Kisah Ramayana Sebagai Sesuluh Mencari Calon Pemimpin
Senin, 2 September 2024 19:22 WIBDrama pilkada 2024 seolah mengingatkan kisah Ramayana saat kerajaan mencari calon pengganti. Ada yang menolak, ada yang mundur, seolah bertanya tentang kemampuan dirinya. Adakah semesta turun tangan dengan perubahan mendadak itu?
Oleh Mpu Jaya Prema
Hiruk pikuk pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 sudah menurun. Jeda karena pencalonan gubernur, walikota dan bupati beserta wakilnya sudah selesai dengan didaftarkannya calon-calon itu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kehebohan bakal menyusul nanti pada saat masa kampanye.
Pilkada kali ini hampir saja tanpa greget. Yakni ketika persyaratan calon gubernur, bupati dan walikota itu memakai ambang batas suara 20 persen dari hasil pemilu legislatif. Persyaratan ini membuat tidak semua partai bisa mencalonkan kadernya jika tidak berkoalisi. Apalagi partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) merangkul partai yang tadinya berseberangan. Koalisi besar yang disebut KIM Plus ini membuat tak ada lagi partai lain yang memenuhi syarat mengajukan calon. Politik “kotak kosong” pun dirancang di mana di suatu daerah calonnya hanya tunggal. Tak ada lawan.
Dan datanglah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi dua mahasiswa Universitas Indonesia yang menggugat ambang batas itu. Persyaratan calon turun menjadi rata-rata 7,5 persen sesuai jumlah pemilih. Politik “kotak kosong” gugur dengan sendirinya.
Memang ada upaya untuk menganulir keputusan MK itu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan dalih merevisi Undang-Undang tentang Pilkada. Begitu cepat, hanya sehari setelah keputusan MK keluar. Tapi upaya ini kandas karena dalam hitungan hari pula aksi demo marak di berbagai kota. Aksi mengawal keputusan MK ini berhasil menang dan DPR membatalkan revisi UU Pilkada. Kemenangan buat rakyat melawan wakil-wakilnya.
Partai semakin leluasa mengajukan calonnya. Apakah semesta turut campur tangan melawan kekuasaan? Ah, itu terlalu romantis menurut saya, meski banyak yang mengatakan begitu. Ungkapan khas “manusia merencanakan dan Tuhan menentukan” pun disebut-sebut dalam kasus ini. Memang secara keyakinan tak ada apa pun kejadian di bumi ini tanpa kehendakNya.
Menjadi menarik kalau perubahan yang terasa mendadak ini seakan-akan adanya campur tangan semesta, terutama bagi yang percaya adanya takdir. Termasuk adanya perubahan sikap dari para tokoh yang terlibat dalam “drama pilkada” ini. Misalnya, calon gubernur yang diusung PDI Perjuangan di Jakarta. Tiba-tiba dapatnya Pramono Anung, siapa yang memberi jalan?
Pramono Anung, kini Sekretaris Kabinet, kaget ketika dicalonkan untuk Jakarta. Ini diakuinya sendiri. Berkali-kali Pramono menolak untuk dijadikan calon gubernur (cagub) di Jakarta. Kita tak tahu alasan pastinya, entah dia merasa tak mampu, merasa bukan dikehendaki rakyat, atau apa. Tapi Pramono tahu, sebelum dia ditawari jadi calon itu, ada pula tawaran untuk Basuki Hadimulyonoj yang kini masih Menteri PUPR. Basuki menolak, kita juga tak tahu apa alasan penolakan itu. Nah, pada saat Pramono dipanggil Ibu Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan, menjelang tenggat waktu pendaftaran ke KPU, dia pun menerima. Lalu Pramono menelepon Anies Baswedan, tokoh yang konon disukai rakyat Jakarta. Entah apa yang dibicarakan. Pramono juga meminta izin ke Presiden Joko Widodo, bahkan dua kali. Presiden mengizinkan sambil tertawa riang. Kita akhirnya tahu ada kepastian. Sebagian lega dan sebagian curiga, apa ada sesuatu di balik semua ini. Apakah Pramono juga titipan Presiden Joko Widodo?
Drama terpilihnya Pramono Anung sebagai calon mendadak ini segera mengingatkan kita tentang wiracarita Ramayana yang terkenal itu. Ada kesesuaian jalan ceritanya, meski pun sedikit. Maklumlah kisah Ramayana sering dijadikan sesuluh sebagai acuan bagaimana lahirnya seorang pemimpin dan bagaimana syarat pemimpin itu.
Raja Dasarata dari Kerajaaan Ayodhya berniat mencari pengganti karena beliau sudah mau lengser. Ada empat putranya dari tiga istri. Rama, putra tertua dari permaisuri Kosalya. Adiknya Bharata dari ibu bernama Kekayi, dan saudara kembar Laksmana dan Satrugra dari ibu bernama Sumitra. Secara aturan kerajaan, Rama yang berhak menggantikan Dasarata. Bukan saja faktor anak tertua tetapi menurut Resi Wasistha, penasehat kerajaan, Rama yang ilmunya paling memadai.
Namun musyawarah keluarga yang didominasi para istri-istri Dasarata itu memutuskan Bharata yang menjadi pengganti raja. Awalnya Bharata menolak, dia merasa melangkahi kakaknya Rama, juga merasa ilmunya tidak cukup. Dia tahu diri. Tapi ini sudah keputusan keluarga dan Kekayi ngotot agar anaknya itu mau menerima perintah. Akhirnya Bharata menemui Rama, memberi tahu keputusan kerajaan. Rama ternyata lergowo. Bharata terpaksa menerima menjadi calon raja. Namun dia meminta sandal Rama ditaruh di atas singgasana kerajaan sebagai pertanda kakaknya itulah yang lebih berhak memimpin kerajaan.
Wiracarita Ramayana ini mengajarkan etika sopan santun yang beradab. Juga soal perlunya mengukur kemampuan diri sendiri sebelum mendapatkan tugas, apakah kita layak dan akan mampu melaksanakan tugas itu. Jangan menerima tugas di luar kemampuan yang kita miliki. Itu berarti kemaruk jabatan. Ramayana, terlepas dari kontroversi bahwa kisah ini sejarah atau hanya fiksi, memang sering dijadikan sesuluh bagaimana kita harus bersikap. Juga dijadikan sesuluh atau cermin bagaimana mencari pemimpin sepanjang masa. Dalam kitab ini pula ada ajaran tentang syarat ideal seorang pemimpin yang disebut Asta Brata. Ajaran Asta Brata ini sangat terkenal di dalam budaya Jawa, sering dikutip oleh Presiden Soekarno dan Presiden Suharto di masa lalu. Asta Brata berawal dari petuah Rama ketika menobatkan Wibisana sebagai Raja Alengka menggantikan Rahwana.
Kembali ke masalah pilkada dengan drama pencalonan ini. Akibat Keputusan MK dan gagalnya penjegalan oleh DPR, jumlah calon di setiap daerah bertambah karena partai lebih leluasa mencalonkan tokoh. Seperti PDI Perjuangan yang akhirnya bisa mencalonkan Pramono Anung. Di Jawa Barat sampai muncul empat pasangan calon gubernur dan wakilnya. Juga di Jawa Timur, bahkan di Bogor sampai muncul lima calon walikota. Suatu hal yang tak terbayangkan di bulan lalu.
Yang menarik, ada calon yang mengundurkan diri secara tak terduga sebelum pendaftaran dimulai. Apakah mereka ini terkena “cermin” Ramayana yakni para calon mulai melihat ke dirinya sendiri. Siapa tahu mereka bertanya kepada hatinya, apa memang layak dicalonkan. Termasuk apakah layak dicalonkan di suatu tempat di mana dia merasa asing. Seperti sikap Pramono Anung yang jelas awalnya menolak. Ini mengesankan Pramono tidak jumawa. Juga sikap Anies Baswedan yang legowo gagal dicalonkan di Jakarta, lalu ada upaya mencalonkan dia di Jawa Barat. Namun Anies menolak dengan alasan dia tahu diri di Jawa Barat rakyat tidak menyuarakan dirinya. Jadi, sikap Anies patut ditiru. Jika ia menerima pencalonan di Jawa Barat berarti ia kemaruk jabatan.
Begitu pula di berbagai daerah ada calon yang mendadak mengundurkan diri, mungkin dia sadar setelah melihat dirinya di cermin. Di Tangerang Selatan, Ahmad Riza Patria, calon wali kota yang diusung Gerindra mundur jelang pendaftaran. Calon wakilnya, Marshel Widianto, yang memang banyak disorot kemampuannya, juga mengundurkan diri. Di Solo, KGPAA Mangkunegara X yang biasa disapa Gusti Bhre juga mundur sebagai calon walikota Solo. Ibunya tidak setuju, padahal dia didukung koalisi KIM Plus. Meski alasan mundur bisa beragam namun kesadaran untuk mengundurkan diri karena merasa kemampuannya tidak mendukung suatu hal yang baik untuk perjalanan kepemimpinan ke depan.
Dalam kitab Ramayana disebutkan menjadi pemimpin itu adalah memegang amanah. Tak bisa ujug-ujung tanpa wawasan dan pengetahuan yang memadai. Harus ditanya diri sendiri dulu, apakah punya bekal untuk itu. Orang tua juga tak boleh memaksakan anaknya menjadi pemimpin hanya karena saat itu orang tua punya kekuasaan. Apalagi dengan cara mengakali aturan yang sudah ada.
Apakah kalian saat ini sedang mencalonkan diri sebagai pemimpin? Atau sudah terpilih dengan cara yang tidak patut tanpa mengukur kemampuan diri? Lebih baik mundur untuk kepentingan masyarakat luas, juga untuk martabat kalian sendiri. ***
Penulis Indonesiana
3 Pengikut
Mengenal Kesakralan Garuda Sebagai Burung Perkasa
Kamis, 5 September 2024 09:42 WIBKisah Ramayana Sebagai Sesuluh Mencari Calon Pemimpin
Senin, 2 September 2024 19:22 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler