x

Iklan

Eko Armunanto

There is nothing to writing. All you do is sit down at a typewriter and bleed ― [Ernest Hemingway]
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reputasi dalam Bisnis dan Politik: Persepsi Lebih Penting Ketimbang Fakta

Jika melihat sejarah semua perusahaan yang suksesnya melalui mekanisme pasar, bukan hasil kongkalikong politis, terbukti bahwa keberhasilan mereka berasal dari kemampuan membangun dan membina kepercayaan konsumen terhadap merek mereka, bagian terpenting

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika melihat sejarah semua perusahaan yang meraih sukses  melalui mekanisme pasar, bukan hasil kongkalikong politis,  terbukti bahwa keberhasilan mereka berasal dari kemampuan membangun dan membina kepercayaan konsumen terhadap merek mereka. Ini  bagian terpenting, dalam konteks ini menghindari ranah hukum ketika menghadapi komplain dari konsumennya. Banyak perusahaan melakukan sebaliknya lalu terheran-heran manakala kemenangannya di pengadilan itu tetap tidak mampu mengembalikan kepercayaan konsumen terhadapnya. Salah satu yang mengalami ini adalah Monsanto.

Pada saat itu Monsanto menghadapi situasi yang mirip fenomena "Koin Untuk Prita" di sini beberapa tahun lalu. Monsanto adalah produsen tanaman pangan hasil rekayasa genetika. Suatu ketika beredar rumor bahwa tanaman hasil rekayasa genetikanya itu menghasilkan efek samping mirip penderita thalidomide yang kala itu gambarnya sedang beredar ke seluruh dunia lewat Life Magazine, sehingga publik bisa membayangkan betapa mengerikannya. Asosiasi pabrikan makanan olahan kemudian berencana merespon rumor itu dengan cara memasang label "Bebas Bahan Rekayasa Genetika" supaya produknya tidak ditinggalkan konsumen, tapi ditentang habis-habisan oleh Monsanto disertai ancaman bahwa perusahaan pengolah makanan manapun yang memasang label itu akan diseretnya ke Pengadilan dengan tuduhan mencemarkan nama baik.

Monsanto menggunakan kekuatan uangnya untuk melakukan lobi-lobi keras mencegah labelisasi itu, maka terjadilah perang terbuka antara mereka dengan asosiasi tersebut. Dengan sepenuh percaya dirinya Monsanto tampil di media masa dalam perseteruannya itu, tanpa menghitung resiko bahwa hadirnya media masa berarti rumor semakin meluas. Benar saja, hanya dalam 24 jam berikutnya rumor itu menyebar bak virus ke seluruh Eropa. Hasilnya semua produk tanaman pangan hasil rekayasa genetika Monsanto dicekal, alias di larang masuk Eropa atas desakan rakyat (konsumen) Eropa. Sudah tidak relevan lagi bicara pembuktian ilmiah bagi rumor itu, konsumen sudah terlanjur marah. Monsanto menang secara hukum tentu saja sebab yang dilawannya hanya rumor, tapi kemenangan itu tidak menyelamatkan mereknya dari kehancuran

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

 

Dalam dunia bisnis dan merek dagang ada pepatah "good product sells itself", artinya apapun komoditas anda, baik barang maupun jasa, pasti laku asal kualitasnya bagus sehingga promosinya tidak perlu terlalu ngotot. Konsumen cukup diberitahu ke toko mana mereka harus pergi kalau butuh barang itu. Pepatah ini merupakan prinsip dasar saja bahwa menjual produk bagus itu merupakan tanggungjawab moral, kalau anda dengan sengaja menjual produk rusak (termasuk kadaluwarsa dan semacamnya), kematian bisnis anda tinggal menghitung hari. Berbagai perusahaan pemilik merek papan atas rela mengucurkan dana ekstra miliaran dollar untuk menarik kembali produknya yang dijumpai cacat dari peredaran dan memberi kompensasi pada siapapun yang dirugikan karenanya.

Pepsi Cola pada pertengahan 1990an pernah merogoh miliaran dollar dari kantongnya untuk menarik semua produknya dari peredaran, termasuk yang masih "ngendon" di tangan distributor, plus membuat kampanye masif lewat semua stasiun televisi tentang modernitas proses produksinya, hanya gara-gara sepasang kakek-nenek bicara ke wartawan bahwa mereka barusan menelan serpihan kaleng runcing yang ada di dasar minuman kaleng Pepsi Cola. Bukannya menyeret kakek-nenek ini ke pengadilan, Pepsi malah mempersilahkan siapapun yang mengalami insiden seperti itu untuk datang ke kantornya menerima kompensasi beberapa ratus dollar. Di antara pengadu, ada beberapa yang cuma oportunis yang lalu ditahan polisi. Akibat dari gerak cepat itu merek Pepsi selamat dari kehancurannya.

Para pebisnis handal mengambil langkah ini bukan semata karena kesadaran tanggungjawab moral terhadap mutu produk yang dijualnya, tapi juga karena tahu bahwa rusaknya reputasi merek bisa menyeret seluruh core business-nya ke liang lahat. Pepatah panas setahun hapus oleh hujan sehari berlaku, reputasi merek yang dibangun ratusan tahun bisa hancur oleh 10 menit salah langkah, kebangkrutan raksasa investasi Lehman Brothers adalah contoh yang lebih ekstrim ketimbang Monsanto.

Reputasi merek dibangun oleh kepercayaan konsumen terhadapnya. Namun itu bukan tanpa reserve dan celakanya, jika terjadi sesuatu yang tidak beres, tidak semua kepercayaan itu bersumber fakta semata; banyak juga yang cuma berangkat dari rumor atau gosip. Perusahaan yang manajemennya terlalu arogan cenderung mengorbankan pentingnya reputasi merek dengan cara menyeret mereka yang disebutnya “penebar fitnah” itu ke ranah hukum, dengan kata lain mereka secara terbuka memerangi konsumen mereka sendiri yang notabenenya menafkahi mereka. Para corporate lawyer menjadi kebanjiran rejeki lalu overacting karena dijanjikan honor setinggi selangit kalau menang di pengadilan.

Mereka tidak paham bahwa persepsi tidak pernah berhubungan dengan pembuktian siapa yang benar dan siapa yang salah secara hukum di pengadilan. Tidak fair memang tapi itulah kondisi yang harus direspon jitu oleh siapapun yang paham cara membangun bisnis lewat satu-satunya jalan, yaitu reputasi merek. Perilaku korporasi macam Monsanto memunculkan stigma bahwa korporasi tidak lain adalah tempat berkumpulnnya para bajingan kerah putih. Semakin besar korporasi itu semakih tengik pula para bajingan di dalamnya. Fenomena "corporate crime" ini sangat sering dijadikan sinisme Hollywood yang menghasilkan Box Office, sedikit di antaranya Erin Brochovich (Julia Robert),  Insider (Al Pacino), Pulp Fiction (John Travolta), Manchurian Candidate (Denzel Washington), The Dogs of War (Tom Berenger), Wallstreet (Michael Douglas), dan Lord of War (Nicholas Cage).

 

 

Sekarang kita paralelkan itu semua dengan partai politik, dan politisi  di negeri ini. Sistem politik kepartaian pada prinsipnya juga menjual produk, kita tempatkan partai politik sebagai mereknya, lalu platform dan politisinya sebagai produk yang kita kenal dengan sebutan "kader partai" itu - maka jangan keburu bicara soal penarikan kembali produk rusak, semakin hari semakin kelihatan bahwa yang terjadi di sini sebaliknya, yaitu menjual produk rusak lewat jaringan sistematis yang oleh orang-orang pintar disebut politik transaksional.

Belum pernah ada "produk rusak" yang ditarik dari peredaran di sini sejauh ini, justru semakin banyak yang digelontorkan ke "pasar". Bukannya mengambil langkah antisipatif terhadap apapun yang berpotensi  menghancurkan reputasi merek, partai politik malah memproduksi produk rusak demi produk rusak lewat sistem mahar yang konon bisa Rp 50 miliaran bagi siapapun yang ngebet sekedar jadi Bupati, misalnya. Corporate crime oleh partai politik dampak buruknya lebih merata. Oknumisasi adalah sebangun dengan arogansi Monsanto yang gagal menyelamatkan reputasi mereknya.  Partai bisa saja dengan kekuatan finansialnya menyeret siapapun yang menghujatnya ke pengadilan dengan gugatan pencemaran dan menang, tapi itu tidak akan memulihkan nama baiknya di mata rakyat. Rakyat tahunya produk rusak itu  "mereknya" apa, dan apa yang harus dilakukannya agar dia tidak beredar lagi di pasaran jika partai sebagai pemilik merek gagal mengantisipasinya, apalagi jika dia memang bagian dari corporate crime berselubung partai politik seperti gejala yang tampak lewat meledaknya kasus demi kasus korupsi dan suap belakangan ini.

 

Ikuti tulisan menarik Eko Armunanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

19 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

19 jam lalu