x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Jalanan

Di jalanan pun ada politik ketika para penggunanya merasa paling berhak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"City life is stressful. Everybody is running around like crazy, stuck in traffic jams trying to make meetings, trying to make ends meet, trying to meet deadlines, trying to get kids to and from activities. There aren't enough hours in the day for all this business."
--Rebecca Pidgeon (Artis, 1965-...)

 

Ini cerita tentang jalanan yang sempat terekam. Adegan pertama berlangsung di aspal bercat merah dekat lampu pemberhentian. Di kotak inilah, sepeda motor berkerumun. Beberapa detik menjelang lampu hijau menyala, pengendara  bersiap-siap meluncur bak pembalap menunggu kibasan bendera tanda saatnya berpacu.

Adegan kedua: Bebek-bebek bermotor berebut sepotong ruas jalan untuk berlalu. Tentu saja, bebek bermotor tidak berjalan sendiri, ada pengendaranya. Motor meliuk di antara mobil-mobil. Aksi meliuk dilakukan sekalipun jalan begitu lapang—Aku pengemudi yang terampil!.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adegan ketiga: seorang nenek menyeberang dengan menyorongkan jempol (You’re great! I like it!) ke arah pengemudi mobil dan motor (jembatan penyeberangan tidak selalu tersedia). Ini mirip ketika kita meminta izin untuk lewat di hadapan orang tua yang tengah duduk-duduk. Apakah cara ini selalu berhasil? Tak ada jaminan. Tetap ada yang berkelebat di depan atau belakang penyeberang, swiinggg!

Adegan keempat: sepeda motor bersenggolan, terjatuh. Pengendaranya menepi, duduk di trotoar menahan nyeri dan pusing. Pengguna jalan lainnya berpaling sejenak, Ah, itu biasa Bro, ayo bangkit!,lalu meneruskan perjalanan.

Adegan kelima: Sepeda motor ber-cc sedang (150, 250) meraung mendahului bebek-bebek. Tak lama kemudian, sejumlah motor gede menggeram-geram meminta pengguna jalan lainnya menepi. Tubuh berjaket tebal bersepatu besar meluncur elegan di atas singgasana bermotornya. Berikan jalanku! dalam suara bariton.

Bagi pejalan kaki, satu soal yang kian menguntit kemanapun mereka pergi ialah bagaimana cara menyeberangi jalan secara aman dan selamat (jembatan penyeberangan tidak selalu tersedia; zebra cross tidak banyak berguna). Para produsen sepeda motor dan mobil menyediakan kendaraan dengan desain yang membuat pengemudinya merasa nyaman melaju kencang. Penyeberang harus menaklukkan semua itu.

Desain yang kian aerodinamis memudahkan pengendara meliuk-liuk di tengah kepadatan lalu lintas. Jalan yang mulus menstimulasi pengemudi untuk menekan pedal gas lebih dalam. Jalan menikung menggoda pesepeda motor untuk pamer aksi. Lalu lintas yang macet menaikkan tekanan darah dan menurunkan tingkat kesabaran. Di Jakarta, jalur khusus bus jadi saluran pelampiasan—mari Bung, mumpung kosong!

Ini hanyalah pengamatan sekilas: Jalan, pengendara, sepeda motor, mobil, produsen mobil dan motor, perancang teknologi, penyeberang jalan, aturan lalu lintas, polisi, dan lampu-lampu membentuk jejaring hubungan. Aksi individu-individu mengalir di dalam jejaring dan membawa kepada dinamika sistemik yang lebih luas. Satu noktah menemui masalah, seluruh jejaring terganggu.

Pilihan keputusan dan aksi-aksi individual di jalan berdampak pada bagaimana masyarakat berfungsi secara sosio-kultural. Perubahannya begitu mengejutkan: empati kian tergerus, pelanggaran aturan makin lumrah, individualitas tambah menonjol, solidaritas terus menipis.

Ukuran motor mendefinisikan posisi pengendara di jalan. Semakin besar cc, pengendara semakin merasa berhak memperoleh jalan. Desain fisik sepeda motor bukan hanya mengacu kepada fungsi, melainkan juga memengaruhi perilaku pengendara. Mobil masa kini memiliki radius putar semakin kecil, dan ini membuka peluang pelanggaran aturan ketika pengendara memilih jalan pintas untuk berganti arah.

Perhatikan pula: desain motor cc sedang (250) memengaruhi persepsi pengendara sehingga ia membayangkan diri seolah-olah Valentino Rossi. Desain tempat duduk dan stir motor tipe ini menciptakan pengalaman bersepeda-motor yang berbeda bagi pengendaranya. Gestur tubuh akhirnya memengaruhi sikap.

Desain dan ukuran cc motor juga menciptakan ‘politik kelas’ di jalanan. Kelas tertinggi ialah motor gede yang mampu menstimulasi peningkatan kepercayaan diri pengendaranya. Pengguna motor gede kerap memperoleh kelonggaran saat melewati lalu lintas yang padat—juga kawalan voorijder.

Di tengah terletak motor ber-cc sedang. Bahasa tubuh pengendaranya berkata: Saya berbeda. Kelas terbawah adalah motor ber-cc terendah. Kendati begitu, kelincahannya sanggup menstimulasi pengendara untuk bermanuver sesuka hati—lihatlah, sebagian pengendara jadi cenderung ‘thrill-seeking’.

Di jalanan, upaya mengendalikan teknologi berhadapan dengan apa yang disebut ‘dilema Collingridge’. Pertama, persoalan informasi: dampak teknologi tidak dapat diprediksi secara mudah hingga teknologi itu telah dikembangkan secara ekstensif dan dipakai secara luas. Kedua, persoalan kuasa: pengendalian terhadap perubahan sukar dilakukan ketika teknologi telah berurat-berakar.

Dilema itulah yang kini kita jumpai di jalanan. (Foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu