x

Spot foto

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Minggu, 17 Maret 2024 18:05 WIB

Kajian Ramadan #8: Ngabuburit Jangan Sekedar Menunggu Maghrib

Ngabuburit itu mubah karena tidak ada dalil yang mengharamkan atau melarangnya. Akan tetapi, suatu perbuatan mubah dapat saja berubah menjadi haram oleh sebab satu dan lain faktor. Ngabuburit dapat menjadi haram atau makruh jika dilakukan dengan melanggar batasan-batasan syar’i.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hingga batas tertentu, agama atau praktik keberagamaan dan budaya, khususnya dalam mayarakat Muslim Indonesia sudah sejak dulu tidak dapat dipisahkan. Setidaknya pada dimensi praksis, keduanya kerap saling mengisi dan “melengkapi”.

Di satu sisi esensi kaidah-kaidah agama banyak yang memberi isi atau ruh pada berbagai bentuk perilaku, tradisi atau kebiasaan-kebiasaan keseharian masyarakat yang bersifat lokal, otentik dan partikular. Di sisi lain, praktik keberagamaan juga banyak yang diwarnai oleh nilai-nilai sosio-kultural yang lahir dan berkembang dalam masyarakat setempat.

Dalam kerangka pikir itulah saya melihat fenomena menarik seputar Ngabuburit yang secara siklis berulang setiap tahun kehadirannya. Dan seakan telah menjadi salah satu ciri khas bulan Ramadan, khususnya terkait dengan amalan ibadah puasanya. Kurang lebih sama dengan kegiatan Bukber, buka puasa bersama. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Konsep dan Fiqih Ngabuburit

Istilah Ngabuburit berasal dari kata dasar Burit (Bahasa Sunda), artinya Sore atau Petang. Ditambahi dengan awalan “Nga” menjadi “Ngabuburit” (kata kerja). Artinya adalah aktifitas yang dilakukan pada sore atau petang hari menjelang malam. Dalam konteks Ramadan, Ngabuburit adalah aktifitas yang dilakukan dalam rangka menunggu waktu Maghrib, waktunya berbuka puasa

Ngabuburit sebagaimana dimaksud dalam pengertian diatas itu lazimnya dilakukan oleh para remaja dan anak-anak yang telah ikut menjalani ibadah puasa (shaum) sebagai cara untuk meringankan beban penantian waktu berbuka dengan berbagai kegiatan.

Misalnya jalan-jalan, main bareng-bareng teman, membaca Al Quran atau kajian Ramadan di Mesjid, atau sekedar kongkow-kongkow, yang semuanya terasa seakan bisa “mempercepat” datangnya waktu berbuka. Setidaknya, itulah yang saya pernah lakukan dan alami semasa kanak-kanak dulu.

Lantas bagaimana hukum Ngabuburit menurut syariat Islam? Atau lebih tepatnya, adakah fiqih puasa mengatur mengenai fenomena Ngabuburit ini? Dari berbagai literatur rujukan yang saya telusuri, fiqih puasa tidak mengatur soal Ngabuburit. Pun tidak ada satupun dalil baik didalam Al Quran, Hadits maupun kesepakatan Ulama yang mengatur tentang Ngabuburit.

Dalam perspektif ilmu Fiqih, ketiadaan dalil tentang sesuatu perbuatan berlaku kaidah Al aslu fi asya’ al ibahah malam yaarid dalilu tahrimi. Artinya asal dari sesuatu atau benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Atau, bisa juga merujuk pada kaidah Al-aslu fil af’al ath thoyidu bi ahkami syar’iy, asal perbuatan terikat hukum syara’.

Ada lima kategori hukum syara (ahkamul khomsah), yakni Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. Premisnya kurang lebih sama dengan kaidah yang pertama. Bahwa hukum asal setiap perbuatan adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Mubah artinya boleh dikerjakan, boleh juga ditinggalkan.

Dengan demikian hukum Ngabuburit adalah Mubah (boleh dilakukan) karena tidak ada dalil yang mengharamkan atau melarangnya. Setara dengan perbuatan minum, makan, olahraga, berkendara dan sejenisnya.

Akan tetapi, suatu perbuatan mubah dapat saja berubah menjadi haram dan karenanya tidak boleh dilakukan oleh sebab satu dan lain faktor atau alasan. Dalam konteks Ngabuburit yang semula boleh (mubah) dilakukan dapat menjadi haram atau setidaknya makruh (dibenci Allah) jika dilakukan dengan melanggar batasan-batasan syar’i.

Contoh paling gampang misalnya Ngabuburit yang dilakukan sambil pacaran, atau Ngabuburit dengan cara menonton film-film vulgar. Atau Ngabuburit yang dilakukan dengan menghabiskan waktu dan energi secara sia-sia, mengghibah, ngetrack berbahaya, dan sejenisnya. Dalam kasus ini Ngabuburit menjadi haram atau setidak-tidaknya makruh dalam pandangan Allah SWT.

 

Ngabuburit Kreatif dan Produktif

Tentu saja banyak aktifitas yang bisa dilakukan dalam Ngabuburit tanpa harus melanggar ketentuan-ketentuan syar’i, Ngabuburit tanpa mengurangi nilai ibadah puasa. Bahkan sebaliknya, bisa membuahkan manfaat, baik secara pribadi maupun sosial, dan potensial bisa menambah pundi-pundi pahala ibadah puasa. Berikut ini misalnya.

Pertama, tadarus Al Quran; membaca, memahami dan mentadaburi isi kandungan Al Quran, sendiri atau bersama-sama keluarga atau teman. Seperti pesan Rosulullah SAW melalui Sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, bahwa “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Imam Bukhari).  

Kedua, membaca dan mempelajari ilmu pengetahuan dan wawasan keislaman atau mengikuti kajian-kajian Islam yang biasanya banyak diselenggarakan oleh komunitas-komunitas kajian remaja masjid atau mungkin pesantren kilat. Ini sesuai dengan makna Ramadan sebagai Syahrul Tarbiyah, bulan pendidikan.

Ketiga, membantu orang tua atau keluarga di rumah dengan cara mengerjakan aktifitas-aktifitas positif dan produktif, ikut menyiapkan segala kebutuhan untuk berbuka puasa, membantu bersih-bersih, atau mungkin membantu orang tua jualan takjil bagi yang keluarganya memiliki usaha kuliner.

Keempat, berolah raga ringan sambil mentadaburi (merenungi dan merefleksikan) alam  ciptaan Allah SWT. Bisa di seputaran pantai bagi yang rumahnya tidak jauh dari laut, atau menyusuri tepian hutan dan persawahan. Atau tempat-tempat wisata di kawasan kota.

Kelima berburu takjil (penganan berbuka puasa) di pasar-pasar kaget Ramadanan, atau membuka sendiri usaha kuliner khusus takjil dan menjajakannya setiap sore di pasar Ramadan.

Tentu saja masih banyak pilihan-pilihan kreatif dan produktif untuk mengisi kegiatan Ngabuburit yang bisa dilakukan. Sehat dan tanpa perlu khawatir mengurangi pahala ibadah puasa sepanjang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah syar’i. Dengan cara demikian Ngabuburit tidak sekadar menunggu datangnya waktu Magrib.

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

10 jam lalu

Terpopuler