x

Iklan

EWIL M. WOLOIN

Writer
Bergabung Sejak: 15 Juni 2023

Jumat, 12 Januari 2024 13:14 WIB

Celah Argumen Para Capres di Debat Ketiga

Pertahanan, geopolitik, dan hubungan internasional merupakan isu yang penting dibahas karena berkaitan dengan cara Indonesia bertahan hidup di dunia. Visi dan misi ketiga capres dalam isu ini mengandung kelemahan elementer

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Debat Capres 2024 ronde pertama, siapa unggul?

Jakarta - Debat ketiga capres Pemilu 2024 dengan tema "Pertahanan, Geopolitik, dan Hubungan Internasional" telah diselenggarakan pada Minggu (7/1). Debat kali ini cukup mengejutkan karena bertentangan dengan prakiraan awal. Isi argumen yang disampaikan ketiga kandidat kadang tidak sejalan dengan visi-misi yang seharusnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari sudut pandang hubungan internasional, pemikiran mengenai perumusan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh jenis paradigma yang diterapkan. Nyatanya, banyak celah pada argumen ketiga kandidat yang memunculkan keraguan, pertanyaan, serta kontradiksi dengan hakikat tiap paradigma.

Tidak Tepat Sasaran

Capres nomor urut 1, Anies Baswedan memiliki penafsiran unik terhadap gagasan umum foreign policy begins at home. Salah satu contohnya adalah ketika Anies menekankan pentingnya rumah dinas. Dalam buku Foreign Policy Begins at Home: The Case for Putting America's House in Order, pencetus konsep ini, Richard Haass, cenderung fokus pada pentingnya isu-isu yang lebih makro, seperti reformasi sistem pendidikan, penyelesaian skandal domestik, penguatan ekonomi nasional, dan pengembangan infrastruktur. Dengan begitu, penyediaan rumah dinas mungkin terdengar sepele dan tidak tepat sasaran dengan isu pertahanan.

Walaupun begitu gagasan ini menjadi andalan Anies dalam isu penyejahteraan angkatan bersenjata. Dalam menyikapi orientasi kebijakan luar negeri Indonesia, idealisme Anies terlihat jelas ketika ia berkali-kali mengedepankan konsep soft power melalui diplomasi budaya dan pemberdayaan diaspora. Soft power memang dianggap lebih efektif daripada hard power (diplomasi menggunakan kekuatan militer, diplomasi koersif, dan sanksi ekonomi) pada konteks globalisasi pasca-Perang Dingin. Namun, tanpa kebijakan luar negeri yang konkret, aset soft power yang abstrak dapat memunculkan efek yang berlawanan dengan tujuan mula-mula.

Penekanan berlebihan terhadap unsur budaya tradisional dapat memunculkan sikap terlalu bangga (overproud) dan etnosentrisme kelompok etnis tertentu. Selain itu, karena soft power tidak memiliki wujud yang nyata, sebagaimana hard power dapat digambarkan dan secara kuantitatif melalui data jumlah alutsista, nilai dan prinsip yang ajeg sangat penting dalam merumuskan kebijakan luar negeri berasas soft power.

Eric Li dalam majalah Foreign Policy mengatakan bahwa soft power adalah perpanjangan tangan hard power. Ini berarti bahwa negara membutuhkan kebijakan luar negeri yang menggabungkan keduanya karena negara tidak bisa hanya bergantung pada soft power yang abstrak. Hal inilah yang luput dari pandangan Anies.

Hard power kurang mendapat perhatian Anies; salah satu contohnya ketika Anies mengungkapkan kegiatan membeli alutsista bekas sebagai kegiatan non produktif yang menghambur-hamburkan anggaran negara dan justru membuat utang negara menggunung. Padahal, pembelian alutsista bekas adalah langkah yang cukup realistis oleh Menhan Prabowo karena lebih siap pakai dan hemat anggaran. Apalagi, anggaran Indonesia pernah terpangkas hebat akibat pandemi Covid-19.

Debat ke-3 Capres

Bahkan, dalam memandang politik luar negeri secara keseluruhan, Anies seolah meremehkan pentingnya peran kebijakan luar negeri dalam menentukan arah haluan negara. Dengan mempertimbangkan posisi Indonesia di organisasi internasional, seperti ASEAN, OKI, dan IORA, anggapan bahwa apa yang dilakukan Indonesia tidak akan berandil di negara lain merupakan suatu kesalahan. Keburaman paradigma Anies yang lain adalah tidak adanya penjabaran kebijakan luar negeri yang jelas akibat pernyataan yang repetitif, yaitu "pentingnya upaya langsung dengan presiden sebagai panglima diplomasi".

Argumen yang bercelah juga ditemukan saat Anies menekankan perlunya peran ASEAN dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan tanpa menyinggung kemungkinan diplomasi Indonesia terbentur dengan prinsip ASEAN Way (non-interferensi). Luputnya banyak isu penting dari argumen Anies bisa saja disebabkan oleh kecenderungan Anies untuk hanya mementingkan isu domestik dan meneropong ke dalam (inward-looking). Anies sepertinya menginginkan proses yang serba instan jika dilihat cari caranya mengkritik pembelian alutsista bekas dan gagasan Prabowo mengenai investasi.

Anies menganggap investasi sebagai sesuatu yang tidak perlu karena manfaatnya tidak dapat dirasakan secara langsung. Dengan logika seperti ini, kerja sama dan organisasi internasional, yang mendatangkan manfaat jangka panjang, mungkin tidak akan dititikberatkan dalam kebijakan luar negeri Anies. Seperti wakilnya, Muhaimin Iskandar, yang menganggap alutsista tidak penting hanya karena Indonesia sedang dalam keadaan damai, Anies juga bisa jadi memiliki idealisme yang berlebihan. Idealisme ini mendorong Anies untuk "mengadu domba" capres lainnya, misalnya dengan cara meminta Ganjar memberi penilaian angka terhadap kinerja Prabowo sebagai Menhan.

Tidak Konsisten

Secara paradigmatik, capres nomor urut 02  Prabowo Subianto juga tidak konsisten. Pada awal debat, dengan latar belakangnya sebagai petinggi militer, banyak yang mengira bahwa Prabowo akan langsung mengedepankan paradigma realis ofensif dengan mengangkat konsep hard power serta peningkatan kualitas dan kuantitas alutsista. Nyatanya, argumen yang disampaikan Prabowo lebih fokus pada konsolidasi sumber daya alam, kerja sama dengan kekuatan-kekuatan dunia, dan pencegahan ekspansionisme ekonomi asing.

Prabowo menekankan pentingnya menjaga dan mengelola kekayaan alam, melakukan industrialisasi, dan merumuskan kebijakan luar negeri berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomi tersebut. Walaupun begitu, pada pertengahan hingga akhir debat, Prabowo kembali pada hakikat utama paradigma realisme yang dianutnya dengan mengedepankan pentingnya kebijakan luar negeri yang berlandaskan kepentingan nasional.

Tidak seperti Anies, Prabowo menyadari pentingnya peta kebijakan luar negeri Indonesia karena dapat mempengaruhi dinamika hubungan dengan negara lain. Realisme Prabowo juga terlihat ketika ia mengerahkan argumen defensif terhadap Anies mengenai pentingnya alutsista bekas. Hanya saja, Prabowo juga memiliki idealisme yang membuatnya seperti Mearsheimer dengan optimisme yang sulit dibendung.

Saat ditanya pendapatnya mengenai risiko utang luar negeri sebagai sarana intervensi kedaulatan dari negara lain, Prabowo menjawab bahwa hal itu tidak berlaku bagi Indonesia karena tidak pernah terjadi sebelumnya. Prabowo juga mengungkapkan bahwa Indonesia tidak perlu takut karena posisinya yang strategis di percaturan global. Tentu saja, amannya Indonesia dari risiko tidak menjadi jaminan bahwa hal serupa tidak akan terjadi pada masa mendatang karena sifat dinamis geopolitik.

Pernyataan Prabowo terhadap situasi di Jalur Gaza (bahwa Palestina ditindas karena lemah dan tidak memiliki alutsista) juga dinilai tidak bernurani. Apalagi Prabowo menjadikan Indonesia sebagai bahan pertimbangan, dengan "peringatan" bahwa tanpa sistem persenjataan yang kuat, Indonesia akan bernasib sama.

Komentar Prabowo terhadap etika juga sangat normatif. Walaupun memang terdapat konsensus tertentu jika menyangkut apa yang dianggap pantas bagi seorang calon pemimpin rakyat, pada akhirnya, batas-batas etika akan berbeda bagi setiap individu. Karena sifatnya yang subjektif itu, aksi saling serang Prabowo dan Anies mengenai etika merupakan hal yang tidak seharusnya diungkit dalam debat capres yang disiarkan untuk konsumsi publik.

Ranah Domestik

Sementara itu, capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, ajek pada pendirian ala realisme neoklasik yang menyatakan bahwa politik internasional dipengaruhi tekanan sistem internasional yang harus diintervensi melalui intervensi domestik. Paradigma ini terlihat dalam argumen Ganjar yang cenderung berfokus pada ranah domestik, seperti pembangunan infrastruktur, pemberantasan korupsi, dan pengembangan industri.

Banyak argumen Ganjar yang relevan dengan konsep ilmu hubungan internasional. Ganjar juga mengungkit istilah-istilah teknis seperti One China policy. Ganjar menekankan pentingnya sikap hati-hati (prudence). Setiap konflik perlu dievaluasi dengan hati-hati karena dapat mempengaruhi Indonesia dan menghasilkan efek domino. Namun, ketakutan itu hendaknya tidak berlebihan sampai-sampai Indonesia melakukan intervensi yang tidak perlu terhadap negara lain, seperti tindakan AS pada masa Perang Dingin.

Oleh sebab itu, beberapa argumen Ganjar cenderung pasifis, seperti gagasan kerja sama berdasarkan kesamaan sumber daya alam, transfer teknologi, patroli perbatasan, dan distribusi logistik. Celah-celah kecil dalam argumen Ganjar, seperti ide revitalisasi ASEAN yang nyatanya mungkin tidak semudah itu dan isu beasiswa LPDP yang belum disertai argumen mengenai cara mencegah atau mengantisipasi fenomena brain drain, masih dapat dikembangkan secara lebih lanjut.

Memang, ada pihak yang mengkritik Ganjar sebagai sosok yang terlalu pasif dalam debat ketiga jika dibandingkan dengan kedua capres lainnya. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa penyampaian argumen Ganjar tenang dan faktual. Dalam hal ini, agaknya peran para pakar dalam tim pemenangan Ganjar dalam mengumpulkan data cukup membantu performa Ganjar di debat ketiga.

Pertanda

Pertahanan, geopolitik, dan hubungan internasional merupakan isu yang penting dibahas karena berkaitan dengan cara Indonesia bertahan hidup di dunia. Paradigma-paradigma yang kontradiktif terhadap visi-misi awal para kandidat mungkin merupakan pertanda. Presiden yang berkuasa nantinya bisa saja menggunakan kepentingan pribadinya sebagai dasar penerapan kebijakan luar negeri. Dalam hal ini, diperlukan objektivitas para capres dan rakyat supaya cetak biru kebijakan luar negeri Indonesia dapat digunakan sebagaimana mestinya sebagai landasan Indonesia untuk melaksanakan diplomasi dan pembangunan internasional.

Apalagi, saat ini, media sosial yang menyoroti debat capres dapat memunculkan ketegangan di kalangan masyarakat. Misalnya, banyaknya video warganet menangisi Prabowo yang dinilai terzalimi setelah debat capres ketiga bisa saja menggiring opini publik dan mendorong banyak orang untuk memilihnya karena simpati belaka. Pemimpin rakyat hendaknya tidak hanya dipilih berdasarkan pertimbangan emosi, tetapi juga pertimbangan rasional-kognitif dan evaluasi menyeluruh.

Ikuti tulisan menarik EWIL M. WOLOIN lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu