x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Oplosan Cherrybelle, Wooww Seraamm

Minuman keras oplosan memakan puluhan korban jiwa. Mengatasinya, tak cukup dengan memburu pengedarnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Aku lebih takut kepada alkohol daripada seluruh peluru musuhku."
--Stonewall Jackson (Prajurit Amerika, 1824-1863)

 

Saya belum mendengar kabar apakah grup vokal Cherrybelle protes karena namanya dipakai sebagai ‘merek’ minuman keras oplosan seperti ditemukan di Garut, Jawa Barat. Disebut oplosan lantaran ‘air setan’ ini dibuat bukan pabrikan dengan cara mengoplos alkohol dengan bahan-bahan lain, seperti minuman pembangkit energi, obat pusing kepala, sampai lotion pengusir nyamuk. Wooww, dijamin teler.

Telernya bahkan berlebihan: di Garut oplosan Cherrybell sudah mencabut 15 nyawa, di Sumedang 10 jiwa, lalu Jakarta dan Bogor, bisa ditambah di tempat lain yang mungkin belum terungkap. Lebih dari seratus orang masuk rumah sakit, sebagian besar kritis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan kadar alkohol 70-96%, minuman oplosan ini bukan lagi ‘minuman keras’ layaknya minuman beralkohol pabrikan yang dijual dengan merek terkenal, tapi ‘minuman super keras’. Terbayang kan, bagaimana tubuh kita bila dimasuki cairan alkohol dengan kadar setinggi itu? Hilang kesadaran, saraf terganggu dan gemetar (tremor), jaringan hati rusak, usus meradang tak kuat menahan panas, kerja ginjal terganggu, otot jantung melemah, tukak lambung karena mengalami korosi alias tergerus oleh alkohol. Dan banyak lagi.

Banyak orang tak mengerti bahaya alkohol, apa lagi dengan prosentase kandungan sedahsyat itu? Mungkin. Bahkan, menanggapi kabar tentang warganya yang ‘teler berlebihan’ itu, Gubernur Jabar Aher bilang: “Mereka sudah tidak rasional.” Seperti dikutip tempo.co, jatuhnya korban minuman keras di Sumedang dan Garut, kata Aher, karena kebodohan warganya.

Lalu Gubernur Aher meminta polisi mengungkap pengedar minuman keras oplosan di wilayah selain Garut dan Sumedang. Ia juga meminta masyarakat meningkatkan pengawasan. “Mudah-mudahan ini bisa berhenti,” kata Aher dikutip tempo.co.

Cukupkah langkah seperti itu? Rasanya sih tidak. Sebab, langkah itu tidak menukik ke akar masalahnya: mengapa banyak warga masyarakat yang mengonsumsi minuman sejenis Cherrybelle? Seandainya Pak Aher blusukan ke kampung-kampung di Garut, Sumedang, Bogor, dan tempat lain, penciuman Pak Aher bakal lebih tajam dalam mengendus akar masalahnya. Memburu pengoplos dan menghalangi peredarannya tidaklah cukup.

Seorang mantan ‘Cherrybeller’ asal Garut, yang sudah berhenti minum sejak punya anak, bercerita bahwa ia sudah mengenal minuman keras sejak duduk di bangku SD—kira-kira usia 10 tahun. Terbawa arus? Mungkin ya, mula-mula ia diajak kawannya dan diolok-olok sebagai penakut bila tak mau mencoba minum. Setelah berani mencoba minum, olok-olok pun berhenti. Selanjutnya, mantan ini ketagihan, setidaknya seminggu sekali ia minum sejenis Cherrybelle agar tetap dianggap bagian dari kelompok. Kebiasaan ini berlanjut hingga ia tambah dewasa.

Setelah beranjak dewasa ini tetap membeli karena harganya relatif terjangkau, Rp 10 ribu per botol atau kantong plastik. Mau beli minuman bermerek terkenal, tak punya cukup uang. Pekerjaan serabutan mendorong mantan Cherrybeller ini untuk menjadikan minuman oplosan sebagai tempat curhat. “Hidup susah, pekerjaan tak tentu,” ujarnya.

Dulu, ia suka minum juga bersama kawan-kawannya bila ada acara keramaian. Menemukan tempat jualnya tidak susah. Mereka menikmati ‘air setan’ sambil berjoget—entah nyambung entah tidak dengan irama musiknya, tak peduli. Badannya sampai kurus, bahkan setelah ia menikah belum juga gemuk. Sering batuk dan mengeluh sakit perut.

“Sejak punya anak, saya berhenti minum,” tuturnya lagi. Ia menghidupi istri dan anaknya dari pekerjaan tetap sebagai pegawai toko bangunan. Ia tak mau mengamburkan gajinya yang kecil untuk Cherrybelle. 

“Pernah dengar lagu Oplosan?” tanya saya. “Pernah,” jawabnya. “Kalau mulai tergoda minum lagi, ingat pesan lagu itu,” kata saya. “Wah, saya nggak ngerti artinya, habis pakai Bahasa Jawa,” jawabnya sambil tertawa. “Lagu itu, mah, cocoknya buat goyang, habis isinya saya nggak ngerti!”

Iya, ya, saya baru ingat, Oplosan ini ditulis dan dinyanyikan dalam bahasa Jawa. Dua bait pertamanya berbunyi seperti ini:

Opo ora eman duite, (Apa tidak sayang uangnya)
Gawe tuku banyu setan, (Dipakai membeli air setan)
Opo ora mikir yen mendem, (Apa tidak berpikir bahwa mabuk itu)
Iku biso ngrusak pikiran (.. bisa merusak pikiran)
 
Ojo diteruske mendeme, (Jangan diteruskan mabuknya)
Mergo ora ono untunge, (Sebab tidak ada untungnya)
Yo cepet marenono mendemmu, (Lekas hentikan mabukmu)
Ben dowo umurmu (Agar panjang umurmu)
 

Ref: Oplosan... Oplosan...

 

Lirik lagu Oplosan ini bagus. Nasihatnya baik. Tapi, saya hanya bisa membayangkan, ketika lagu ini dinyanyikan, orang akan asyik berjoget tapi tidak memperhatikan pesannya, apa lagi mengingatnya. Oplosan... oplosan.... ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu