x

Ilustrasi Boneka Politik. Karya Alex Yomare dari Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 5 Desember 2023 08:26 WIB

Kemunduran Universitas ketika Akademisi Tunduk kepada Kekuasaan

Ketundukan akademisi kepada kekuasaan ini merupakan tantangan besar yang dihadapi masyarakat kita pada saat ini. Ketika masyarakat membutuhkan panduan para akademisi agar mampu menempuh jalan yang benar di tengah ketidakpastian, sebagian akademisi justru memilih untuk berpihak dan mendukung kekuasaan dengan mengorbankan integritas keilmuan dan kebebasan akademik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ciri terpenting yang membedakan unversitas atau perguruan tinggi dari institusi lainnya adalah dijadikannya ‘penalaran’ sebagai tumpuan dalam bersikap insan perguruan tinggi. Bukan sebarang penalaran, melainkan penalaran yang sehat, bukan pula penalaran yang sudah dicemari oleh kepentingan dan motif selain menemukan kebenaran dan keadilan.

Nalar yang sehat adalah pembeda yang khas dan unik, karena proses penalaran di lingkungan akademik dipandu oleh aturan yang kredibel, dikawal oleh etika yang bertanggungjawab, serta dimaksudkan untuk menemukan kebenaran dan keadilan yang bermaslahat bagi kemanusiaan. Kebenaran ini bukan ditujukan untuk membela orang per orang, apalagi untuk menopang kekuasaan yang cenderung korup.

Di lingkungan yang perkembangannya semakin menjauhi kebenaran, akademisi tergolong di antara sedikit kelompok masyarakat yang diharapkan mampu bertahan pada idealismenya. Ini sungguh tidak mudah, lantaran godaan kekuasaan demikian besar. Banyak guru besar universitas yang kemudian lebih berminat menduduki posisi pejabat kementerian atau sekedar penasihat ahli menteri ketimbang menjadi akademisi yang mandiri dan nalarnya tetap sehat terjaga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Politik kekuasaan kemudian menjadi daya tarik yang menggiurkan sebagian akademisi. Mereka tinggalkan kampus untuk lebih memusatkan perhatian pada upaya menopang kekuasaan dengan menyediakan argumen-argumen yang mendukung keputusan dan kebijakan kekuasaan. Kemampuan bernalar mereka yang luar biasa ternyata kemudian tunduk pada logika kekuasaan

Bukan lagi kebenaran dan keadilan yang jadi pegangan, melainkan apa yang dibutuhkan oleh kekuasaan. Bahkan, demi mendukung kekuasaan, para akademisi yang sudah keblinger rela menyusun dan melantangkan argumen-argumen yang niscaya akan mereka tentang manakala mereka sedang dalam keadaan ‘sadar diri’. Mereka menyerah bukan dalam konteks berjuang mempertahankan kebenaran, melainkan sebagai bentuk ketundukan kepada kekuasaan.

Para akademisi yang tunduk pada nalar kekuasaan dan politik ini telah mengingkari nilai-nilai kebebasan akademik yang mereka pegang selama ini. Mereka dengan begitu mudah menyerahkannya kepada orang-orang yang sedang berburu kekuasaan maupun yang tengah berusaha mempertahankan kekuasaan. Sebagian mereka bahkan menjadi pembela yang gigih dalam upaya mempertahankan ‘nalar kekuasaan’ agar tampak benar di mata masyarakat umum.

Rasionalitas kekuasaan jelas berbeda dari rasionalitas akademik-ilmiah. Rasionalitas akademik-ilmiah bekerja menurutu aturan-aturan tertentu yang disepakati bersama dengan dipandu oleh nilai-nilai etika-moral akademik. Siapapun akademisi yang berikhtiar secara jujur akan menemukan kebenaran yang sama. Seperti halnya eksperimen di laboratorium, bila dilakukan secara jujur dengan mengikuti prosedur eksperimen yang disepakati, siapapun yang melakukannya akan memperoleh hasil eksperimen yang sama. Jelas ini berbeda dengan rasionalitas kekuasaan dan politik yang akan selalu membenarkan apapun langkah-langkah yang diambil oleh pemegang dan pemburu kekuasaan.

Ketundukan akademisi kepada kekuasaan ini merupakan tantangan besar yang dihadapi masyarakat kita pada saat ini. Ketika masyarakat membutuhkan panduan para akademisi agar mampu menempuh jalan yang benar di tengah ketidakpastian, sebagian akademisi justru memilih untuk berpihak dan mendukung kekuasaan. Keunggulan akademis yang mereka punyai digunakan untuk menyusun argumentasi demi membenarkan rasionalitas kekuasaan yang sempit, bukan untuk kepentingan masyarakat banyak. Mereka juga memanipulasi universitas untuk memperkuat legitimasi dukungan kepada kekuasaan. Dengan semakin banyaknya akademisi yang mengabdi kepada kekuasaan, universitas secara bertahap mengalami kemunduran, dan ini ditandai oleh diserahkannya nilai paling berharga yang dimiliki universitas, yaitu integritas keilmuan dan kebebasan akademik.

Hanya para akademisi yang masih menjaga nalar dan nuraninya agar tetap sehat yang mampu mengimbangi para akademisi penopang kekuasaan ini. Dalam situasi seperti sekarang, masyarakat sangat menunggu suara akademisi penjaga nalar dan nurani sehat sebelum segalanya terlambat. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB