x

Ilustrasi Petani saat panen Padi di Lamongan. Foto- Ist.

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 9 Oktober 2023 12:02 WIB

Mari Dipilih, Ketahanan Pangan atau Kedaulatan Pangan

Ketersediaan beras mulai mengkhawatirkan. Negara produsen beras menutup keran impornya. Kita terjebak dalam ketahanan pangan berbasis impor, bukan kedaulatan pangan dengan swasembada.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mari Dipilih, Ketahanan Pangan atau Kedaulatan Pangan

Oleh Mpu Jaya Prema

Masihkah sibuk mengikuti berita siapa yang menjadi calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto? Apakah tak bosan? Cobalah sesekali menyibukkan diri ke pasar-pasar, cek berapa harga beras dan kebutuhan pokok lainnya. Atau di daerah tertentu – tidak semua wilayah – masuk ke pasar swalayan. Ternyata tak bisa lagi membeli beras sekantong yang beratnya 25 kg. Sudah mulai dibatasi hanya boleh membeli ukuran kecil seberat 10 kg. Lho, ada kelangkaan toh? Belum begitu parah memang, tetapi ada yang khawatir karena negara produsen beras mulai menutup pasar impornya. Mereka fokus untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini berita tak enak buat warga Indonesia, negeri agraris yang subur tetapi tergantung pada beras impor. Sampai-sampai Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengajak kita membiasakan diri makan ubi sebagai pengganti beras. Lha, di mana menanam ubi? Kalau ubi langka, terus makan apalagi?

Masalah pangan ternyata dijadikan isu menarik oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai ini melaksanakan rapat kerja nasional akhir bulan lalu. Pada saat orang menduga rapat itu akan melahirkan cawapres pendamping Ganjar, ternyata tema besarnya adalah ketahanan pangan. Apakah partai wong cilik ini benar-benar memperhatikan nasib rakyat yang kini mempersoalkan naiknya harga pangan ketimbang sibuk mengurusi cawapres? Barangkali ya, tetapi bisa pula, “ah ini justru politik untuk mengkritisi kebijakan lawan politik”.

Coba kita urut pemasalahannya. PDI Pejuangan getol menyuarakan bagaimana pemerintah gagal melaksanakan program food estate. Program ini dipimpin oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang kebetulan sudah dinyatakan (tapi belum resmi) sebagai calon presiden Koalisi Indonesia Maju. Koalisi ini didukung Partai Gerindra, PAN, Golkar, PBB. Adalah Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, bersuara keras soal kegagalan ini. “Hutan-hutan justru ditebang habis, dan food estate-nya tidak terlaksana dengan baik. Itu merupakan suatu kejahatan terhadap lingkungan,” ucap Hasto.

Yang menarik pula, pada saat pembukaan rapat kerja nasional PDI Perjuangan itu, Presiden Joko Widodo memberikan pidato yang menyinggung soal ketahanan pangan. Jokowi, entah selaku kader partai atau presiden, dalam pidatonya menyebutkan sudah berbisik kepada calon presiden Ganjar Pranowo. Isi bisikannya, sehari setelah dilantik (sebagai presiden) langsung minta Ganjar melaksanakan program ketahanan pangan. “Teknisnya disiapkan sekarang,” kata Jokowi. Lho, apa artinya Jokowi juga gagal melaksanakan kebijakan pangan itu? Atau lebih jauh lagi, jangan-jangan selama ini pemerintah tak punya program soal ketahanan pangan, sehingga meminta Ganjar Pranowo menyiapkan program itu dari sekarang.

Mari kita tak menduga-duga soal ini. Apa itu ketahanan pangan? Kriteria dari ketahanan pangan itu adalah suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya. Juga aman, merata, dan terjangkau.

Bahwa pangan itu didapat dari menanam sendiri atau diimpor dari negara lain, itu soal teknis. Yang penting cukup dan terjangkau (harganya) oleh masyarakat. Jika ketahanan pangan itu dihasilkan dari menanam sendiri di wilayah suatu negara, bukan tergantung impor, itu diistilahkan “kedaulatan pangan”. Namanya saja berdaulat, istilah keren di masa lalu berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) alias swasembada.

Urusan ketahanan pangan itu ada yang menghitungnya. Maklum ini urusan perut orang banyak, sehingga perlu dipantau terus-menerus. Mari dilihat data dari Global Food Security Index (GFSI) atau Indeks Ketahanan Pangan Global yang dirilis The Economist dan Corteva—perusahaan sains di bidang pangan. Lembaga ini merilis, ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di urutan ke 69 dari 113 negara. Ini di bawah rata-rata global sebesar 62,2.

GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).

Apa artinya? Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris tak bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Beras sebagai kebutuhan pokok masih tergantung pada impor. Juga kedelai, gula, bahkan garam. Meski pun tergantung impor, kadang juga mengalami kesulitan akibat keran impor tak semulus yang direncanakan atau seperti saat ini di mana negara-negara produsen juga berjaga-jaga untuk “kedaulatan pangan”, memenuhi kebutuhan dalam negeri, antisipasi dampak perubahan iklim.

Dahulu sudah sering ada slogan swasembada pangan yang artinya kita berdaulat atas tersedianya pangan. Kini menjadi ironis, sebagai negara agraris pertumbuhan sektor pertanian kita sangat rendah. Kita mengandalkan ketahanan pangan lewat impor, terutama beras sebagai kebutuhan utama. Setiap tahunnya impor itu selalu naik. Pada 2022 lalu, data Biro Pusat Statistik menyebut kita mengimpor beras sebanyak 429.207 ton. Tahun ini Perum Bulog mendapatkan penugasan mengimpor beras sebanyak 2 juta ton. Penugasan diberikan oleh Badan Pangan Nasional yang dipimpin Arief Prasetyo Adi, kini diangkat jadi pelaksana tugas Menteri Pertanian.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Kenapa kita tak bisa berdaulat atas pangan? Orang mudah menjawabnya, karena sudah kasat mata. Yakni, alih fungsi lahan pertanian sulit dibendung. Kementerian Pertanian mencatat, alih fungsi mencapai kisaran 90 ribu hingga 100 ribu hektare per tahun. Konversi lahan pertanian itu menjadi salah satu ancaman dalam meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Alih fungsi lahan terjadi terus menerus yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pemukiman, industri, perkantoran, tempat wisata, jalan raya dan infrastruktur lainnya. Di Bali, misalnya, sawah yang terhimpun dalam sistem subak terus menyusut ratusan hektar setiap tahunnya. Juga di daerah lain, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan tol atau bandara yang justru tak banyak berfungsi. Seperti bandara Kerta Jati, Jawa Barat, yang menelan ratusan hektar sawah. Sementara program membuka lahan pertanian baru, salah satunya lewat pembukaan food estate, dianggap belum berhasil, bahkan gagal.

Pemerintah harusnya menetapkan kebijakan yang jelas. Dan tegas. Apakah ketahanan pangan itu dilakukan lewat swadaya yang berarti kedaulatan pangan? Atau tetap seperti sekarang ini, ketahanan pangan yang dibantu bahkan tergantung pada impor? Keduanya berbeda dalam membuat kebijakan.

Jika kedaulatan pangan yang diprogramkan, maka yang diprioritaskan adalah membangun bendungan, sarana irigasi, mencetak sawah baru. Produksi pertanian ditingkatkan dengan berbagai teknologi. Pengerjaan sawah harus dimoderenkan, tak lagi sawah dibajak dengan bantuan sapi atau kerbau. Minimal traktor dan peralatan kekinian. Penelitian ditingkatkan untuk mendapatkan bibit-bibit unggul. Ketersediaan pupuk yang tak pernah putus. Jadi, bukan membuat kereta api cepat, jalan tol di pulau yang sudah transportasinya bagus seperti di Jawa. Pembangunan infrastruktur seperti itu dinomor-duakan, infrastruktur pertanian yang utama.

Namun kalau ketahanan pangan dengan masih mengandalkan impor, ya, kebijakan bisa berbeda. Sawah bisa saja dijadikan restauran atau hotel atau perumahan mewah. Ini yang sekarang banyak terjadi. Punya sawah satu hektar berapa sih hasilnya kalau ditanami padi, dibandingkan jika dibangun villa? Apalagi anak-anak muda sekarang ini sudah merasa kurang gengsi bekerja di sektor pertanian. Ini soal pilihan saja yang semuanya punya resiko.

Presiden Jokowi telah meminta Ganjar Pranowo untuk menyiapkan dari sekarang teknis ketahanan pangan itu, prioritas apa yang dipilih. Apakah ketahanan pangan atau kedaulatan pangan. Barangkali Prabowo dan Anies Baswedan bersama tim kampanyenya perlu ikut mengkaji dan kemudian memaparkan konsep ketahanan pangan versi mereka, lalu diadu sebagai gagasan. Sehingga siapa pun presidennya, sehari setelah dilantik, langsung mengerjakannya. Sejahtrakan rakyat, apakah negeri masih berstatus agraris atau kita menuju masyarakat industri. ***

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB