Tuan rumah Brasil mengakhiri kiprahnya di Piala Dunia 2014 dengan cara yang menyedihkan, memalukan, mengenaskan. Ada kata lain untuk menggambarkanya?.
Mereka gagal total memenuhi ekpektasi sebagai tim unggulan plus tuan rumah yang diharapkan menjadi juara Piala Dunia tahun ini di tanah airnya sendiri. Brasil harus memikul rasa malu yang begitu dalam. Mereka bukan cuma gagal juara, tapi menjadi bulan-bulanan lawan di hadapan publiknya sendiri.
Tim Samba kandas semifinal setelah dibantai, diremukan, dipukul, digilas oleh Tim Panser Jerman dengan skor super telak 1-7. Itu adalah kekalahan terbesar dalam sejarah BRA71L di pentas Piala Dunia. Publik yang memenuhi Estadio Mineirao seolah kena ‘Brazilian Wax’ berjamaah, mereka harus menerima kepedihan saat Thomas Muller, Toni Kroos, Sami Khedira, Miroslav Klose dan Andre Schurle bergiliran membombardir gawang Julio Cesar.
Satu persatu bola yang dipunggut oleh Cesar dari gawangnya bak anak panah Arjuna yang menghujam telak, dan menimbulkan luka dalam di hati publik Brasil yang menjadikan sepakbola sebagai agama non formal. Mereka terhenyak. Seisi stadion tak percaya kalau tim kesayangan mereka bisa hancur lebur semacam itu. “Lelucon macam apa ini?!”, “Semoga ini hanya mimpi!”. Akan tetapi, itu adalah kenyataan, bukan lelucon bukan pula mimpi disiang bolong
Tragedi Mineirazo, begitu media menyebutnya untuk menggambarkan kekalahan memalukan di Belo Horizonte itu. Tragedi yang mengingatkan akan kejadian Maracanazo yang terjadi 64 tahun silam. Namun kali ini lebih parah. Di Maracana, mereka hampir saja menjadi juara saat ‘hanya’ kalah 1-2 dari Uruguay di final. Kekalahan tipis itu sudah begitu membekas, apalagi kekalahan telak yang begitu memalukan.
Pada laga itu, Brasil seolah sekumpulan anak SSB menghadapi pemain sepakbola sungguhan. Dengan kehadiran sang bintang Neymar dan sang kapten Thiago Silva sekalipun, saya yakin permainan tak banyak berubah dan hasilnya pun bisa saja sama. Permainan dari lini bertahan, gelandang sampai penyerang semuanya kedodoran. Brasil seolah tengah iajari oleh punggawa-punggawa Der panzer permainan sepakbola yang baik.
Setelah kalah dari Jerman, Selecao seharusnya masih bisa memulihkan harga diri mereka dengan cara merebut posisi ketiga. Namun, asa untuk sedikit mendapatkan apologi dari publik Brasil ternyata juga tak bisa mereka dapatkan. Menghadapi Belanda yang kata meneer Van Gaal sudah menganggap pertandingan itu tak penting lagi, Brasil kembali terpuruk, terjatuh dan tak bisa bangkit lagi….
Di Estadio Nacional Mane Garrincha, Brasilia, Minggu (13/7) dinihari WIB tadi, Brasil lagi-lagi keok. Skornya pun cukup telak. Tiga gol dari Robin van Persie, Daley Blind dan Giorginio Wijnaldum melesat ke gawang Julio Cesar tanpa bisa dibalas satukali pun. Tim samba harus kembali menanggung malu.
Publik Brasil yang masih mau memenuhi stadion pun harus kembali menelan pil pahit. Wajar jika setelah laga berakhir, puluhan ribu suporter Selecao yang memenuhi stadion mencemooh tim pujaan mereka sendiri. Mereka pantas kecewa berat, mereka juga layak mencaci, lantaran tim kebanggaan mereka mengakhiri turnamen dengan cara yang memalukan, menyedihkan, mengenaskan, apa lagi??
Setelah tragedi itu, saya rasa tim sepakbola dan publik negeri Samba akan sulit move on. Banyak pemain Brasil yang bakal turun harga setelah perhelatan piala dunia ini. Skuat yang bermain saat ini pun tentu akan memendam malu begitu lama. Kalau maracanazo yang sudah 64 tahun silam saja masih membekas, tragedy di Mineirao pasti akan dikenang begitu lama. Entah sampai kapan karena luka yang ditorehkan memang begitu dalam.
Lagu buat Brasil dari Cakra Khan
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tak tahu kemana lagi arah jalan pulang
Aku tanpamu, butiran debu
Ikuti tulisan menarik Guevara ES lainnya di sini.