x

Iklan

Eko Armunanto

There is nothing to writing. All you do is sit down at a typewriter and bleed ― [Ernest Hemingway]
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jika Kekuatan Politik Dikantongi Para Saudagar: Neo-feodalisme dan Perbudakan Abad 21

Terhanyut dalam mentalitas feodal patronistik, tampaklah jelas dari pola pikir mereka bahwa menurutnya orang harus jadi tokoh (patron) dulu kalau pingin bicaranya didengar. Maka jangan heran jika lantas pada cari jalan pintas pingin cepet jadi "tokoh".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam sistem feodal jaman baheula, sabda raja adalah konstitusi. Pemerintah identik dengan raja beserta semua yang terkena cipratan aliran darah birunya. Negara adalah kerajaan dan milik raja. Raja menguasai kepemilikan segala harta benda: tanah, bangunan, uang, semuanya – milik rakyat hanya sebatas apa yang telah dihibahkan oleh raja. Melalui sistem upeti raja mendapatkan bagian dari setiap kegiatan ekonomi rakyatnya, inilah cikal-bakal sistem perpajakan moderen. Dalam kultur feodal baheula, raja dipandang mewakili Tuhan dan memperoleh kekuasaannya langsung dari langit, bukan dari pemilu.

Jam pun berganti hari, bulan pun berganti tahun, pada akhirnya terjadi pergeseran asal-usul kekuasan dari yang semula berasal dari langit menjadi berasal dari banyak uang. Dengan kekuatan uangnya para saudagar ini lantas berinvestasi di kancah politik, dari yang melalui donasi politik berbungkus filantropi hingga yang terang-terangan membotohi kandidat tertentu. Ketika dengan kekuatan uangnya para saudagar itu berhasil menguasai infrastruktur politik, pada saat itulah dia mulai bertingkah bak raja – tatanan sistemik yang kemudian disebut neo-feudalism itu, dan karena lahir dan tumbuh subur dalam lingkungan korporasi lantas disebut pula corporate feudalism.

Keberadaan perusahaan multinasional adalah ciri utama tatanan neo-feodal, selain kebijakan pemerintah yang mengakomodir globalisasi (dengan demikian pasar bebas), dan tingginya laju imigrasi legal maupun ilegal, menurut Thom Hartmann dalam karya tulisnya berjudul "Time to Remove the Bananas and Return Our Republic to Democracy", 6 November 2002.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan kekuatan uangnya para saudagar itu mudah memonopoli berbagai sumber daya ekonomi vital dan menjadi raja baru. Mereka kemudian mendanai setiap proses politik dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi mereka sendiri melalui tangan pemerintah yang disokongnya, kata Michael Krieger dalam upayanya menjelaskan bagaimana Amerika berubah menjadi oligarki neo-feodal dalam karya tulisnya berjudul American Upper Middle Class Share of Wealth is Worse than Every Country Besides Russia and Indonesia, 6 November 2014

"Mudah menguasai Indonesia, beli saja parpolnya," kata saudagar beken kita Prabowo Subianto yang jadi judul pemberitaan Kompas. Prabowo mengatakan itu ketika memberikan sambutan dalam acara silaturahim bersama ulama Aceh, di Aula Anjung Monmata, Kompleks Pendopo Gubernur Aceh. Saya tidak tahu apakah yang diucapkan saudagar Prabowo itu juga dilakukannya ketika mendirikan Gerindra dan proses politik berikutnya.

Dalam sistem feodal, rakyat bersedia menghamba pada rajanya tanpa dilandasi tujuan ekonomi. Dalam konteks ini raja dipandangnya sebagai Wong Agung, orang yang mendapatkan wahyu ilahi untuk memerintah sehingga menghamba pada raja adalah bagian dari menghamba pada Yang Maha Kuasa. Stratifikasi sosial terjadi berdasarkan status ningrat – rakyat jelata.

Sedangkan dalam sistem neo-feodal, rakyat menghamba pada penguasa harta, diperbudak uang. Stratifikasi sosial terjadi berdasarkan status ekonomi kaya – miskin.

Padahal demokrasi diciptakan dalam rangka menghapus absolutisme yang dikungkung oleh sistem feodal, dan untuk itu demokrasi membutuhkan mentalitas egaliter: duduk sama rendah berdiri sama tinggi, yang tinggi tindak memandang rendah, yang rendah tidak minder bertemu yang tinggi – mentalitas yang masih terlalu langka di sini. Terhanyut dalam mentalitas feodal patronistik, tampaklah jelas dari pola pikir mereka bahwa menurutnya orang harus jadi tokoh (patron) dulu kalau pingin bicaranya didengar. Maka jangan heran jika lantas pada cari jalan pintas pingin cepet jadi tokoh: memalsu ijasah, beli gelar pendidikan, politik uang, dagang sapi, paranormal kebanjiran order, kuburan kuno didatangi diajak ngobrol. Begitu merasa sudah jadi “tokoh” terus diminta bicara baru ketahuan otaknya di dengkul – begitu ada kritik dari yang menurut takaran feodalnya nggak selevel, dengan penuh percaya diri berkata “Emang kamu siapa?”

 

To know who rules over you, simply find out who you are not allowed to criticize

– Voltaire

 

*) Foto ilustrasi: Neo-feudalism by think-left.org – http://think-left.org/tag/neofeudalism/

Ikuti tulisan menarik Eko Armunanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu