x

Rocky Gerung.

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Jumat, 6 Oktober 2023 05:16 WIB

Rocky Gerung, Kekuasaan Pongah dan Publik yang Gelisah

Berkali-kali dilaporkan para hatersnya ke polisi Rocky Gerung nampaknya tak jadi surut dan mengkerut. Ia terus saja bicara dan mendakwahkan pentingnya merawat akal sehat di tengah kekuasaan pongah dan publik yang gelisah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasca dilaporkan para hatersnya ke Mabes Polri gegara urusan diksi “bajingan tolol”, Rocky Gerung nampaknya tak jadi surut dan mengkerut. Ia terus saja maju, dan kini bahkan kian menyita perhatian berbagai kalangan masyarakat.

Belakangan aktifitasnya tak hanya didiskusikan di ruang publik yang lebih memahami Rocky dan menempatkannya dalam konteks relasi kekuasaan dan eksponen-eksponen oposisional  yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi dan para pendukung fanatiknya.

Tetapi juga telah masuk ke dalam area diskursus akademik yang serius namun senyap. Fenomena ini tak pernah dialami para akademisi, aktifis dan para selebritas media sosial yang namanya tak kalah populer, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintahan Jokowi. Rocky beda, ia memang fenomenal.       

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diksursus akademik serius dan senyap yang saya maksud adalah, bahwa sosok Rocky belakangan ini banyak diperbincangkan dalam diskursus filsafat. Pertanyaan sentralnya (agak konyol dan sama sekali tidak perlu sebetulnya) : apakah Rocky seorang filsuf, ataukah tak lebih dari seorang sofis dalam tradisi intelektual Yunani kuno ?

Bagi para peminat dan followernya sendiri tampaknya tidak penting siapa Rocky dalam forum percakapan akademis dan kalangan intelektual. Mereka hanya merasa bahwa apa yang disampaikan Rocky dalam ceramah-ceramahnya, khususnya terkait kritik-kritik tajamnya terhadap penguasa sudah mewakili pikiran dan aspirasi mereka.

 

Tak penting Sofis atau Filsuf

 Sofis berasal dari kata “Sophos”, cerdik pandai artinya. Di era Yunani kuno sebutan ini ditujukan kepada orang-orang pandai terutama dalam di bidang bahasa, filsafat dan politik. Karena kedalaman pengetahuan dan kebijaksanaannya kepada mereka disematkan panggilan Sofis.

Dalam buku klasiknya Alam Pikiran Yunani (1980), Bung Hatta menjelaskan bahwa sebutan yang awalnya mengandung kebaikan itu berubah maknanya menjadi gelar ejekan, sinisme. Sofis bukan lagi seorang yang cerdik pandai dalam arti yang sebenarnya, melainkan orang-orang yang hanya pandai mengolah kata, bersilat lidah tanpa isi, tak memberi solusi apapun dalam setiap pikiran dan ceramah-ceramah jalanan yang dikemukakannya.

“Ceramah jalanan?” Ya, para Sofis memang memiliki “kebiasaan baru” di Athena pada masa itu. Ilmu pengetahuan dalam lanskap sejarah peradaban pemikiran Yunani yang semula diajarkan dengan cara senyap, eksklusif, di ruang-ruang pembelajaran (sebutlah semacam “kampus, pesantren atau seminari”) oleh para Sofis dibawa ke luar, diajarkan secara terbuka di jalanan, di pasar dan ruang-ruang publik lainnya. Akibatnya, seperti dilukiskan Bung Hatta berikut ini :

“Ilmu yang selama ini dipupuk dengan bertenang-tenang dalam gedung yang sunyi, dibawa sekarang ke tengah pasar dan diobralkan kepada orang banyak. Ahli pikir yang selama ini menyisihkan diri dalam langgarnya berganti dengan guru umum yang mengajar di jalan raya. Karena tindakan mereka itu orang banyak seolah-olah kena suntikan dan berjangkit dengan kepercayaan, bahwa ilmu dapat dituntut dengan mudah. Segala orang gila berguru”.

Rocky, oleh para penyangkalnya disetarakan dengan Sofis. Rocky bukanlah filsuf sebagaimana gelar ini banyak disematkan oleh para pengagum dan followernya. Ia tidak mewarisi tradisi Socrates, Plato atau Aristoteles, yang menjadi antitesa terhadap metode para Sofis dalam memperlakukan ilmu pengetahuan dan mengajarkan pikiran-pikiran kepada masyarakat dengan benar dan berintegritas.

Rocky adalah Protagoras yang individualis. Rocky adalah Gorgias, orator yang piawai membantah segala hal tanpa memberi solusi, seorang nihilis. Rocky adalah Hippias, seorang yang pandai dan segala bisa. Atau Rocky adalah Prodikos, seorang moralis yang rajin mencemoohkan kepercayaan orang.

Sepintas, style Rocky mungkin memang mirip dengan para Sofis. Tapi jangan lupa, konteks sosio-historis dimana dan kapan para Sofis hidup dan menjadi “guru-guru jalanan” itu berbeda jauh dengan situasi dimana Rocky memainkan peran sebagai “juru bicara” masyarakat, setidaknya masyarakat yang merasa terwakili suara bathin, pikiran dan aspirasinya. Karena itu tidak penting sama sekali, apakah Rocky mewakili sosok sofis atau filsuf.

 

Konteks sejarah Rocky

Para Sofis hidup di era dimana kaidah-kaidah bernegara, norma-norma etik bagaimana kekuasaan dioperasikan, dan prinsip-prinsip rakyat berdaulat masih dalam fase awal pergulatan pemikiran. Rocky dan (kita tentu saja) hidup dimana kaidah-kaidah itu, norma-norma itu, prinsip-prinsip itu sudah sangat jelas rumusan dan formulasinya tanpa bermaksud menegasikan dinamika yang tentu saja masih akan terus berlanjut.

Meski demikian, saya yakin Rocky juga tidak peduli apakah ia dianggap seorang filsuf atau bukan. Baginya, seperti kita cermati dari banyak materi ceramahnya, Rocky bahkan tidak peduli ketika seorang pakar mempertanyakan gelar “Profesornya”. Tentu saja, karena Rocky memang bukan guru besar. “Bukan tidak bisa”, ujarnya. Tapi “tidak perlu”.

Rocky juga tidak pernah mengklaim dirinya seorang filsuf. Sebutan ini disematkan oleh para pendukungnya, followersnya, orang-orang yang menilai level kapasitas Rocky melampau banyak professor, doktor dan para akademisi yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri, dengan karirnya, dengan jabatan fungsional dan posisi-posisi strukturalnya.

Padahal kita tahu ada tanggungjawab moral di pundak mereka sebagai intelektual, sebagai cendekiawan yang harus selalu berada di tengah kegelisahan publik lantaran kekuasaan tak memihak pada rakyat dan kerakusan para pemodal menghancurkan lingkungan dan tak menyisakan warisan kebaikan untuk anak-anak bangsa.

Dalam situasi itulah Rocky hadir. Situasi dimana mayoritas intelektual menjadi bebal di tengah kekuasaan pongah dan banal, sebagian besar cendekiawan diam, dan para aktifis sibuk berebut remah-remah kekuasaan yang tak lagi ramah pada pemilik sejati daulatnya.

Maka sekali lagi, bagi Rocky tidak penting apakah orang akan melabeli dirinya dengan sebutan Fisluf atau Sofis. Ia hanya peduli dan terus berikhtiar menjaga nalar sehat publik di tengah banalitas para elit, di tengah operasi kekuasaan yang pongah. Dan nampaknya akan terus menghidupkan serta menularkannya sebagai virus moralitas perlawanan kepada siapa saja.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler