Jurnalis Publik Dan Pojok Desa.

Pejoratif “Tolol” dan Etimologi Bahasa Arab

Jumat, 1 Agustus 2025 07:32 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Perempuan Sering Kali Menjadi Korban Ujaran Pejoratif
Iklan

Kata “tolol” dalam bahasa Indonesia lazim digunakan sebagai bentuk pejoratif yang merujuk pada ketololan, kebodohan, atau keterbatasan

ebook | TOLOL PANGKAL KEBIJAKSANAAN MEMUNGUT HIKMAH KEHIDUPAN ...

Pejoratif “Tolol” dan Etimologi Bahasa Arab: Jejak Semantik dari ‘Panjang’ (ṭūl) ke Kebodohan.

 

Membongkar Istilah Peyoratif Atas Masyarakat Adat/Penghayat | NI

Kata “tolol”* alam bahasa Indonesia lazim digunakan sebagai bentuk pejoratif yang merujuk pada ketololan, kebodohan, atau keterbatasan intelektual. Namun, jejak fonetik dan semantik kata ini mengundang perhatian dalam kajian etimologi dan lintas-bahasa, terutama bila ditinjau dari kemungkinan pengaruh bahasa Arab—yakni dari akar kata "ṭūl (طُوْل)" yang berarti “panjang”.

Esai ini menelusuri lompatan semantik dan fonologis dari bentuk netral “panjang” dalam bahasa Arab ke bentuk negatif “tolol” dalam bahasa Indonesia, melalui serangkaian transposisi makna yang berkaitan dengan sistem nilai, struktur retorika, dan persepsi budaya terhadap waktu, kelambatan, dan ketangkasan berpikir.

Tolol dalam Bahasa Indonesia: Definisi dan Nuansa Sosial.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “tolol” didefinisikan sebagai: “bodoh; tidak cerdas; kurang pintar”. Istilah ini tidak netral; ia memuat beban moral dan ejekan, dan sering digunakan dalam ujaran yang merendahkan orang lain. Tidak seperti “kurang paham” atau “tidak tahu”, kata "tolol” bersifat meremehkan.

Menariknya, dalam budaya tutur Indonesia, “tolol” kerap digunakan dalam konteks sindiran, celaan, atau bahkan ekspresi kemarahan sosial. Artinya, kata ini bukan sekadar menunjuk kecerdasan yang lemah, tetapi juga mengandung dimensi performatif: ia digunakan untuk "mengukuhkan jarak sosial" antara si pengucap dan si tertuju.

Ṭūl (طُوْل) dalam Bahasa Arab: Arti dan Konotasi.

Dalam bahasa Arab, kata "ṭūl (طُوْل)" memiliki arti dasar: “panjang”, baik secara spasial maupun temporal. Kata ini berasal dari akar "Ṭ-W-L (ط-و-ل)" yang memunculkan berbagai kata turunan:

"ṭawīl (طويل)": panjang (fisik)
"ṭūl al-zamān (طول الزمان)": waktu yang panjang
"ṭūl al-kalām (طول الكلام)": ucapan yang bertele-tele

Dalam tradisi sastra dan retorika Arab, “panjang” tidak selalu netral. Dalam konteks tertentu, panjang bisa bermakna negatif — seperti kelambatan, keterlambatan memahami, atau ketidaktepatan menyampaikan. Panjang bisa diartikan sebagai "kesia-siaan waktu" atau **kelambanan nalar**.

Pergeseran Semantik: Dari Panjang ke Bodoh?

Hipotesis yang diajukan di sini adalah bahwa kata “tolol” secara fonetik dan semantik memiliki kemungkinan terbentuk dari interaksi dengan kata "ṭūl" dalam pengaruh bahasa Arab terhadap bahasa Melayu-Indonesia. Beberapa kemungkinan transposisi makna:

Panjang waktu memahami → lambat berpikir → tidak cepat tanggap → bodoh
Ucapan panjang yang bertele-tele → tidak efektif → dianggap tidak cerdas
Panjang tindakan → tidak efisien → tolol dalam bertindak

Dalam konteks interaksi Islamisasi Nusantara sejak abad ke-13, banyak kosakata Arab yang mengalami adaptasi makna dalam Melayu (yang kemudian diwariskan ke bahasa Indonesia). Kata seperti “ilmu”, “hikmah”, “dzalim”, hingga bentuk seperti “tolol” bisa saja mengalami "proses hibridisasi semantik", di mana kata asing diinternalisasi dan mengalami pelesetan makna sesuai sistem nilai lokal.

Fonologi: Dari Ṭūl (طُوْل) ke Tolol.

Secara fonologis, pergeseran dari "ṭūl" ke "tolol" melibatkan proses pelipatgandaan suku kata dan penyesuaian bunyi dalam artikulasi Melayu:

  • "Ṭūl → "to-l" (suku dasar)
    Reduplikasi atau perulangan untuk memperkuat kesan: "to-lol"
    Kemungkinan "reduplikasi fonetis" ini bersifat "onomaik" — menciptakan efek bunyi yang mencerminkan "kebodohan atau keterlambatan", seperti kata "bodoh", "dungu", "bego", dan sebagainya yang sering memuat struktur bunyi berat dan lamban.

Bentuk ini juga dapat dijelaskan melalui "teori ideofon" (sound symbolism), di mana suara tertentu dikaitkan dengan makna tertentu. Suara seperti "-ol" (dalam tolol,goblok, bodoh) sering diasosiasikan dengan makna negatif dalam persepsi bunyi Nusantara.

Dimensi Budaya: Budaya Cepat dan Stigma Lambat.

Dalam masyarakat yang semakin menghargai ketangkasan, “panjang” atau “lambat” menjadi citra yang inferior. Dalam dunia kerja, pendidikan, hingga media sosial, keterlambatan berpikir, menjawab, atau bertindak dipandang sebagai kekurangan.

Maka, “panjang” sebagai sifat temporal yang netral dalam bahasa Arab berubah menjadi sesuatu yang negatif ketika diserap dalam budaya yang menjunjung efisiensi. Bahasa Indonesia memantulkan nilai ini, dan “tolol” menjadi simbol dari ketidaksiapan menghadapi tuntutan modern.

Kata sebagai Jejak Budaya dan Kekuasaan Tafsir.

Jejak kata “tolol” memperlihatkan bagaimana sebuah istilah dapat mengalami perubahan radikal dalam makna karena perpaduan antara pengaruh fonetik asing, penyesuaian budaya, dan perubahan nilai sosial. Dari “panjang” dalam bahasa Arab yang mungkin netral atau bahkan positif (dalam konteks doa atau umur panjang), menjadi “tolol” dalam bahasa Indonesia yang mengandung ejekan keras.

Bahasa, dengan demikian, adalah "medan tafsir". Ia bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga cermin dari struktur nilai, kekuasaan, dan persepsi masyarakat. Menelusuri akar kata “tolol” membawa kita pada pemahaman bahwa tidak ada kata yang sepenuhnya netral; setiap kata membawa sejarah dan sistem nilai di balik bunyinya.

Tolol sebagai Thulul: Jejak Pejoratif Bahasa Arab dalam Tafsir Sosial Indonesia.

Fenomena serapan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia telah melahirkan ribuan kosakata yang tidak hanya memperkaya perbendaharaan bahasa, tetapi juga mentransformasikan makna-makna baru dalam dimensi kultural dan aksiologis. Salah satu kasus yang menarik adalah kata “tolol”, yang dalam bahasa Indonesia mengandung konotasi pejoratif sebagai sinonim dari kebodohan atau keterbelakangan intelektual. Jika ditelusuri dari sisi fonetik dan semantik, “tolol” berkemungkinan memiliki akar atau asosiasi dengan kata Arab ṭūl (طُوْل) yang berarti “panjang”, dan lebih spesifik lagi, dengan istilah hadis "ṭūl al-amal (طُولُ الأَمَلِ)" yang berarti "berpanjang-panjang angan-angan". Dalam beberapa hadis Nabi Muhammad ﷺ, konsep ṭūl al-amal dikritik sebagai sifat yang menyesatkan manusia dari kesadaran akan kematian dan akhirat.

Dalam riwayat al-Bayhaqi, Nabi bersabda :

 
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي هَوَى ٱلْأَنْفُسِ وَطُولُ ٱلْأَمَلِ، فَأَمَّا هَوَى ٱلْأَنْفُسِ فَيَصُدُّ عَنِ ٱلْحَقِّ، وَأَمَّا طُولُ ٱلْأَمَلِ فَيُنْسِي ٱلْآخِرَةَ.
 
Transliterasi: Inna akhwafa ma akhafu 'ala ummati hawal anfus wa tulul amal, fa ammal hawal anfus fa yassuddu 'anil haqq, wa ammal tulul amal fa yunsil akhirah.

artinya : "Yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah panjang angan-angan dan mengikuti hawa nafsu; karena panjang angan-angan melalaikan akhirat." (HR. al-Bayhaqi).

Dalam sistem nilai Arab klasik maupun dalam etika Islam, "panjang angan-angan" bukan sekadar gambaran waktu, tetapi manifestasi dari penyakit spiritual: keterikatan pada dunia, ilusi kekekalan, dan kemalasan eksistensial. Dalam perspektif ini, kata "ṭūl" bukan lagi netral, melainkan negatif, yaitu tentang ketidaksiapan dan ketidakmampuan seseorang untuk menyelaraskan waktu dan tindakan. Ketika konsep ini diserap ke dalam ruang bahasa Indonesia yang telah lama hidup berdampingan dengan pengaruh Arab melalui Islamisasi, muncul kemungkinan bahwa bentuk "tolol" merupakan adaptasi fonologis dan semantis dari ṭūl atau ṭūl al-amal, yang dalam tradisi lokal kemudian mengalami pejorasi — dari makna spiritual-laten menjadi label sosial yang merendahkan kecerdasan seseorang. Dalam fonologi Melayu, proses reduplikasi menjadi to-lol dapat dipahami sebagai simbolisasi bunyi yang menekankan ketidakefisienan, kelambanan, atau keterlambatan dalam berpikir dan bertindak, sehingga istilah ini mengkristal menjadi ejekan terhadap “lambatnya nalar”.

Secara "ontologis", kata "tolol" menyimpan jejak kegagalan eksistensial dalam mengelola harapan. Ia bukan hanya menunjuk pada defisit rasional, tetapi pada keruntuhan kehendak terhadap waktu — yakni ketika manusia tersesat dalam angan-angan tanpa tindakan. Dari sudut "aksiologis", kritik terhadap *ṭūl al-amal* dalam hadis-hadis Nabi menyarankan bahwa makna “tolol” sesungguhnya bukan sekadar soal rendahnya IQ, tetapi keterlenaan terhadap dunia dan ilusi masa depan yang tak kunjung didekati dengan amal nyata. Dalam konteks ini, “tolol” adalah manusia yang tidak berdialog dengan waktu; yang menunda-nunda amal, tenggelam dalam ilusi masa depan, tetapi melupakan kematian sebagai batas pasti. Artikulasi pejoratif dalam bahasa Indonesia terhadap kata ini dengan demikian bukan murni sekular, melainkan merupakan hasil sedimentasi nilai-nilai spiritual dalam ruang ekspresi linguistik lokal.

Dengan demikian, kata "tolol" dalam bahasa Indonesia dapat dilihat sebagai produk dari "hermeneutika degradasi semantik", di mana kata pinjaman dari akar spiritual yang dalam, yakni "ṭūl al-amal", mengalami transformasi dan pelesetan makna menjadi bentuk ejekan sosial.

Esai ini menyarankan agar dalam menilai bahasa sehari-hari, terutama bentuk-bentuk pejoratif, kita tidak hanya menimbang aspek semantiknya, tetapi juga "menelaah arkeologi nilainya" — termasuk bagaimana kata-kata itu mengandung cermin dari kegelisahan teologis dan etika peradaban. “Tolol” mungkin tampak sepele, tetapi ia mengandung sejarah panjang tentang bagaimana manusia memaknai waktu, harapan, dan keterbatasan dirinya sendiri.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kontributor Pojok Desa

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

img-content

Parau

Senin, 1 September 2025 14:51 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler