x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gaduh Pidato Presiden

Kini, pidato Presiden maupun pejabat tinggi lain mulai memperoleh perhatian masyarakat, terutama yang inspiratif atau yang nyleneh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tepuk tangan bergema di Gedung Asia-Afrika, Bandung, menyambut pidato Presiden Joko Widodo. Pidato itu dianggap menggelorakan kembali semangat solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika di era modern. Berbagai pihak memuji pula pidato itu. Hingga kemudian, sejumlah nama tertera di media sebagai penulis pidato yang dianggap cemerlang itu.

Peristiwa itu terjadi April lalu. Respon sebaliknya dituai kira-kira sebulan kemudian, ketika Presiden berpidato dalam peringatan hari lahir Pancsila, 1 Juni, di Blitar. Kritik berdatangan. Ada yang menyarankan agar penulis pidato Presiden dipecat, meskipun belum jelas benar apakah yang terjadi salah ucap atau salah tulis pada naskah. (Yang mengritik mengatakan lagi: kalau salah tulis, kenapa tidak dikoreksi oleh Presiden ketika naskah pidato masih berupa draf, maupun ketika sedang dibaca—apakah Presiden tidak menyadari ada yang salah pada naskah pidato?)

Apa yang salah dalam pidato itu adalah penyebutan ‘kota kelahiran’ Bung Karno. Dikutip oleh media, bagian isi pidato yang keliru itu berbunyi:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran Proklamator kita, Bapak Bangsa kita, penggali Pancasila, Bung Karno, hati saya selalu bergetar.”

Bung Karno, seperti disebut dalam buku Soekarno Penjambung Lidah Rakjat, lahir di Surabaya. Blitar adalah tempat peristirahatannya. Netizen pun heboh, ada yang mengritik tidak paham sejarah, ada yang menyindir, ada pula yang memaklumi kesalahan itu sebagai hal yang tak perlu dibesar-besarkan. “Pak Jokowi juga manusia,” kata sebagian netizen meminjam Seurieus.

Ya, Pak Jokowi memang manusia, tapi itulah bedanya ketika seseorang jadi rakyat biasa dan ketika ia memegang jabatan tinggi. Kata pepatah: “Makin tinggi batang pohon, makin kencang anginnya.”

Di masa pemerintahan Pak Harto, rakyat banyak mungkin tidak mendengarkannya dengan cermat, apa lagi belum tersedia jalur internet yang memungkinkan penyebaran informasi dengan sangat cepat. Pidatonya relatif standar, dengan intonasi yang standar, sehingga masyarakat enggan menyimaknya.

Kini, pidato Presiden maupun pejabat tinggi lain mulai memperoleh perhatian masyarakat, terutama yang inspiratif atau yang nyleneh. Jika jurnalis tidak mengutip, ada saja netizen yang mengunggah informasi baik berupa teks maupun video ke internet. Respon netizen akan cepat bila pidato itu—atau bagiannya—memancing perdebatan, seperti pidato Presiden di Blitar itu. Bahkan, menggelinding jadi isu politik.

Meskipun perlahan, agaknya perhatian masyarakat terhadap pidato pejabat akan kian meningkat. Mereka akan menyoroti isi pidato yang bertaburan janji-janji, yang keliru sebut sesuatu, atau yang nyleneh logika berpikirnya. Kecerdasan orang yang berpidato, maupun tim penulis naskah pidato, juga akan semakin disorot. Sangat mungkin, kemampuan retorika akan semakin jadi bagian penting dalam proses demokrasi kita, sebab dari situ akan terlihat siapa sosok-sosok yang memahami persoalan masyarakatnya dan mana sosok yang hanya asal bunyi.

Tentang cerminan intelektualitas dalam pidato, ada studi menarik yang dilakukan oleh Elvin T. Lim, yang barangkali bisa di-share. Dari kajiannya terhadap pidato-pidato beberapa presiden AS, Lim mendapati bahwa kalimat-kalimat yang digunakan para presiden semakin pendek, semakin miskin metafora, diksinya pun bertambah sederhana, dan kata-kata hampa kian bertebaran.

Lalu apa yang disimpulkan oleh Lim? “Ini menandakan bahwa denominator intelektualitas semakin berkurang,” tulis Lim dalam bukunya, The Anti-Intellectual Presidency: The Decline of Presidential Rhetoric from George Washington to George W. Bush. Dalam masyarakat yang menjadikan kemampuan retorika sebagai salah satu ukuran intelektualitas seseorang, kepiawaian berpidato dan berdebat menjadi sangat bernilai.

Indonesia pernah mengalami masa itu, khususnya ketika para perintis dan pendiri bangsa ini masih berkiprah di panggung kemasyarakatan. Di samping Bung Karno, banyak nama lain yang memiliki kemampuan retorika hebat yang dilandasi oleh kemampuan intelektual yang tak diragukan, seperti Bung Hatta, Yamin, Agus Salim, Wahid Hasyim, Sjahrir, Maramis, dan Natsir.

Rezim Orde Baru telah menjadikan pidato sebagai sesuatu yang seragam dan tak lagi mengandung api semangat. Dan kini, di tengah masyarakat yang semakin kritis, pidato cenderung menjadi tidak penting bila bertebaran dengan slogan dan janji—yang sayangnya pula jarang ditepati. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu