Jadi Calon Pemimpin Jangan Self-Overrating, Kasihan Bangsa Ini
Sabtu, 10 Februari 2024 06:41 WIBCalon pemimpin mesti memiliki kesadaran diri yang tinggi sehingga mampu mengukur kelayakan dirinya untuk memimpin bangsa. Jika ia menilai diri sendiri secara berlebihan, ia bukan saja jadi narsistik, tapi tindakannya berpotensi menjerumuskan bangsa ke dalam kesulitan.
Kesadaran tentang diri sendiri (self-awareness) merupakan salah satu unsur vital dalam kepemimpinan. Dalam kesadaran inilah, seorang pemimpin mengenali siapa dirinya, apa kekuatannya, apa kelemahannya, seberapa besar kapasitasnya, serta seberapa tinggi kompetensinya. Berbekal kesadaran ini, seorang pemimpin tahu bagaimana harus menempatkan diri di tengah masyarakatnya. Dia juga mampu mengukur apakah dirinya sudah layak dan pantas untuk memimpin sebuah bangsa atau mesti menempa diri terlebih dulu selama sekian masa hingga siap memegang tongkat estafet kepemimpinan.
Sayangnya, tidak setiap (calon) pemimpin memiliki kesadaran diri yang tinggi, sehingga ia tidak mampu mengukur kelayakan dirinya untuk memimpin sebuah bangsa jika ditimbang dari berbagai segi, mulai dari kompetensi, kapasitas, pengalaman memimpin, hingga kematangan emosional. Ketidakmampuan menimbang bobot diri sendiri dalam berbagai segi ini merupakan manifestasi kurangnya self-awareness. Kekurangsadaran dalam menakar kualitas diri sendiri berpotensi menyebabkan self-overrating—menilai diri sendiri secara berlebihan.
Jika ia tidak mampu mengukur diri, maka ia tidak akan tahu bagaimana dan di mana menempatkan diri di tengah masyarakatnya: apakah sudah layak memimpin sebuah bangsa dengan lebih dari 250 juta warga atau belum? Jika mengukur dirinya sendiri saja tidak mampu, bagaimana ia mampu mengukur tingkat kompleksitas persoalan bangsa yang bhinneka ini. Boleh jadi ia akan menganggap sepele setiap persoalan yang dialami rakyat atau merespon dengan ekspresi bahasa yang datar: “Sudah ya, kan sudah dijawab sama yang lain.”
Menjadi pemimpin bukanlah perkara ‘memanfaatkan’ peluang besar untuk menang dalam pemilu atau memanfaatkan aji mumpung senyampang kerabat masih berkuasa. Menjadi pemimpin tidak bisa sama sekali mengabaikan aspek yang sangat vital, yaitu kesadaran akan diri sendiri. Tatkala hanya hanya kesempatan yang dilihat dan dijadikan pertimbangan, maka pemilihan presiden hanya dijadikan ajang pertandingan untuk meraih kemenangan, sekedar mendapatkan legitimasi dari rakyat. Jika menang, maka kekuasaan segera berada dalam genggaman.
Dengan cara seperti itu, pemilihan umum lantas dilihat sekedar ajang pertandingan untuk meraih suara terbanyak berdasarkan kalkulasi dukungan dari berbagai pihak. Calon pemimpin seperti ini tidak akan peduli dengan hal-hal yang lebih substansial dan mendasar, seperti keberlangsungan demokrasi yang sehat, kebaikan bagi masa depan masyarakat, kedewasaan dalam bernegara, tegaknya kejujuran, etika, dan keadilan, serta hal lain yang mendukung perkembangan masyarakat ke arah yang lebih baik. Pemahaman seperti ini mencerminkan sempit horison pengetahuan dan betapa rendah kesadarannya tentang diri sendiri—tentang ‘siapa saya saat ini’. Ia juga tidak memiliki kesadaran akan waktu bahwa saatnya bukan sekarang, karena saya harus menempa pengalaman lebih banyak dahulu.
Kesadaran tentang diri sendiri, self-awareness, merupakan sejenis kecerdasan emosional yang berabad-abad lampau sudah disebut oleh para nabi dan wali sebagai sarana untuk mengangkat derajat diri. Banyak pemimpin zaman dulu yang melewati masa penempaan diri dengan ngenger atau menjadi asisten maupun ngangsu kaweruh (menimba pengetahuan dan pengalaman) dari orang-orang hebat yang lebih dulu menjadi pemimpin masyarakat. Bung Karno, umpamanya, banyak menimba ilmu dan pengalaman dari HOS Tjokroaminoto sebelum terjun ke dalam dunia pergerakan kemerdekaan. Ia tahu benar harus membekali diri agar tidak malah menyusahkan rakyat yang hendak ia pimpin.
Ahli-ahli kepemimpinan serta para psikolog di zaman modern menyebut self-awareness sebagai kecerdasan emosional yang wajib dimiliki oleh orang-orang yang ingin berada di depan barisan dan yang merasa layak menjadi pemimpin. Sekali lagi, menjadi pemimpin masyarakat bukanlah perkara mumpung ada kesempatan maka digunakan saja. Jika ini yang jadi pertimbangan pokok, maka bukan saja calon pemimpin ini telah menilai kualitas dirinya sendiri secara berlebihan (self-overrating) sehingga cenderung narsistik, bahkan mendustai dirinya sendiri, tapi tindakannya ini juga sangat berpotensi menjerumuskan bangsa ke dalam kesulitan.
Mengenali lebih mendalam diri sendiri membuat siapapun dapat lebih memahami kapan saat yang tepat untuk mengambil keputusan penting seperti menentukan waktu yang tepat untuk mencalonkan diri jadi pemimpin. Ia akan terjun memimpin bangsa bukan atas dasar aji mumpung karena kekerabatan, melainkan karena ia memahami benar bahwa kapasitasnya telah mencukupi. Ia tidak akan teperdaya oleh hasratnya akan kekuasaan, sehingga ketika melihat kesempatan ia menyambarnya tanpa berpikir panjang tentang kelayakannya untuk mengemban jabatan kepemimpinan yang sangat tinggi. Ia tidak akan mengorbankan rakyat dan bangsanya demi ambisi yang berlebihan. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler