Antidumping sebagai Bentuk Tata Kelola Pasar Global

Minggu, 10 November 2024 20:22 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dumping-Antidumping dalam dinamika Perdagangan Internasional.

***

Perdagangan internasional merupakan aktivitas ekonomi yang berbentuk interaksi antar negara dalam sektor perdagangan yang merujuk pada pertukaran barang, jasa, dan modal dengan kemudian berdampak pada siklus atau dinamika ekonomi, sosial, dan politik. Aktivitas tersebut berjalan dengan sistem dan pengawasan dari sebuah lembaga/organisasi yang berbasis kesepakatan negara-negara terlibat demi menunjang kepentingan bersama dan perdamaian dunia. Dalam perdagangan internasional, globalisasi ekonomi berdampak pada hilangnya batas-batas negara dalam hal perdagangan konvensional yang digantikan oleh sistem hukum yang menjamin proses perdagangan dan berlandaskan pada pemerataan, keadilan, dan resiprositas.

International Trade Organization (ITO) atau Organisasi Perdagangan Internasional merupakan konferensi dalam sistem perdagangan global yang terbentuk pada 1943, diinisiasikan oleh Amerika Serikat dengan tujuan mencegah diskriminasi yang merujuk pada terjadinya perang dunia serta untuk mempromosikan hubungan internasional melalui liberalisasi dagang. ITO terbentuk setelah Perang Dunia II dengan cakupan beberapa aspek, termasuk perlindungan hak kekayaan intelektual dan penanganan perselisihan perdagangan antar negara untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam sistem perdagangan internasional sebelum Perang Dunia II. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, setelah berbagai upaya dan perundingan panjang, ITO tidak berhasil direalisasikan dan ratifikasinya berujung gagal pada tahun 1948. Faktor pemicu gagalnya ratifikasi ITO adalah politik domestik Amerika Serikat antara Pro-Proteksionis dan Pro-Perdagangan Bebas, sehingga Amerika Serikat berakhir memutuskan untuk menarik diri dari ITO yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Hal tersebut berbuah pada kesepakatan akhir bahwa ITO tidak dilanjutkan.

Lalu sebagai alternatif, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) atau Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan diperkenalkan sebagai upaya lanjutan untuk membentuk sebuah sistem yang mempermudah interaksi dagang internasional. GTT tidak berbentuk lembaga atau organisasi melainkan sebuah kesepakatan dengan tujuan utama mengurangi batasan-batasan dalam perdagangan internasional, GATT berjalan dalam banyak putaran yang berlangsung di berbagai negara anggota. 

Kemudian, pada tahun 1995 di putaran Uruguay GATT, The World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia dibentuk untuk mengambil peran GATT dalam mengatur dinamika perdagangan internasional. WTO memiliki kekuatan hukum yang sebelumnya tidak terdapat pada ITO dan GATT, yaitu Dispute Settlement Body (DSB) atau Badan Penyelesaian Sengketa. DSB memiliki dua fungsi utama yaitu untuk menyediakan aturan-aturan multilateral dalam perdagangan dan perlindungan hak kekayaan intelektual serta untuk menyediakan forum dalam pengadministrasian peraturan-peraturan tersebut.

Dumping-Antidumping

Dumping merupakan situasi diskriminasi harga internasional, dimana harga suatu produk yang dijual di negara pengimpor lebih rendah daripada harga barang di pasar negara pengekspor. Dalam bentuknya yang paling mendasar adalah perbandingan harga dua pasar, yang melindungi bisnis lokal dari kerugian akibat persaingan dari impor internasional yang lebih murah dan memastikan bahwa "harga ekspor" di negara pengimpor lebih dapat diterima. Kebijakan dumping dan antidumping diperkenalkan serta didiskusikan pada fase GATT tahun 1994.

Praktik dumping merupakan sebuah hambatan dalam perdagangan internasional karena dianggap sebagai praktik perdagangan yang tidak jujur ​​serta tidak adil. Selain itu, praktik dumping dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. Oleh karena itu, antidumping dirancang untuk mencegah impor dan penjualan barang luar negeri dengan harga jauh di bawah harga dalam negeri sehingga menjadikan antidumping sebagai salah satu isu penting dalam melakukan perdagangan internasional guna menciptakan perdagangan yang adil.

Hal tersebut telah diatur dalam Perjanjian Antidumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). WTO memiliki kewenangan untuk mengontrol bagaimana pemerintah nasional menangani operasi dumping dengan kebijakan atau undang-undang antidumping domestik yang berlaku pada sebuah negara. Undang-undang antidumping digunakan untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian karena dumping. 

Berdasarkan aturan GATT/WTO, tindakan antidumping diperbolehkan jika suatu negara dapat menunjukkan bahwa impor yang di-dumping telah menyebabkan kerugian bagi industri dalam negerinya. Aturan tersebut juga memberikan prosedur untuk menentukan, menilai, dan memutuskan apakah sebuah negara telah melakukan dumping atau tidak. Selain itu, WTO juga menyediakan forum untuk menyelesaikan sengketa antarnegara terkait tindakan antidumping. Jika suatu negara yakin bahwa tindakan antidumping negara lain tidak sesuai dengan aturan WTO, negara tersebut dapat mengajukan keberatan melalui proses DSB WTO.

Kebijakan Antidumping Indonesia

Indonesia memiliki ketergantungan besar pada perdagangan internasional sebagai roda pergerakan perekonomiannya. Sebagai anggota GATT dan WTO, Indonesia secara resmi telah mengadopsi Agreement Establishing the WTO melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Artinya, Indonesia juga telah meratifikasi Antidumping Code yang merupakan bagian dari Perjanjian Perdagangan Multilateral.

Di Indonesia, penerapan undang-undang antidumping diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Instrumen Pengamanan Perdagangan. Undang-undang tersebut mengatur pengenaan Bea Masuk Antidumping (BDAM) terhadap barang impor yang ditemukan dijual dengan harga di bawah nilai rata-rata dan menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri. Penyelidikan kasus antidumping di Indonesia dilakukan oleh Direktorat Pengamanan dan Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan. Direktorat tersebut bertugas mengumpulkan bukti, melakukan kajian, dan memberikan rekomendasi pengenaan BDAM. Berikut syarat-syarat pemberlakuan antidumping:

1. Dumping (harga ekspor barang lebih rendah dari nilai rata-rata).

2. Barang impor yang dikenakan dumping menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri.

3. Pengenaan bea antidumping untuk kepentingan umum.

Sengketa Dumping Indonesia-Korea Selatan 2003

Dalam upaya menjaga sistem perdagangan dengan tetap menaati kaidah sesuai dengan Dispute Settlement Body (DSB), para pelaku usaha di suatu negara harus siap untuk bersaing secara sehat dan bermitra dengan produsen di negara lain yang tentunya harus berlandaskan kesadaran penuh terhadap risiko konflik perdagangan di masing-masing negara setelah resmi menjadi anggota WTO.

PT. Indah Kiat Pulp Tbk, PT. Pindo Deli, PT. Tjiwi Kimia Tbk, dan April Fine Paper Trading Ltd. merupakan beberapa perusahaan kertas asal Indonesia yang diduga melakukan dumping terhadap Korea Selatan dengan dakwaan antidumping yang telah diajukan kepada Korean Trade Commission (KTC) oleh beberapa perusahaan Korea Selatan. Sehingga pada tanggal 9 Mei 2003, KTC menerapkan BMAD terhadap 16 jenis produk kertas yang diproduksi di keempat perusahaan kertas Indonesia tersebut.

Indonesia meminta bantuan DSB WTO dalam menyelesaikan kasus ini dengan tujuan agar prosedur antidumping Korea Selatan ditinjau ulang karena dinilai tidak sesuai dengan beberapa poin pasal terkait perjanjian tersebut. Indonesia juga meminta Panel agar menuntut Korea Selatan bertindak sesuai dengan GATT dan membatalkan kebijakan antidumping impor kertas yang diberlakukan oleh menteri keuangan dan ekonomi pada tanggal 7 November 2003.

Sekretaris Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional yang merupakan bagian dari Departemen Perdagangan dalam putusan Panel Badan Penyelesaian Sengketa pada bulan November 2005 menyatakan bahwa Korea Selatan wajib melakukan perhitungan ulang margin dumping untuk komoditas kertas asal Indonesia. Korea Selatan diberi waktu maksimal delapan bulan sejak dikeluarkannya putusan tersebut sehingga berakhir pada bulan Juli 2006.

Putusan Panel Tetap merupakan panel tertinggi di WTO, apabila putusan Panel Tetap tersebut tidak diikuti oleh Korea Selatan, maka Indonesia dapat melakukan tindakan balasan dengan cara membalas kerugian yang dialami oleh Indonesia. Sebagai imbalan nya, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korea Selatan dengan nilai kerugian yang sama selama pemberlakuan BMAD.

Indonesia berupaya melakukan pendekatan prosedural kepada Korea Selatan dengan mengirimkan surat permintaan konsultasi pada 26 Oktober 2006. Konsultasi telah dilakukan pada 15 November 2006, tetapi tidak membuahkan hasil. Korea Selatan masih belum melakukan perhitungan ulang, dan pertemuan Korea Selatan dianggap memperlambat waktu. Tindakan Korea Selatan tersebut sangat merugikan industri kertas di Indonesia. Ekspor kertas ke Korea Selatan mengalami kerugian defisit hingga 50 persen dari US$ 120 juta. 

DSB menetapkan bahwa perkara dumping kertas dimenangkan oleh Indonesia, dimana tindakan balasan diperbolehkan di WTO. Dalam kasus ini, aspek hukumnya adalah penolakan terhadap perjanjian WTO, pasal-pasal khusus perjanjian perdagangan dan ketentuan tarif sebagaimana tercantum dalam GATT. Ketentuan hukum tersebut dapat dilihat dari adanya tindakan balasan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, karena Korea Selatan dianggap telah melakukan kecurangan atau wanprestasi, dengan tidak melaksanakan hasil putusan Panel Tetap tersebut. 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Cut Edjelisa Filastana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler