x

Cover Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang

Iklan

Zahra Zafira Permana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Oktober 2023

Rabu, 1 November 2023 13:35 WIB

Mengulas Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang

Ziarah, novel karya Iwan Simatupang yang merupakan salah satu novel sastra bergenre fiksi sejarah. Pertama kali diterbitkan oleh penerbit Djambatan, pada tahun 1969. Novel Ziarah mendapat penghargaan sebagai Novel Roman Terbaik Asean pada Tahun 1977.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ziarah, novel karya Iwan Simatupang yang merupakan salah satu novel sastra bergenre fiksi sejarah, banyak juga yang mengatakan bahwa genre dari novel ini merupakan eksistensime yang penuh absurditas, berisi 142 halaman dan pertama kali diterbitkan oleh penerbit Djambatan, pada tahun 1969. Tepat tujuh tahun setelah Iwan Simatupang wafat, novel Ziarah ini mendapat penghargaan sebagai Novel Roman Terbaik Asean pada Tahun 1977.

Novel Ziarah mendapatkan banyak pujian dari beberapa tokoh penggelut sastra Indonesia, seperti Gayus Siagian, sang Kritikus Sastra yang mengatakan bahwa “Novel parodi dan satire yang sangat instan dengan tema yang sangat sederhana, tetapi memerlukan pengetahuan psikologis dan intelek untuk menangkapnya”. Lalu, H.B. Jassin, dalam suratnya kepada Iwan Simatupang mengatakan bahwa “Tentang Ziarah saudara, saya merasa kagum dan menganggapnya perlu menerbitkan segera. Karena akan membuka halaman baru pula dalam kesusastraan Indonesia seperti halnya tempo hari dengan puisi Chairil Anwar”.

Novel ini dikenal sangat unik dan menarik untuk dibaca, sehingga tak heran banyak diperbincangkan bahkan sampai saat ini. Salah satu hal unik dari novel ini adalah plot cerita yang cukup membingungkan. Perubahan alur cerita yang terjadi sangatlah cepat, karena novel ini menggunakan alur cerita maju-mundur. Perubahan nasib yang sangat cepat juga terjadi pada tokoh-tokoh dalam novel ini, sehingga beberapa pembaca mungkin akan kebingungan jika hanya membaca satu kali. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam novel ini cukup rumit untuk dipahami jika si pembaca bukanlah peminat karya sastra.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal menarik lainnya dari novel ini ada pada penokohannya, yang mana semua tokoh dalam novel ini tidak memiliki nama yang pasti. Tokoh-tokoh dalam novel ini hanya disebutkan sebagai Mantan Pelukis, Opseter Pekuburan, Walikota, Istri Pelukis, Ibu Hipotesis, dan Pengapur. Iwan Simatupang menganggap bahwa nama tokoh tidaklah penting dalam karyanya. Kemudian watak tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini dibuat sesuai dengan karakteristik dan watak manusia pada umunya (seperti manusia di dunia nyata) yang memiliki sifat baik dan buruk, karena karya sastra merupakan cerminan realitas kehidupan manusia.

Iwan Martua Donga Simatupang atau yang akrab dikenal sebagai Iwan Simatupang  merupakan salah satu tokoh sastrawan Indonesia pada masa Pujangga Baru. Beliau lahir di Sibolga Sumatera Utara, pada tanggal 18 Januari 1928. Iwan Simatupang mengenyam pendidikan di HBS Meda, lalu sekolah diketer Surabaya (tidak selesai), kemudian belajar antropologi dan filsafat di Rijik Universiteit Leiden, dan Paris. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di Jakarta, pada tanggal 4 Agustus, tahun 1970.

Iwan Simatupang dikenal sebagai wartawan dan sastrawan Indonesia. Beliau memulai karirnya sebagai penulis pada tahun 1952 di majalah Siasan dan Mimbar Indonesia. Iwan Simatupang disebut sebagai pembawa angin baru dalam kesusatraan Indonesia karena karya-karyanya yang bersifat inkonvensional. Iwan Simatupang juga juga dikenal sebagai seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia, karena telah banyak menulis novel, puisi dan juga sajak. Selama hidupnya, Iwan Simatupang telah menulis empat novel, yaitu novel Merahnya Merah yang terbit pada tahun 1969, novel Ziarah dan novel Kering yang keduanya terbit pada tahun 1969, dan novel Koong terbitan tahun 1975.

Cerita ini bermula dari sebuah tempat bernama Kotapraja yang merupakan tempat tinggal sang tokoh utama, yang Iwan Simatupang sebut sebagai “tokoh kita” atau “sang pelukis”. Tokoh kita ini digambarkan sebagai sosok yang kejiwaannya terganggu karena ditinggal mati oleh sang istri. Tokoh kita juga hidup sebagai seseorang yang memiliki kegelandangan batin. Hal ini dapat dilihat dari perilaku tokoh kita sehari-hari setelah melalui sebuah tikungan yang membuat jiwanya terasa kosong. Pagi hari ia terbangun dengan rasa kebahagiaan yang memenuhi dirinya, hingga saat petang tiba, tokoh kita akan menegak arak dengan rakus, tertawa keras lalu berteriak memanggil Tuhan, dan meneriakkan nama istrinya yang telah tiada sepanjang perjalanan pulang menuju rumahnya.

Kehampaan selalu meliputi tokoh kita sejak ditinggal oleh sang istri. Kehidupan tokoh kita sangat hancur dan kacau setelah istrinya tiada. Tokoh kita juga kehilangan gairahnya untuk melukis dan enggan kembali melukis, bahkan membuang semua alat lukisnya ke laut. Tokoh kita bisa melakukan banyak pekerjaan asal jam kerjanya tidak lebih dari lima jam sehari, ia berprinsip untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum petang tiba. Buruh cat dan pengapur rumah warga adalah pekerjaan yang dipilihnya tapi dengan prinsip yang sudah disebutkan sebelumnya. Beberapa kali tokoh kita ditawarkan untuk bekerja mengapur dinding pemakaman, tapi ia selalu menolak tawaran tersebut. Hingga pada akhirnya, tokoh kita memberanikan diri untuk menerima pekerjaan tersebut di pemakaman tempat istrinya dikuburkan setelah seorang Opseter Pekuburan mendatanginya dan mengajaknya berbicara.

Meskipun demikian, sebelum dikenal sebagai sosok yang aneh, tokoh kita merupakan seorang pelukis tersohor yang sangat terkenal hingga ke berbagai penjuru negeri. Karena ketenaran karya lukisnya, ia mendadak menjadi kaya raya sebab seorang wanita asing membeli salah satu hasil karyanya. Sejak saat itu, tokoh kita kebingungan memikirkan bagaimana cara untuk menghabiskan uang yang ia punya, akhirnya tokoh kita memutuskan untuk tinggal di hotel, berjudi demi menghabiskan uangnya, berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel lainnya. Hingga tiba hari dimana tokoh kita sudah sangat lelah dan kebingungan sampai terpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari salah satu kamar hotel. Namun, bukannya mati, tokoh kita malah menimpa soeorang wanita cantik yang kemudian bercinta dengannya di atas aspal, lalu wanita itu dinikahkan dengannya oleh seorang Brigadir Polisi di kantor catatan sipil. Sang mantan pelukis itu sangat bahagia setelah menikah dengan istrinya, meskipun ia tidak mengetahui apapun mengenai istrinya tersebut.

Kehidupan tokoh kita setelah menikah dengan sang istri sangatlah sempurna, tokoh kita menjadi sosok yang tidak lagi dipenuhi kebingungan. Namun, kebahagiaan yang dirasakan tokoh kita tidak berlangsung lama, karena ada seorang wanita tua yang tertarik dengan kebahagiaan kedua pasangan itu dan menjadi penyebab awal kehancuran hidup tokoh kita. Hal tersebut membuat istri tokoh kita jatuh sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya di pinggir pantai. Pesisir pantai merupakan tempat pengasingan tokoh kita, ia diusir dan diasingkan oleh seluruh warga Kotapraja. Kekecawaan akan dirinya sendiri membuat hidup tokoh kita sangat hancur, bahkan ia tidak dapat menghadiri prosesi pemakaman istrinya sendiri. Hal itu menyebabkan tokoh kita tidak mengetahui di mana letak kuburan sang istri untuk waktu yang cukup lama, dan membuatnya tidak dapat datang untuk berziarah kepada sang istri. Tetapi, setelah tokoh kita menerima tawaran dari Opseter Pekuburan untuk bekerja menjadi pengapur dinding pemakaman, ia menjadi tahu letak makam istrinya, dan sejak saat itu tokoh kita menjadi sering berziarah ke makan sang istri tercinta.

Kekurangan dari novel ini adalah tidak cocok untuk para pembaca yang hanya mencari hiburan, karena alurnya yang membingungkan. Iwan Simatupang tidak menjelaskan latar tempat, waktu, dan suasana dengan jelas dalam novel ini. Hal ini menyebabkan pembaca harus menerka-nerka tentang alur yang disajikan oleh penulis. Dalam novel ini juga banyak bahasa yang cukup sulit untuk dipahami jika hanya membacanya sekilas dan si pembaca bukanlah peminat karya sastra.

Kutipan menarik dari novel ini : “Esok akan menjadi kini. Kini yang menjadi kemarin tak dihiraukan, karena segala yang lampau hanya gumpalan hitam”.

Ikuti tulisan menarik Zahra Zafira Permana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

21 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

21 jam lalu