x

Lukisan \x22banjir di Jawa\x22 (1865-1875) karya Raden Saleh Syarif Bustamam

Iklan

Slamet Samsoerizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Maret 2022

Minggu, 10 Maret 2024 11:38 WIB

Perasaan dalam Bingkai: Saat Lukisan Mengekspresikan Emosi Kita

Bagaimana seni visual - dan tubuh kita sendiri - membantu mengomunikasikan apa yang perlu didengar? Setiap kita memiliki pengalaman unik pada masa kanak-kanak yang membentuk diri sebagai orang dewasa. Kebanyakan orang dewasa tidak masalah berbagi emosi, tapi lalu cenderung bergumul dengan perasaan yang sulit seperti kesepian, kesedihan, ketakutan atau kemarahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin jika kita memberikan lebih banyak pertimbangan tentang apa yang diperoleh dengan berbagi perasaan dengan lebih mudah. Apa yang hilang dengan menahannya, kita mungkin akan membuka ruang bagi orang lain dalam hidup kita untuk mengikutinya. Dapat diduga bahwa semakin banyak kita belajar untuk berkomunikasi secara jujur satu sama lain, semakin besar peluang untuk menjalin hubungan yang lebih dalam dan kolaborasi yang lebih bermanfaat. Dalam

Dalam lukisan “Banjir di Jawa” Raden Saleh Syarif Bustamam (1811- 1880) menggambarkan korban banjir sedemikian mengiris hati. Perasaan ini dibikin merinding. Haru dan duka lara terungkap dalam lukisan tersebut.  Pelukis kondang Indonesia pada masa penjajahan Belanda ini menggambarkan secara rinci “potret” korban banjir: langit mendung dan mayat  bergelimpangan. Banyak pula yang terombang-ambing dalam banjir bandang melanda Jawa saat itu.

Dalam lukisan Vincent van Gogh tahun 1890 "At Eternity's Gate", seorang pria tua yang mengenakan pakaian biru duduk membungkuk di atas kursi kayu di dekat perapian yang menyala-nyala. Sikunya bertumpu pada pangkuannya sementara kedua tangannya yang mengepal menutupi wajahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia duduk sendirian, sosoknya besar, seolah-olah apa pun yang dia rasakan memenuhi bagian tengah kanvas. Wajar jika kita mengasumsikan kesedihan dalam lukisan ini (nama lain dari karya ini adalah "Sorrowing Old Man"), karena kita tidak diajari untuk mempertimbangkan berbagai macam nuansa perasaan yang kita miliki sehubungan dengan emosi inti dan mengidentifikasi emosi yang mungkin kita alami.

Sebagian besar dari kita hidup dalam lingkungan budaya yang membuat kita jarang didorong untuk berbagi perasaan kita yang sebenarnya secara terbuka - apalagi cara mengomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain. Cara kita menavigasi emosi kita sering kali dipengaruhi oleh cara kita dibesarkan, baik dengan cara yang negatif maupun positif, dan apa yang kita pelajari saat kecil akan terbawa sampai dewasa, kecuali jika kita secara sadar berusaha mengubah pola perilaku kita.

Dalam lukisan "Locked" (2023) karya Valeria Duca, seniman Moldova berusia 29 tahun ini menggambarkan seorang wanita telanjang yang berbaring dengan tubuh bagian atas membungkuk di atas kakinya. Ia menggenggam dua jarinya di belakang punggung dan membenamkan sisi wajahnya ke lantai. Ini adalah posisi yang sangat rentan. Ia terlihat berusaha menahan diri dengan cara yang menunjukkan adanya emosi yang mendalam.

Melihat lukisan itu membuat kita berpikir tentang bagaimana tubuh kita adalah tempat penyimpanan perasaan kita. Kita merasakan emosi negatif kita secara fisik, bahkan jika kita tidak terbiasa menunjukkan dengan tepat di mana tepatnya di dalam tubuh kita emosi tersebut terkunci atau bersarang, atau perasaan apa yang ditimbulkannya. Salah satu kerugian besar dari menahannya adalah pada akhirnya emosi negatif tersebut dapat bermanifestasi sebagai ketidaknyamanan atau rasa sakit secara fisik.

"Women Outside the Church at Ruokolahti", sebuah lukisan tahun 1887 karya seniman Finlandia Albert Edelfelt, membuat kita berpikir tentang aspek lain tentang bagaimana kita berurusan dengan perasaan kita dan perasaan orang lain. Di sini, empat wanita duduk membentuk setengah lingkaran di atas rumput.

Tiga di antaranya berusia lebih tua dan terlihat lebih dekat secara fisik. Mereka duduk lebih tinggi di atas gundukan rumput daripada wanita keempat. Wanita yang keempat lebih muda dan duduk agak ke samping, memegang bungkusan di pangkuannya.

Tatapannya agak suram dan diarahkan menjauh dari wanita yang lebih tua. Melihat lukisan ini, kita seperti diajak berpikir kembali tentang anak laki-laki kecil di kedai kopi. Suasana tersebut bertanya-tanya tentang orang-orang dalam hidup kita yang mungkin atau mungkin tidak kita beri ruang untuk mengekspresikan perasaan mereka.

Bagian dari komunikasi yang baik menurut  Enuma Okoro pengamat seni  ft.com,lebih dari sekadar mengidentifikasi dan berbagi apa yang kita alami, tetapi juga melibatkan pembelajaran untuk memberi ruang bagi perasaan orang lain.

Hal ini tidak secara otomatis berarti kita harus merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain atau atas kebutuhan yang muncul. Namun, kemampuan untuk mendengar apa yang orang lain alami dan berempati jika memungkinkan sangat penting untuk memahami satu sama lain. Ketika ita diberi ruang yang aman untuk mengekspresikan perasaan, hal ini pada gilirannya membuat kita merasa lebih dihargai dalam komunitas dan hubungan kita, dan lebih mungkin untuk berkolaborasi menuju praktik-praktik dan resolusi damai. ***

 

Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu