x

Iklan

sucahyo adi swasono

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Jumat, 3 November 2023 09:37 WIB

Kontroversi Konstitusi Tentang Syarat Usia Minimal Capres-Cawapres dalam Pemilu

Ketika hukum yang seharusnya bermuara pada keadilan, politik yang seharusnya mengedepankan soal kebijaksanaan, dan Pemilu yang seharusnya lebih mengedepankan tentang hak memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum, maka objektivitas yang logis-rasional dan ilmiah wajib diutamakan dalam praktik pelaksanaannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Naiknya Gibran Rakabuming Raka yang dipasangkan dengan Prabowo Subianto sebagai pasangan Capres dan Cawapres mengundang polemik di ranah hukum, politik dan proses Pemilu 2024.

Ketika hukum yang seharusnya bermuara pada keadilan, politik yang seharusnya mengedepankan soal kebijaksanaan, dan Pemilu yang seharusnya lebih mengedepankan tentang hak memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum, maka objektivitas yang logis-rasional dan ilmiah wajib diutamakan dalam praktik pelaksanaannya.

Khusus terhadap syarat usia bagi Capres dan Cawapres sebagaimana dalam Pasal 169 Ayat 1 Huruf q Undang-Undang  RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yakni 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' sebagai salah satu syarat bagi Capres-Cawapres yang berkontestasi dalam Pemilu (2024), sudah seharusnya patut dan layak dipersoalkan keabsahannya sebagai klausul dalam suatu undang-undang terhadap syarat bagi Capres-Cawapres. Mengapa?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terlepas dari putusan MK pada 16 Oktober 2023 yang mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tersebut, penulis hanya mencoba mencermati substansi dari klausul dimaksud dari sudut pandang 'Hirarki Konstitusi' atau tata urutan peraturan perundang-undangan.

Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, adalah sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Dasar 1945
    2. Ketetapan MPR (Tap MPR)
    3. Undang-Undang
    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
    5. Peraturan Pemerintah
    6. Keputusan Presiden
    7. Peraturan daerah.

Strata yang paling tinggi kedudukannya adalah UUD 1945, sehingga peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945, substansi isinya harus sejalan dengan Amanah UUD 1945, tidak boleh bertentangan. Sedangkan 'sumber dari segala sumber hukum' di NKRI adalah Pancasila sebagai the way of life bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Amanah Pancasila dan UUD 1945 dalam Kehidupan Berbangsa-Bernegara

Sila ke-5 dari Pancasila adalah 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'. Dalam tataran implementatif di kehidupan berbangsa dan bernegara, Sila ke-5 ini harus clear, tidak boleh tidak.

Kemudian, pada Pasal 6 UUD Negara RI 1945 Ayat 1 adalah sebagai berikut:

(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Pun demikian terhadap Pasal 6 Ayat 1 dan Ayat 2 UUD Negara RI 1945 tersebut, dalam tataran implementatif harus clear dan tidak boleh tidak. Sehingga, jangan sampai terulang kembali dalam sejarah presiden RI yang terpilih terjadi pada seorang presiden hasil Pemilu 1999 dan terbukti sebagai penyandang disabilitas secara jasmani. Namun, tetap lolos dan disahkan menjadi Presiden RI yang ke-4. Sebuah pencederaan terhadap Amanah UUD 1945, khususnya pada Pasal 6 Ayat 1 ini, dimana penegak hukum, pendekar hukum, ahli dan pakar hukum  saat itu tidak bergeming sama sekali atau tak kuasa berbuat apa-apa akibat tekanan politik yang lebih besar energinya daripada energi penegakan konstitusi yang konon harus bermuara pada keadilan, objektif, seimbang, dan yang sebangsa atau yang setara dengan istilah di ranah filosofi hukum itu sendiri.

Sebuah analogi berupa adagium simpel nan sederhana yang bisa dipetik dari ranah hukum pula, menyatakan demikan, 'genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.' 

Diikuti pula dengan kondisional bersyarat bagi seseorang (warga) akan Hak memilih dalam Pemilu atas dasar kesetaraan derajat dan egaliter, adalah demikian, 'tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap', dan seterusnya sebagai hal lain yang menopang dan memperkuat terhadap suatu Hak bagi Warga Negara.

Pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah, "Apakah wajib setimbang antara Hak memilih dan Hak dipilih bagi siapapun Warga Negara Indonesia apabila hukum di negeri ini benar-benar bercita-cita murni pada sebuah Keadilan tanpa pandang bulu?"

Selanjutnya, 'Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya'. (Pasal 27 Ayat 1 UUD Negara RI 1945)

Nah, esensi dan substansi dari apa yang penulis kutip dari peraturan perundang-perundangan sebagai klausul yang mengatur soal Hak memilih dan Hak dipilih, sudah gamblang mengidealkan asas keseimbangan, alias menjauhi sebuah ketimpangan. Terlebih dari Amanah UUD Negara RI 1945 yang dijiwai oleh Pancasila sebagai pandangan dan sikap hidup Bangsa Indonesia yang wajib ditegakkan di Bumi Indonesia Nusantara. 

Oleh siapakah? Auto oleh siapapun yang merasa sebagai Warga Negara Indonesia Nusantara, dimanapun, kapanpun, dalam situasi dan kondisi apapun dan yang bagaimanapun tanpa ada pengecualian.

Dengan demikian, maka secara ekstrem dalam pengertian tegas, tak peduli apakah seseorang itu masih muda taruna, sudah tua, bujangan, duda atapun janda, dalam hal Hak memilih dan Hak dipilih, wajib memenuhi asas keseimbangan dalam mendapatkan haknya sebagai Warga Negara NKRI. Lebih-lebih telah memenuhi persyaratan sebagai Warga Negara yang sudah dinyatakan dewasa secara legal formal (17 tahun), punya kemampuan sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. 

Dengan kata lain yang dalam bahasa hukum, adalah sudah memiliki kecakapan hukum (tata negara) yang tidak harus sebagai sarjana hukum ataupun ahli hukum. Yang terpenting adalah memiliki sense of belonging dan kepatuhan terhadap konstitusi posisitif di negeri ini, utamanya dengan berlandaskan pada Pancasila dan UUD Negara RI 1945.

Simpel dan lugasnya, polemik yang cenderung akan menjadi berkepanjangan terhadap 'Sarat Minimal Usia' bagi Capres-Cawapres dalam Pemilu (2024), wajib dihapus dan tidak diperlukan lagi di dalam klausul (pasal) dari UU RI Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), khususnya menyangkut syarat untuk menjadi Capres-Cawapres yang salah satunya menyebut 'Usia Minimal 40 tahun'. Sebab, hal itu nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945.

Nyatakanlah dengan berani dan tegas, bahwa 'Atas nama konstitusi dan demi tegaknya Pancasila beserta UUD RI 1945, maka Pasal 169 Ayat 1 huruf q Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2017, wajib dihapus atau dihilangkan karena nyata telah bertentangn dengan Pancasila beserta UUD Negara  RI 1945'.

Apabila itu telah dilaksanakan (penghapusan), maka auto peraturan perundang-perundangan yang secara hirarki kedudukannya berada di bawahnya (Pasal 13 Peraturan Komisi Pemilihan Umum/PKPU 2023) bakal mengikuti pula. Simpel, bukan?

Artinya, bila kita sebagai Warga Negara Republik Indonesia, benar-benar mau bersikap jujur tanpa tedeng aling-aling, untuk mengakhiri polemik dan kegaduhan demi tegaknya Pancasila beserta UUD RI 1945 secara murni dan konsekuen, mengapa mendiamkan potensi polemik dan kegaduhan tersebut yang justru akan menjadi panjang dan lebar? 

Inilah pelajaran paling berharga dan berarti bagi kita sebagai Warga Negara Indonesia, bahwa dalam memproduksi peraturan-perundangan guna mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, jangan asal! Lebih-lebih berindikasi bermuatan vested intersest bagi kepentingan pribadi maupun kelompok dan golongan. Pun demikian, jangan sekali-kali bertentangan dengan komitmen dasar dari 'nation building' atas negeri ini yang sudah seharusnya memancarkan keanekaragaman dengan Bhinneka Tunggal Ika- nya yang universal, yakni berpegang teguh terhadap Amanah Pancasila dan UUD Negara RI 1945, bila tak ingin menuai polemik dan kegaduhan berkepanjangan.

Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ....

*****

Kota Malang, November di hari kedua, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.

Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler