x

Penasehat kemanan Korsel Kim Yang-Gon (kanan), dengan sejumlah delegasi dari Korut. Berdiskusi mencari kesepakatan damai antar kedua negara yang masih bersaudara. Paju, Korea Selatan, 25 Agustus 2015. Getty Images

Iklan

Gusrowi AHN

Coach & Capacity Building Specialist
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berbeda Pandangan itu Asyik

Berbeda pandangan menjadi asyik ketika masing-masing pihak selalu memiliki opsi untuk bisa saling mendengarkan, menghormati dan menghargai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa jadinya, jika kita bertemu di dalam sebuah forum dengan orang-orang yang selama ini memiliki perselisihan dan perseteruan dengan kita, dan karenanya kita kategorikan mereka sebagai musuh. Apapun yang keluar dari mulut mereka, pastinya sangat sulit masuk ke nalar sehat kita. Ketiadaan ‘trust’ menjadi penghalang yang mendominasi pikiran kita. Berbagai prasangka tentang mereka bermunculan tanpa bisa kita verifikasi dan bahkan kendalikan. Alih-alih mendengarkan dengan baik pendapat dan ide mereka, yang paling dominan menguasai diri kita biasanya, semakin rapat “menutup diri”.  

Dampaknya, ketika kita mendapatkan kenyataan bahwa apa yang mereka sampaikan ternyata lebih ‘masuk akal’ dibanding dengan apa yang kita pikirkan, kita pun lebih cenderung ‘tidak jujur’ mengakui. Selanjutnya, biasanya kita berupaya membatasi diri dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan bahkan sampai pada level melakukan agitasi dan mobilisasi untuk mencari dukungan dari pihak lain, bahwa cara berpikir kita-lah yang paling benar. Lantas, apa yang idealnya kita lakukan terhadap orang yang berseberangan dan berbeda pandangan dengan kita?

Langkah pertama yang saya kira sangat penting adalah kemauan dan kesiapan kita untuk ‘jujur’ melihat apa yang ‘masuk akal’ dan ‘tidak masuk akal’. Saya sengaja tidak menggunakan kata ‘benar’ atau ‘salah’, karena ini persoalan cara pandang yang memang bersifat subyektif. Tergantung dari mana kita melihatnya, selama tidak terjadi ‘pemaksaan’ pandangan kepada pihak lain, dan tidak saling menghakimi pandangan masing-masing, seharusnya perbedaan cara pandang tidak akan menimbulkan masalah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbeda pandangan menjadi asyik ketika masing-masing pihak selalu memiliki opsi untuk bisa saling mendengarkan, saling menjaga, saling menghargai dan juga saling menghormati. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan kita. Jika opsi-opsi tersebut tidak ada, berbeda pandangan akan sangat menjengkelkan, membuat emosi dan tidak akan pernah ditemukan keasyikan di dalamnya.

Memang, sebagian orang merasa takut terjadi perubahan pandangan jika berinteraksi dan bergaul dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda. Sering kita dengar, di dalam masalah agama misalnya, banyak pemuka agama yang menganjurkan pengikut agamanya membatasi interaksi dengan pengikut agama lain. Ketakutan akan merubah pandangan atas agamanya sendiri, dan berlanjut pindah agama, menjadi alasan-alasan yang sering dikemukakan.

Pertanyaan saya adalah Apakah terjadinya perubahan cara pandang selalu berakhir dengan kerugian di salah satu pihak? Atau, apakah perubahan cara pandang selalu menjadi akhir dari sebuah interaksi dan komunikasi diantara orang-orang yang berbeda pandangan? Saya kira ‘Tidak’.

Berbagi cara pandang tidak selalu berakhir dengan ‘takluk’-nya cara pandang dari salah satu pihak. Memang, bisa saja salah satu pihak akan mengakui cara pandang pihak lain, dan kemudian mengikutinya sebagai nilai baru bagi dirinya. Namun, hal sebaliknya juga bisa terjadi, masing-masing pihak, walaupun sudah saling berdiskusi dan berbagi cara pandangnya, pada akhirnya, tetap tidak berubah dan tetap memegang ‘cara pandang’-nya masing-masing.

Idealnya, semangat belajar-lah yang menjadi landasan sebuah diskusi dan dialog tentang bagaimana memandang permasalahan. Bukan semangat saling mengalahkan, dan mencari kemenangan. Ketika ‘belajar’ menjadi pondasinya, saya kira, akan membiasakan diri kita untuk tidak reaktif, ketika menemukan pemikiran yang ‘out of the box’ dan ‘nyleneh’. Kita juga tidak tergoda untuk menggunakan prasangka dalam menganalisa persoalan, dan karenanya menjadi lebih jujur dalam membedakan mana yang bersifat ‘nilai’ dan mana yang ‘fakta’.

Harapannya, kita akan menjadi pribadi yang lebih adaptif dengan perubahan. Tidak ‘kagetan’, dan tidak ‘gumunan’ jika menemukan ‘perbedaan’ dan ‘perubahan’ di depan mata kita. Inilah keasyikan yang akan kita rasakan, jika kita terbiasa bersikap ‘positif’ terhadap perbedaan pandangan.  #gusrowi  

  

Ikuti tulisan menarik Gusrowi AHN lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu