x

Iklan

Hanif Sofyan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 November 2023

Kamis, 2 November 2023 11:51 WIB

Pilpres 2024 Kembali Ke Patron Lama

Lantas apa kepentingan rakyat yang dibela para elitis dalam situasi ketika mereka saling berebut kekuasaan?. Jangankan berdialog, berkomunikasi saja susah. Elite begitu cuek bebek dengan suara rakyat. Ibarat keluarga besar dengan anak banyak, kita tak punya quality time. Tidak menghasilkan pembelajaran berpolitik santun apalagi berdemokrasi yang baik. Kita bahkan seolah kembali ke patron lama era sebelum reformasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dibandingkan pesta demokrasi sebelumnya, paska reformasi, rasanya Pilpres 2024 adalah yang paling cuek bebek dengan rakyat. Seolah mundur ke patron sebelum reformasi ketika hegemoni kuasa elitis begitu kuat dan partai-partai dominan menjadi kendaraan, Terasa sekali jika orientasi perebutan kekuasaannya bukan cuma dipaksakan, bahkan dipamerkan dengan leluasa.

Cerita elitis berkisar pada rebutan kursi, dan partai mana mau mengusung siapa, dilanjutkan dengan koalisi apa yang dipilih, yang paling berpotensi menjadi calon pemenangnya. Sementara kita yang akan dijadikan alat penentu semua keputusan itu dibiarkan menonton, didikte dan tidak dilibatkan, kecuali sebagai pemilih. .

Paling tidak masih sedikit lumayan saat Presiden Joko Widodo naik pertama kali dalam Pilpres 2009. Saat Jokowi dihadirkan sebagai alternatif setelah rakyat dilanda kebosanan kekuasaan elite yang asyik dengan dunianya sendiri. Barangkali itu karena reformasi masih seumur jagung. Masih hangat, masih diperbincangkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah hegemoni penguasa 32 tahun ambruk dalam demo besar-besaran, maka harapan rakyat dan para tokoh politik seperti halnya Amin Rais dan lainnya adalah perubahan yang signifikan dalam perpolitikan kita. Reformasi harus bisa membawa angin perubahan, bahkan mungkin mendekati revolusi dengan perubahan yang drastis.

Terutama keinginan meninggalkan patron kekuasaan yang cenderung otoriter dengan dukungan partai dominan yang hanya menjadi kendaraannya saja.

Sehingga orientasi paska reformasi adalah munculnya wacana menghadirkan Presiden berasal dari sipil. Agar negara tidak selalu terkesan otoriter--garang. Meskipun dalam perjalanannya, reformasi tidak berjalan sepenuhnya sesuai harapan. Orang sipil yang kemudian maju, dianggap belum siap untuk menjaga Indonesia yang untuk sekian lama dikuasai oleh pemimpin yang juga berlatar belakang militer.

Pemimpin sipil dianggap lemah jika berhadapan dengan para pembangkang, dan akibatnya kebebasan menjadi keblablasan, dan melemahkan sendi-sendi negara. Namun bagaimanapun itu bagian dari proses perubahan yang tidak mudah, dan harus diupayakan. 

Meskipun secara perlahan perubahan-perubahan mendasar terjadi melalui proses yang panjang dan berliku. Terutama setelah berakhirnya era SBY, yang kemudian digantikan oleh Jokowi yang merepresentasikan keterwakilan masyarakat luas yang sudah jengah dengan penguasa sebelumnya yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan orang kecil. Terutama tentang keadilan dan perhatiannya pada nasib mereka.

Jokowi ketika itu menjadi media darling, dan dielu-elukan seolah menjadi manusia setengah dewa yang dipuja. Meskipun pada akhirnya seperti para pemimpin lain, kursi panas membawa perubahan dalam cara berpikirnya tentang kekuasaan.

Kembali Pada Patron Lama

Pada akhirnya dibawah kendali lingkar kekuasaan dan kepentingan yang menyokongnya, secara perlahan kebijakannya juga mulai diarahkan pada kepentingan para sekutunya. Bahkan bukan sesuatu yang rahasia jika masyarakat banyak beranggapan bahwa Presiden yang merupakan kader partai adalah perpanjangan tangan, dan petugas partai yang harus menjalankan perintah dan doktrin partai yang telah berjasa mengantarkannya ketitik kekuasaan tertinggi sekarang.

Namun ketika ia sudah memahami bagaimana mesin kekuasaan itu bekerja, memiliki lingkaran politik yang kuat dan jejak atau bukti keberhasilan sebagai presiden membuatnya memiliki kekuatan baru yang tidak pernah dimiliki sebelumnya. Terutama karena legasi (warisan) kekuasaannya dan pembangunan dengan hasil-hasilnya, yang juga harus dipertahankannya. Paling tidak akan dilanjutkan oleh penggantinya. Ini juga sebuah kekuatiran baru yang membuatnya juga tidak tinggal diam-bermanuver dalam menentukan siapa kira-kira pelanjutnya.

Realitas menunjukkan, keberadaan Gibran Rakabuming Raka adalah sebuah solusi awal untuk menjaga kepentingan, soal legasi dan keberlanjutan pembangunan, setelah impiannya untuk berkuasa tiga periode tidak direstui Undang-undang dan partai pembesutnya.

Pada akhirnya banyak orang besar terjerumus kedalam kekuasaan yang menghanyutkan. Bahkan dalam realitas politik saat ini, keputusannya untuk merestui secara tidak langsung, karena tidak menolak Prabowo Subianto untuk menarik Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapresnya seolah menegaskan bahwa, Presiden juga memiliki kekuasaan tersendiri dalam arti sebenarnya, dan bukan sekedar menjadi bayangan dari sebuah kekuatan dominan yang pernah mengusungnya, apalagi sekedar petugas partai. Realitas ini memicu semakin tajamnya polarisasi antar elite di PDIP saat ini, dan bahkan semakin menunjukkan kekuatan-kekuatan baru yang selama ini seolah tersembunyi.

Keputusan formasi capres-sawapresa Prabowo dan Gibran adalah bukti dari adanya wujud sekutu baru yang sedang terbangun diantara para elit politik. Dan dalam situasi tersebut, masyarakat rasanya semakin ditinggalkan. Para pendukung yang berasal dari basis partai meskipun juga bisa disebut rakyat, tapi tetap saja mewakili kepentingan tertentu.

Lantas apa kepentingan rakyat yang dibela para elitis dalam situasi ketika mereka saling berebut kekuasaan. Apakah keputusan mereka didasarkan secara moral memang demi kepentingan rakyat banyak?. Apalagi bicara keadilan, kemakmuran sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apakah jika Prabowo terpilih, maka itu artinya rakyat kecil, para kelompok-kelompok tani, nelayan, buruh akan mendapat tempat yang lebih baik dari nasibnya saat ini?. Karena barisan itu sejak lama dianggap sebagai basis kekuatan yang dapat mendukung Prabowo untuk melangkah ke pentas RI1.

Begitu juga ketika capres Anies Baswedan memilih Muhaimin Iskandar, apakah sejalan dengan pilihan rakyat banyak?. Belum lagi ketika dikait-kaitkan dengan politik identitas yang mestinya tabu. Karena sejak lama barisan partai dengan identitas tertentu semakin ditinggalkan, dan rakyat  lebih memilih partai atau tokoh yang bisa membela kepentingannya, bukan atas dasar identitas tertentu, sekalipun tidak se-ideologi.

Demikian juga dengan Ganjar dan kehadiran Mahfud MD yang penuh kejutan. Pasangan yang saling menutupi kekurangan. Apalagi selama ini sosok Mahfud M.D yang dianggap kritis, bersih dalam politik yang kotor. 

Mereka (para elite) asyik masyuk dengan dunianya sendiri.

Memang DPR, MPR adalah lembaga dengan orang-orang yang merepresentasikan wakil dari rakyat, namun sejak lama hal itu cuma menjadi sebuah formalitas dalam dunia ke-pemiluan. Uang, kekuasaan, berbicara lebih nyaring untuk mempengaruhi  rakyat yang lapar, buta politik, pragmatis akut untuk mengikut kepentingan tertentu. 

Para elite masih belum bisa dijadikan ukuran baik, karena sebagian mereka masih tersngkutpaut dengan birokrasi meski telah berkomitmen maju dalam PIlpres, sebut saja; Gibran-walikota Solo, Prabowo Subianto dan Mahfud M.D masih berstatus menteri. 

Apakah kandidat yang masih berada dalam lingkar birokrasi tidak akan memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk mendongkrak kampanyenya?. Apakah waktunya akan optimal dipergunakan untuk bekerja sesuai kapasitas tanggungjawabnya dengan kesibukan baru ikut Pilpres. Ini berkaitan dengan komitmen dan kepercayaan diri mereka, bukan sebuah spekulasi pilihan politik.

Keluarga Besar Tanpa Quality Time

Pilpres 2024, seperti sebuah potret keluarga besar, dengan anak banyak yang harus diurus tapi tidak punya quality time.

Orang tua dengan kesibukan masing-masing, dan semua keputusan di rumah itu mutlak adanya, tidak pernah dikomunikasikan, dan anak hanya mengikuti apa yang menjadi keputusannya.

Apakah dengan kondisi dan situasi yang demikian, demokrasi bisa berjalan dengan lebih baik, apakah komunikasi politik antara elite dan rakyat bisa nyambung?.

Maka tidak heran jika sejak lama Republik ini selalu dipenuhi dengan masalah; konflik, intrik, polarisasi kepentingan—korupsi, kolusi,nepotisme, Karena pada dasarnya semua elemen itulah yang menggerakkan dinamika politik kita, bukan kepentingan-kepentingan rakyat yang dibahasakan dengan Ejaan Yang Disempurnakan  (EYD) sebagai upaya para pemimpin untuk menciptakan kemakmuran yang adil dan beradab, serta kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Hanif Sofyan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu