkin, pertanyaan itu dapat diilustrasikan sama dengan “bila sudah punya kipas angin, apa nggak perlu AC?”  

 

Sebelum menjawab pertanyaan bila sudah punya JHT BPJS, apa nggak perlu DPLK? Ada baiknya kita memahami perbedaan mendasar JHT BPJS dengan DPLK. Sekalipun sama-sama orientasinya untuk hari tua atau masa pensiun, setidaknya ada 5 (lima) perbedaaan mendasar antara JHT BPJS Ketenagakerjaan dan DPLK yang patut diketahui, yaitu:

  1. JHT bersifat wajib yang diatur dalam UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sedangkan DPLK bersifat sukarela yang diatur oleh UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
  2. JHT BPJS bertujuan untuk memberikan perlindungan dasar dan layak di hari tua, sedangkan DPLK untuk memberikan manfaat pensiun yang lebih optimal (on top) agar pekerja mampu mempertahankan standar dan gaya hidup di masa pensiun seperti saat masih bekerja.
  3. Manfaat JHT BPJS dibayarkan secara sekaligus (lumpsum) kepada pesertanya, sedangkan DPLK manfaatya dibayarkan terdiri dari a) secara sekaligus dalam jumlah tertentu atau b) secara berkala setiap bulan atas pilihan peserta.
  4. Iuran JHT BPJS sudah ditentukan sebesar 3,7% (dari Perusahaan) dan 2% (dari pekerja) dari upah sebulan, sedangkan iuran DPLK dapat disesuaikan dengan kondisi perusahaan dan pekerja sesuai dengan tujuan keuangan di masa pensiun.
  5. Dan yang terpenting untuk diketahui, iuran JHT BPJS dari Perusahaan tidak dapat “diakui” sebagai bagian pemenuhan kewajiban atas Uang Pesangon (UP) dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) saat pekerja memasuki usia pensiun, meninggal dunia atau PHK. Sedangkan iuran Perusahaan di DPLK dapat “diakui” atau dikompensasikan (offset) sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban Uang Pesangon (UP) dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) terhadap pekerja sesuai UU No. 6/2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja dan PP 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, alih daya, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sebagai contoh saja. Bila seorang pekerja pensiun di usia 56 tahun. Sesuai kewajiban ketenagakerjaan (UU No. 6/2023) berhak menerima uang pensiun dari perusahaan sebesar Rp. 500 juta. Maka iuran perusahaan yang 3,7% di JHT BPJS “tidak dapat dikompensasi” sebagai pengurang. Artinya, Perusahaan harus tetap membayar Rp. 500 juta ke pekerja. Sedangkan iuran perusahaan di DPLK “dapat dikompensasikan” sebagai bagian dari pengurang uang pensiun ke pekerja. Misalnya akumulasi iuran Perusahaan di DPLK sudah mencapai Rp. 300 juta, maka Perusahaan hanya membayarkan kekurangannya sebesar Rp. 200 juta ke pekerja. Kira-kira begitu.

 

Penting untuk dipahami oleh perusahaan dan pekerja, kita mengenal istilah “Tingkat Penghasilan Pensiun – TPP” atau replacement ratio yang dibutuhkan seorang pekerja di saat pensiun, saat tidak bekerja lagi. Dikatakan seorang pekerja membutuhkan TPP sebesar 70%-80% dari upah terakhir untuk bisa memenuhi standar dan gaya hidup di hari tua. Sebut saja seorang pekerja memiliki upah terakhir sebelum pensiun sebesar Rp. 10 juta per bulan. Maka  di saat pensiun, dia membutuhkan TPP sebesar Rp. 7-8 juta per bulan. Agar tetap dapat hidup layak di masa pensiun. Nah sebagai ilustrasi, JHT BPJS (wajib) mungkin hanya berkontribusi 15% saja atau setara Rp. 1,5 juta per bulan. Maka ada kekurangan TPP 55%-65% dari kebutuhan dana di masa pensiun. Oleh karena itu, untuk memenuhi kekurangan TPP tersebut, dibutuhkan program DPLK (sukarela). Jadi, tinggal pilih yang mana yang mau dituju? Mau kekuarangan atau tercukupi kebutuhan dana di masa pensiuan atau hari tua nanti.

 

Faktanya, 7 dari 10 pensiunan di Indonesia mengalami masalah keuangan. Atau “terpaksa” bergantung hidup kepada anaknya. Hal itu terjadi akibat tidak adanya dana yang mencukupi di masa pensiun. Maka. DPLK diperlukan untuk memenuhi “kekurangan” dana yang cukup untuk membiayai kehidupan di masa pensiun. Di saat bekerja berjaya, tapi di masa pensiun merana. Itulah realitas yang terjadi pada pensiunan. Kata pepatah “sedia payung sebelum hujan”, maka setiap pekerja sangat perlu mempersiapkan masa pensiun yang Sejahtera. Atau perusahaan mencadangkan kewajiban uang pensiun/uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja yang harus dibayarkan kepada pekerja saat pensiun. Karena cepat atau lambat, uang pensiun pasti dibayarkan.

 

Kembali ke pertanyaannya, bila perusahaan sudah punya JHT BPJS, apa nggak perlu DPLK? Maka jawabnya, sangat perlu untuk 1) menghindari masalah cash flow perusahaan saat pekerja pensiun, 2) meminimalkan biaya perusahaan atas uang pensiun/pesangon, dan 3) memastikan ketersediaaan dana kompensasi pascakerja terhadap pekerja, dan 4) mengurangi pajak penghasilan badan (PPH 25) karena iuran perusahaan ke dana pensiun dianggap sebagai biaya.

 

Di tengah cuaca panas yang berkepanjangan seperti sekarang, mari kita bertanya. Bila sudah punya kipas angin, apa kita nggak perlu AC? Itulah yang disebut “kerja yes, pensiun oke”. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDPLK #DanaPensiun  

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu