x

Ribuan penunggang kuda mengendarai kudanya dalam parade kuda tradisional melewati jalanan di San Jose, Kosta Rika, 26 Desember 2015. Ribuan kuda beserta pemiliknya berpartisipasi dalam parade kuda yang merupakan festival rutin diakhir tahun. REUTERS/

Iklan

Eldistri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Resolusi 2016 Tahun Tingkatkan Revolusi Mental, Singkirkan Biang-biang Gadung Hitam

Selain KKN, persoalan mental yg cukup penting untuk dituntaskan adalah feodalisme dan primordialisme. Feodalisme terwujud dalam mentalitas anti kesetaraan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

GADUH “PUTIH” DAN KEPRETAN SI RAJAWALI

Gaduh atau kegaduhan, pada tahun 2015, menjadi istilah yang cukup beken di gelanggang politik Indonesia. Harus diakui, bahwa istilah ini muncul terutama setelah seorang menteri koordinator (Rajawali) baru dilantik oleh Presiden Jokowi masuk kabinet pada Agustus 2015. Belum lagi menjalani rapat pertamanya di kabinet, menteri tanpa tedeng aling aling, secara blak-blakan, meng-kepret berbagai kebijakan yang sedang atau akan berjalan di pemerintahan. Seperti tentang pembelian pesawat boeing A350 oleh Garuda Indonesia yang dipandang tidak rasional karena speknya hanya cocok melayani rute ke Eropa atau Amerika yang sepi –akhirnya memang rencana ini dibatalkan, yang artinya kepret-an sukses.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Atau tentang pulsa token listrik yang dipandang tidak adil dan sarat “permainan” mafia PLN- meskipun menuai pembelaan diri dari PLN dan kritikan balik dari para pengamat tentang tidak presisinya satuan dan angka yang diungkap si Rajawali, tapi publik pengguna token listrik yang merasa dirugikan sudah terlanjur merasa suaranya disambung oleh lidah si Rajawali. Kepretan yang kedua ini dipandang separuh sukses, karena setidaknya beberapa saat setelah di-kepret, masyarakat mulai merasakan ada sedikit peningkatan dalam jumlah KWh yang diterima (dengan biaya pembelian pulsa yang sama), meskipun kini kabarnya jumlah KWh yang diterima kembali bahkan ke situasi yang lebih buruk dari situasi sebelum dikepret.

 

Yang berikutnya adalah tentang proyek pembangkit listrik 35 ribu MW. Proyek ini dipandang terlalu bombastis mengingat sejarah 10 tahun pemerintahan sebelumnya dalam membangun (5 tahun pertama dari proyek 10 ribu MW pertama hanya tuntas 6000-an MW, sedangkan 5 tahun kedua dari proyek 10 ribu MW hanya tuntas kurang dari 1000 MW), sehingga paling maksimal menurut si Rajawali, dari 35 ribu MW paling hanya bisa jadi 14-16 ribu MW dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti pertumbuhan ekonomi daerah, kemampuan finansial dan jaringan sebagian besar para pemegang konsesi yang meragukan, dsb. Selain itu bila pun proyek tersebut benar-benar terwujud, akan terdapat kelebihan produksi listrik yang harus dibayar PLN kepada produsen swasta yang angkanya mencapai Rp 100-an trilyun pertahun- yang dapat menyebabkan APBN jebol. Meskipun sempat di suatu acara Presiden Jokowi tampak masih membela proyek 35 ribu MW ini dan menyindir langsung si Rajawali, tapi belakangan pada suatu acara seminggu lalu, 22 Desember 2015, bersama para pengusaha listrik di istana, di mana telah ditandatangani kontrak 17.000 MW (yang diperkirakan hanya 75%-nya saja yang dapat jadi sebelum 2019 karena masalah pembiayaan dan pembebasan lahan) Presiden meralat bahwa “proyek 35 ribu adalah kebutuhan, bukan target”. Artinya kepretan tentang 35 ribu MW pun menuai sukses.

 

Terdapat pula beberapa kepretan yang muncul beberapa saat setelah ketiga yang pertama, yaitu tentang tidak patuhnya Pelindo II, tentang perpanjangan kontrak Freeport, dan tentang pilihan teknologi pemanfaatan gas dari Blok Masela.

Tentang Pelindo II, seperti kita ketahui bahwa mantan dirutnya (yang ternyata keluarganya memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan milik keluarga Wapres JK) melawan berbagai kebijakan untuk menurunkan angka dwelling time/DT seperti menghambat masuknya rel kereta ke pelabuhan Tanjung Priuk dari Cikarang dry port dan menolak mengenakan biaya inap container sesuai arahan Rajawali. Meskipun dua kebijakan tersebut masih belum dapat dijalankan, tapi faktanya angka DT sudah turun dari 7 hari ke 4,3 hari (per saat ini) karena terapat kebijakan-kebijakan lainnya seperti deregulasi birokrasi, penyatuan sistem IT, dll. Kabarnya Presiden sangat puas dengan kemajuan soal DT ini dan menugaskan kepada si Rajawali untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dahulu ditentang oleh si eks dirut Pelindo II.

 

Kebijakan lain Rajawali yang tidak berhubungan dengan angka DT tapi juga bertujuan mengurangi biaya logistik (yaitu demmurage), yang juga dilawan oleh eks dirut Pelindo II tersebut adalah kebijakan first in first out (fifo) yang sebenarnya sudah umum diterapkan di pelabuhan-pelabuhan seluruh dunia. Eks dirut Pelindo II inilah yang mungkin menyebabkan kegaduhan yang minus kepretan, yang tidak ada hubungannya dengan perbaikan ke arah yang lebih baik, atau dapat kita istilahkan di sini sebagai “gaduh hitam”- sedangkan kegaduhan karena kepretan sebagai “gaduh putih”.

 

Jadi, di tengah-tengah “kegaduhan putih” yang ditimbulkan oleh kepretan Rajawali, yang rakyat kebanyakan mendukungnya, muncul “kegaduhan hitam” yang ditimbulkan oleh perlawanan eks dirut Pelindo II termasuk kepada aparat Reskrim Kepolisian yang hendak memeriksa kasus pelanggaran hukum yang dilakukannya. Tidak main-main memang koneksi si eks dirut Pelindo II ini, satu-satunya perwira tinggi polisi yang terbaik di negeri ini (karena keberanian dan integritas ybs yang mirip Hoegeng) akhirnya dicopot dari kepala Kabareskrim dan dipindah menjadi kepala BNN.

 

Jelas, “gaduh hitam” telah memakan korban pejabat kepolisian yang paling berani dan berintegritas. Untunglah kemudian DPR mendengarkan suara rakyat, dan akhirnya membikin Pansus Pelindo II yang akhirnya melawan gaduh hitam yang ditimbulkan si eks dirut Pelindo II. Pansus kemudian merekomendasikan, salah satunya, untuk mencopot si eks dirut Pelindo II karena telah melakukan berbagai pelanggaran termasuk dalam hal percepatan perpanjangan kontrak JICT (salah satu pelabuhan di Tanjung Priuk) ke perusahaan asal Hongkong, Hutchinson- padahal serikat pekerja JICT sudah nyatakan mampu mengelola sendiri pelabuhan tersebut 100% merah putih. Tak lama KPK pun menjadikan si eks dirut sebagai tersangka, hanya tinggal menunggu Kepolisian yang kabarnya akan juga melakukannya dalam waktu dekat. Gaduh “putih” yang didukung rakyat pun akhirnya menang, mengalahkan gaduh “hitam” yang tidak didukung rakyat.

 

GADUH “PUTIH” & “HITAM” DI FREEPORT

Kepretan berikutnya adalah tentang perpanjangan kontrak Freeport. Si Rajawali tukang kepret menuding, bahwa menteri ESDM sudah keblinger. Gelanggang publik pun menjadi gaduh, tapi yang berwarna putih karena berpihak kepada rakyat dan bangsa. Melalui upaya pengajuan perubahan suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang memungkinkan seluruh perusahaan tambang, termasuk Freeport, ia berusaha untuk mempercepat proses perpanjangan kontrak-kontrak tambang di negeri ini. Dengan tanpa berdosa pula, si menteri ESDM menyurati para pimpinan Freeport tentang upayanya mengubah PP ini.

 

Kasus ini (kisah dibalik perpanjangan kontrak Freeport) mengingatkan kita ke tahun 1991, saat menteri ESDM kala itu, Ginandjar Kartasasmita, mempercepat perpanjangan kontrak Freeport yang akhirnya menghasilkan Kontrak Karya (KK) Jilid 2. Dalam kasus perpanjangan kontrak Freeport saat ini, untungnya surat-surat si menteri ESDM tersebar luas ke publik, sehingga publik menjadi sadar betapa bermental inlandernya pejabat kita. Si menteri ESDM dan timya pun sempat membela diri beberapa saat, menyerang si Rajawali secara terbuka dalam berbagai aspek, hingga kesalahan penyebutan satuan cadangan emas (troy onz disebut ton) yang memang selip dilakukan si Rajawali sempat menjadi bulan-bulannya tim mereka. Meskipun dari tim mereka juga kelimpungan tak bisa menjawab, saat dibongkar bahwa angka 18 milyar dollar AS yang dijanjikan Freeport (juga dikutip oleh menteri ESDM di surat-suratnya) sebagai investasi bila kontraknya diperpanjang tak lebih dari penjumlahan capex yang disisihkan dari revenue penjualan tambang Freeport yang setiap tahunnya berkisar 900an ribu dollar AS sejak 2021 hingga 2041. Lucunya, seorang pejabat yang baru dilantik sebagai Kepala KSP malah sempat menyatakan (sebelum kemudian dicabutnya), bahwa bila investasi Freeport yang 18 milyar dollar AS tersebut batal maka 25% APBN akan jebol (!!??).

 

Lapisan lain dari tim mereka yang lebih senior, seorang ekonom mantan Gubernur BI, bahkan sampai tega memvonis bahwa kontrak Freeport harus diperpanjang karena Bangsa Indonesia tidak memiliki kemampuan finansial dan teknis untuk menjalankan tambang di Timika ini. Betapa para pemuja ideologi neoliberal, yang melanggengkan nekolim di Dunia Ketiga, sudah menampakkan dirinya mendukung si menteri ESDM. Sampai akhirnya Presiden Jokowi sendiri yang secara tegas menyatakan bahwa “tidak ada perubahan PP-PP-an” untuk mempercepat perpanjangan kontrak Freeport, sehingga waktu untuk negosiasi perpanjangan tetap di tahun 2019 sesuai UU yang berlaku. Perdebatan pun selesai, dan menteri ESDM dan seluruh timnya yang bermazhab neoliberal kehilangan muka.

 

Namun, ternyata si menteri ESDM tak jadi lama-lama kehilangan muka. Hanya beberapa hari setelahnya, berbekal rekaman dari Presdir Freeport yang diperdengarkan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, yang kemudian sangat heboh (bukan gaduh) di publik sehingga dijuluki sebagai rekaman “Papa Minta Saham”, si menteri ESDM mendapatkan kembali dukungan publik. Seperti diketahui, dalam rekaman tersebut terungkap upaya SN (saat itu pimpinan DPR) dan MRC (pengusaha importir minyak yang dekat keluarga Cendana) menjadi makelar perpanjangan kontrak Freeport dengan barter saham sebesar Freeport 20% dan 51% saham rencana proyek pembangkit listrik di Papua. Apalagi tak lama berselang, dirinya mengembalikan gratifikasi perhiasan berlian senilai Rp 3,9 M ke KPK. Setidaknya jati diri si menteri ESDM yang tidak nasionalis, yang neoliberal, yang inlander, sejenak dilupakan publik (hanya segelintir pengamat kritis dan aktivis yang terus ingatkan hal ini), berganti menjadi si menteri ESDM yang pro terhadap transparansi dan pemberantasan KKN.

 

Benar memang, bahwa sejak dini, jauh sebelum diangkat menjadi menteri, bersama para tokoh penggiat anti korupsi (yang juga bermazhab neoliberal) dirinya aktif di Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), sebelum akhirnya bergabung di BRR Aceh-Nias (diajak Kuntoro Mangkusubroto), masuk menjadi petinggi di Indika Energy, dan terakhir diangkat menjadi dirut Pindad (kabarnya atas rekomendasi Syafrie Syamsuddin, kakak Presdir Freeport saat ini).

Namun, agar tidak terlalu berlama-lama terbuai dengan maneuver si menteri ESDM, saya menawarkan cara berpikir seperti ini kepada publik. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh si menteri ESDM dalam hal mempercepat perpanjangan kontrak Freeport di tahun 2015 ini secara prinsip tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh pendahulunya sesama menteri ESDM dahulu, Ginandjar Kartasasmita, di tahun 1991.

 

Bila dahulu Ginandjar atas jasanya mempercepat perpanjangan kontrak Freeport mendapatkan ganjaran saham dari Freeport sebesar 10%, yang “diwakilkannya” ke muridnya yang bernama Aburizal Bakrie/Ical (meskipun separuh saham tersebut dijual kembali ke Freeport tahun 1992, dan separuh sisanya dijual ke Bob Hasan tahun 1997- belakangan di tahun 2002 Bob Hasan menjualnya kembali ke Freeport), belum jelas diketahui apa yang didapat oleh si menteri ESDM dalam upayanya mempercepat perpanjangan kontrak Freeport di 2015. Apakah hanya sekedar kepuasan ideologinya (neoliberal) saja atau ada yang lain? Meskipun yang sudah ketahuan ke publik memang ada upaya dari SN (yang merupakan orang no dua di Partai Golkar setelah Ical) dan MRC, pengusaha yang dibesarkan Cendana dan mendukung kubu politik KMP –yang dimotori oleh Golkar Ical- di Pilpres 2014, mengikuti jejak langkah Ical membantu Ginandjar di tahun 1991. Bedanya, dahulu tahun 1991 para kapitalis rente ini hanya minta 10%, kini tahun 2015 mereka mintanya 20% plus yang lain-lain.

 

Kembali ke apa yang mungkin didapat oleh si menteri ESDM dengan mempercepat perpanjangan kontrak Freeport di tahun 2015, kita akan sedikit mengubah jalan pemikiran. Karena track recordnya sebagai pejuang anti korupsi, kecil kemungkinan si menteri ESDM menerima barang atau apapun yang menguntungkannya. Jadi kemungkinan besar aksinya ini menguntungkan pihak-pihak di luar dirinya.

 

Tapi, siapa saja pihak-pihak yang mungkin diuntungkan oleh aksi si menteri ESDM? Jawaban hipotetis saya ada tiga (3) pihak, yang sangat layak diberikan terima kasih setinggi-tinggi olehnya: (Pihak pertama adalah) Keluarga besar Syafri Syamsuddin- yang sudah berjasa membawanya menjadi dirut BUMN Pindad, jabatannya yang menjadikannya selangkah lagi menuju kursi menteri. Yang diberikannya ke keluarga Syafri Syamsuddin sebagai ucapan terima kasih adalah dengan merekomendasikan Freeport untuk mengangkat adik Syafri, Maroef, sebagai Presdir Freeport, yang disetujui oleh Freeport pada bulan Januari 2015 (3 bulan setelah dirinya dilantik sebagai menteri ESDM).

 

(Pihak kedua adalah) Keluarga besar Indika Energy- yang sudah memberikan kehormatan sebagai petinggi eksekutif perusahaan yang terpandang, selepas dari BRR Aceh-Nias. Beredar kabar bahwa Indika sudah/akan mendapatkan proyek pasokan bahan peledak, pembangkit listrik tenaga air, dll bila kontrak Freeport diperpanjang 

 

(Pihak ketiga adalah) Keluarga besar Wapres JK, yang kemungkinan besar memperjuangkan namanya sebagai menteri ESDM pertama di Kabinet Jokowi. Karena paling berjasa, maka kepada Wapres JK lah kesetiaan tertinggi si menteri ESDM terletak. Upeti yang diterima Wapres JK dari si menteri ESDM akan dijelaskan pada paragraf berikut.

 

Awalnya, seolah si menteri ESDM ingin menyaingi kepretan-kepretan si Rajawali Maritim dengan menciptakan kegaduhan yang seolah awalnya merupakan “putih” dengan membongkar rekaman Maroef Syamsuddin ke MKD DPR. Dikatakan, dengan upaya ini didukung penuh oleh Wapres JK. Ternyata setelah MKD bersidang dan memutuskan bahwa SN melakukan pelanggaran, dan akhirnya ybs mundur dari Ketua DPR.

 

Tapi kemudian bola panas politik di DPR malah mengarah ke terbentuknya Pansus Freeport. Bersamaan dengan itu, belum lama ini muncul kesaksian dari seorang politisi Gerindra yang memiliki bukti kunjungan Presiden Komisaris Freeport McMoran (induk Freeport Indonesia) James Moffett ke gedung kantor grup Bosowa untuk menemui adik ipar Wapres JK dan anaknya. Kabarnya pertemuan tersebut terjadi tepat pada saat si menteri ESDM sedang memperjuangkan percepatan perpanjangan kontrak Freeport. Bahkan terdapat kesaksian (yang lebih merupakan spekulasi, sehingga harus diverifikasi lagi), bahwa saat-saat itu juga Wapres JK sendiri secara pribadi sudah menerima kunjungan James Moffett ke rumah dinasnya (!).

 

Jika di kemudian hari nanati Pansus Freeport terbentuk, dan memang harus kita dorong, dan terbuktilah semua kisah gaduh hitam ini, maka yang dilakukan si menteri ESDM tak lebih dari gaduh hitam. Suatu kegaduhan yang tercipta untuk mempertahankan kekuasaan elit politik dan bisnis dengan jalan KKN serta tidak berpihak kepada kepentingan rakyat dan nasion.

 

Jika dalam percepatan perpanjangan kontrak Freeport dulu di tahun 1991 ada duet Ginandjar-Ical, maka di tahun 2015 ini ada duet si menteri ESDM-Wapres JK.

 

Kisah yang sebenarnya terjadi, kabarnya adalah duet si menteri ESDM – Wapres JK sukses menggagalkan upaya SN-MRC rebut saham Freeport. Sementara keluarga Wapres JK, melalui adik iparnya, berhasil memperoleh tawaran 40% saham smelter yang akan dibangun Freeport di Sungai Membramo, Papua, beserta proyek pembangunan PLTA yang menjual listrik untuk smelter tersebut. Sebagai barter untuk mega proyek inilah, Freeport minta diberikan jaminan percepatan perpanjangan kontrak.

 

Demi kesepakatan besar inilah James Moffett berkepentingan menemui Wapres JK dan adik iparnya, serta yang menjelaskan mengapa si menteri ESDM, yang memang sangat loyal kepada Wapres JK, terburu-buru (pada hari yang sama) membalas surat James Moffett yang meminta kepastian perpanjangan kontrak. Semoga cerita ini kelak terkonfirmasi di Pansus Freeport, dan akhirnya gaduh “hitam” dapat dikalahkan.

 

GADUH “PUTIH” DAN GADUH “HITAM” DI MASELA

Kemudian adalah tentang pilihan teknologi pengembangan Blok Masela. Isu ini memang masih sangat jauh dari perhatian publik secara luas- kecuali mungkin bagi warga kepulauan Maluku yang merupakan pewaris dari kekayaan gas di laut Masela. Namun bagaimanapun isu ini teramat strategis terlebih bila ditinjau dari pengembangan konsep Poros Maritim dan “pembangunan dari titik terluar” (seperti dimuat dalam Nawacita). Seperti kita tahu salah satu syarat untuk terwujudnya Poros Maritim adalah terjadinya konektivitas yang erat antar Provinsi dan Pulau. Dan konektivitas sendiri dapat terwujud apabila gap atau ketimpangan pendapatan antar pulau semakin kecil. Dalam konteks Blok Masela, yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Maluku yang masih merupakan provinsi termiskin ke-2 di Indonesia, maka sedapat mungkin kekayaan gas di bawah laut tersebut harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk memakmurkan, terlebih dahulu, rakyat Maluku terutama masyarakat yang berada di Pulau Saumlaki (wilayah NKRI yang berbatasan dengan Australia).

 

Caranya adalah dengan menghentikan segala macam model pembangunan yang andalkan ekspor bahan mentah tanpa nilai tambah apapun seperti yang dahulu menjadi road map pembangunan ekonomi Orde Baru. Sayangnya model ini masih coba untuk diterapkan oleh segelintir pengambil kebijakan di SKK Migas, pemberi rekomendasi, dan Kementerian ESDM, sebagai pemberi keputusan. Dalam PP no 35/2004, tentang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, pasal 50, ayat 1,2 disebutkan: (1) Menteri menetapkan kebijakan pemanfaatan Gas Bumi dari cadangan Gas Bumi dengan mengupayakan agar kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi secara optimal dengan mempertimbangkan kepentingan umum, kepentingan negara, dan kebijakan energy nasional; (2) Dalam menetapkan kebijakan pemanfaatan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mempertimbangkan aspek teknis yang meliputi cadangan dan peluang pasar gas bumi, infrastruktur baik yang tersedia maupun yang direncanakan dan usulan dari badan pelaksana.

 

Yoga Suprapto, mantan dirut Badak NGL, sekarang merupakan ahli dari Fortuga (Forum Tujuh Tiga ITB), dalam paparannya di KeRajawali Maritim, 22 Desember 2015, menyatakan bahwa INDONESIA BUKAN NEGARA YANG KAYA SUMBER DAYA ENERGI. Adalah mitos, bila masih ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa Indonesia kaya sumber daya alam energi.

 

Tersebutlah data yang menyebutkan bahwa cadangan minyak yang dimiliki Indonesia hanya 0,64% dari total cadangan minyak dunia, cadangan batubara Indonesia hanya 0,55% dari total cadangan batubara dunia, sedangkan cadangan gas “lumayan besar” yaitu hanya 1,53% dari total cadangan gas dunia. Sedangkan bila dihitung berdasarkan cadangan energi yang terbukti (dalam satuan BOE) Indonesia memiliki sebesar 3,9 miliar BOE, di antara-antara negara-negara pemilik sumber daya energi nilai ini hanya lebih baik dari Filipina (0,1 miliar BOE), Thailand (0,4 miliar BOE), Myanmar (0,1 miliar BOE), Papua Nugini (0,2 miliar BOE), Brunei (1,1 miliar BOE), Australia (1,5 miliar BOE) dan sedikit lebih buruk dari Malaysia (4 miliar BOE) dan Vietnam (4,4 miliar BOE).

Bandingkan dengan cadangan energi yang terbukti dimiliki oleh China (20 miliar BOE), Amerika Serikat (27 miliar BOE), Brasil (14 miliar BOE), Nigeria (37 miliar BOE), Rusia (60 miliar BOE), Iran (151 miliar BOE), Kanada (174 miliar BOE), Irak (143 miliar BOE), Saudi Arabia (267 miliar BOE), Venezuela (211 miliar BOE), Libya (47 miliar BOE), Kuwait (104 miliar BOE), dan Qatar (25 miliar BOE).

Seharusnya melihat kenyataan data yang dipaparkan, kebijakan energi nasional yang merupakan wewenang Kementerian ESDM tidaklah hanya berdasarkan keekonomian pengembangan lapangan gas saja, tetapi harus juga sudah mulai berpikir untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan mengembangkan perekonomian nasional terutama di Maluku dan Indonesia Timur demi terwujudnya Poros Maritim dan berjalannya amanat Pasal 33 UUD 1945. Bila kesempatan “emas” ini kita lewatkan, maka sekali lagi kita akan kembali kepada model pembangunan berbasis sumber daya alam ala Orde Baru.

 

Di mana gas alam dari Bontang dan Arun kini sudah kosong atau tinggal sedikit, karena puluhan tahun sejak 1970-an gas alam di wilayah-wilayah tersebut dibawa ke Jepang, Taiwan, dan Korea melalui Singapura, diproses di industri-industri mereka dan produksi turunannya harus kita impor kembali sebagai bahan yang nilainya berkali-kali lipat. Sebagai salah satu contoh, untuk pembuatan plastik bahan gelas air mineral, yang merupakan produk sampingan dari hilirisasi gas alam, sektor bisnis air mineral di Indonesia harus menghabiskan Rp100-an trilyun pertahun untuk mengimpornya dari Singapura. Dapat dibayangkan bagaimana bila di Indonesia dapat didirikan industri semacam ini, dapat dibayangkan betapa melesatnya kemakmuran masyarakat kita dengan keberadaannya.

 

Maka sangat wajar bila pada akhir September 2015, si Rajawali jago ngepret kembali menciptakan gaduh “putih” dengan mengepret pengesahan rencana proyek pengembangan/plan of development/POD FLNG (Floating LNG) untuk Blok Masela yang dijadwalkan adalah pada 10 Oktober 2015. Si Rajawali menyarankan agar Kementerian ESDM memilih opsi membangun OLNG (Onshore LNG) karena pertimbangan-pertimbangan yang sudah dipaparkan sebelum ini, mewujudkan Poros Maritim, Pasal 33 UUD 1945, dsb.

 

Seperti biasa, si menteri ESDM kembali melawan dengan mengatakan bahwa pihaknya lebih mempercayai rekomendasi SKK Migas (yang tentu menyuarakan kepentingan K3S pengembang Blok Masela, yaitu Shell dan Inpex) dalam memutuskan POD Blok Masela daripada saran dari si Rajawali. Syukurlah Presiden Jokowi segera turun tangan, dan meminta agar waktu pemutusan diundur karena dirinya juga tidak yakin dengan opsi FLNG. Karena tidak ingin kehilangan muka lagi (seperti dalam kasus perpanjangan kontrak Freeport), si menteri ESDM berkelit dengan menyarankan agar disewa konsultan asing untuk dapat menilai perbandingan kedua opsi FLNG atau OLNG. Sayangnya Presiden Jokowi akhirnya setuju dan meminta agar nanti pihak konsultan asing tersebut juga mempresentasikan hasil penilaian ahlinya kepada dirinya dan para menteri terkait.

 

Agak disesalkan juga, mengapa untuk memutuskan apa yang terbaik bagi bangsa dan rakyat Indonesia ke depan, masih juga harus mengandalkan asing. Bagaimanapun, bulan lalu, setelah melalui proses tender yang diadakan tim yang dibentuk Kementerian ESDM, dipilihlah kemudian Poten and Partners, lembaga konsultan asal Australia sebagai penilai yang ditunjuk. Kemungkinan besar, bila yang dikaji hanya aspek keteknikan migas dan keekonomian ladang gas tanpa mempertimbangkan pembangunan ekonomi masyarakat Maluku dan Indonesia Timur, maka si konsultan akan lebih merekomendasikan FLNG dibandingkan OLNG.

 

Sementara itu, para pendukung FLNG mulai menciptakan gaduh “hitam”, dari staf khusus si menteri ESDM yang menyerang Tim Fortuga sebagai kumpulan teman-teman, bukan ahli profesi, bukan organisasi resmi, dan tidak berbadan hukum. Si staf khusus menteri ESDM juga meragukan keahlian dari anggota Fortuga dan menduga terdapat kepentingan pribadi dan kelompok di dalam tubuh Fortuga.

 

Menyangkut ada tidaknya kepentingan pribadi atau kelompok, tentu dapat dinilai dari konten yang disuarakan oleh Fortuga dan konsistensinya kelak. Namun bila yang dipertanyakan adalah keahlian mereka, secara objektif komposisi dari Tim Fortuga adalah para lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kemudian menjadi praktisi-praktisi di perusahaan migas nasional dana asing yang memiliki pengalaman professional lebih dari 30 tahun (tanpa coba membandingkannya dengan si staf khusus menteri ESDM yang lulusan dari Institut Pertanian Bogor dan tanpa memiliki pengalaman teknis migas).

 

Kemudian terdapat pula sebuah perhimpunan yang bernama Konsorsium Maritim Indonesia (KMI), terdiri dari rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), PT PAL, BPPT, dll yang membela-bela FLNG dengan menghubungkannya dengan kebangkitan industri maritim dan Poros Maritim (?). Apakah mereka tidak tahu bahwa untuk pembangunan FLNG untuk ladang Prelude di Australia, negara yang kemajuan ilmu dan teknologinya melebihi Indonesia (sehingga kita harus menyewa konsultan asing dari sana), masih dilakukan seluruhnya di galangan kapal Samsung di Korea Selatan. Faktanya teknologi FLNG pertama yang akan beroperasi di dunia ini belum ada, paling cepat baru tahun 2017 nanti.

Sedangkan untuk OLNG, para insinyur Indonesia telah memiliki pengalaman membangun lebih dari 10 kilang selama beberapa puluh tahun terakhir. Dari KMI sendiri mempertanyakan keamanan pipa gas yang dibangun di bawah laut antara Masela hingga Saumlaki dari ancaman gempa. Namun hal ini, potensi gempa di jalur pipa gas, terbantahkan karena berdasarkan Journal of Geophysical Research diterangkan bahwa dalam 100 tahun terakhir tidak terdapat satu pun gempa yang terjadi di wilayah antara Masela-Saumlaki.

 

Ada pula serangan berasal dari akun anonym di social media yang menyebutkan bahwa proyek OLNG ini akan menguntungkan grup bisnis Bakrie karena seluruh perpipaan bawah laut Masela akan mereka suplai. Hal ini lagi-lagi terbantahkan, karena kenyataannya belum ada satupun perusahaan nasional yang mampu memproduksi pipa gas dengan spek yang cocok untuk di Masela. Jadi pipa-pipa gas bawah laut nanti semua akan diimpor. Yang terakhir, yang perlu diketahui oleh publik adalah bahwa belum lama ini negara tetangga kita Timor Leste yang memiliki ladang gas Sunrise, yang jaraknya hanya beberapa ratus km dari laut Masela, telah menolak pemakaian teknologi FLNG untuk diterapkan dan lebih memilih OLNG demi memacu pembangunan industrialisasi di negara tersebut.

 

TINGKATKAN REVOLUSI MENTAL UNTUK MENYINGKIRKAN BIANG GADUH HITAM

Kami memandang bahwa konsep Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi 2014 dan Reformasi Total yang diperjuangkan Kaum Pergerakan 1998 tidak dapat dipisahkan. Mungkin inilah yang menyebabkan secara alamiah banyak aktivis pergerakan 1998 yang bergabung mendukung pemerintahan Jokowi kini. Artinya secara sadar para aktivis ini menggantungkan harapan untuk menyelesaikan proses Reformasi secara Total di gerbong Revolusi Mental Presiden Jokowi. Salah satu perjuangan utama dari Reformasi Total adalah menghapuskan KKN peninggalan Orde Baru yang akar-akarnya sangat sulit dicerabut dari lembaga trias politica kita, lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Sangat sulit untuk memberantas mentalitas KKN bila para pemimpin publik di ketiga lembaga tersebut, yang seharusnya menjadi teladan ternyata malah ikut serta. Yang menyedihkan, akibatnya banyak dari generasi muda juga yang telah “teracuni” oleh mentalitas KKN ini, ironisnya sebagian dari mereka dulunya merupakan pejuang Reformasi 1998.

 

Kita akan ulas beberapa kasus KKN yang masih hangat, contohnya dalam kasus korupsi tiga kasus dana bansos gubernur Sumut. Kasus ini melibatkan sekaligus ketiga lembaga trias politica, yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Dari pihak yudikatif terdapat jaksa PTUN Sumut yang terima suap 27 ribu dollar AS dan 5 ribu dollar SGD dan pengacara yang sudah menjadi tersangka. Si pengacara yang tertangkap basah menyuap, kebetulan menempati posisi sangat terhormat di Partai Nasdem (yang mengusung jargon Perubahan). Kemudian saat salah satu kasus yang menjerat gubernur Sumut tersebut hendak dibawa ke Jaksa Agung, isteri si gubernur menyuap anggota legislatif yang juga merupakan sekjen Partai Nasdem sebesar Rp 200 juta untuk membantu mempermudah penyelesaian kasus dengan jaksa agung yang juga berasal dari Partai Nasdem.

 

Menurut pengakuan dari saksi di pengadilan, jaksa uang juga menerima suap sebesar 20 ribu dollar AS untuk jasanya mempermudah penyelesaian kasus. Bahkan, kabarnya ketua umum Partai Nasdem juga ikut terlibat di pemufakatan jahat ini dengan imbalan proyek Pemda Sumut. Jika kita analisa, partai politik baru semacam Nasdem yang cukup fenomenal karena perolehan suara pada Pemilu 2014 yang signifikan, sebesar 6,7% (peringkat 8 dari 12 kontestan pemilu), yang berhasil memperoleh dukungan rakyat Indonesia yang berharap akan “Perubahan”, ternyata baru setahun memimpin sudah pula terhinggapi mentalitas KKN Orde Baru.

 

Sebagai pemimpin tertinggi dari kampanye Revolusi Mental, Presiden Jokowi sudah selayaknya mencopot si jaksa agung yang berasal dari Partai Nasdem karena selain integritas pribadi si jaksa agung sudah bermasalah di publik, hal ini perlu dilakukan untuk menghukum Partai Nasdem agar dapat lebih instropeksi diri dan melakukan otokritik. Syukurlah sampai sejauh ini tidak ada upaya dari Partai tersebut (ataupun media massa yang terafiliasi dengannya) untuk semakin memperkeruh keadaan dengan menciptakan gaduh-gaduh “hitam”. Untuk penggantinya, sebaiknya dipilih jaksa agung dari figur yang bersih, berani, dan mampu menjalankan Revolusi Mental di internal lembaganya.

 

Kemudian kasus “Papa Minta Saham”, yang coba kembali diulas di sini untuk memberikan contoh bagaimana lembaga legislatif pun dipimpin oleh politisi yang masih bermental KKN semacam SN. Sungguh sulit dipercaya, bahwa seorang ketua lembaga DPR yang terhormat dapat berkolaborasi dengan MRC, pengusaha yang selama bertahun-tahun dicap sebagai “mafia migas” (gelar yang secara konsisten dilakoninya hingga kini menghilang dari jangkauan hukum), menjadi makelar perpanjangan kontrak Freeport dengan imbalan saham, kemudian tidak diberhentikan dari anggota DPR. Bagaimana mungkin seorang anggota DPR yang sudah diragukan integritasnya dapat terus menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan DPR: pengawasan, legislasi, dan penganggaran?

 

Apa jaminan diri SN tidak akan kembali mengulangi modus operandinya menggunakan kekuasaannya sebagai anggota DPR untuk kepentingan bisnis diri dan kelompoknya? Bilapun kemudian Golkar Ical tetap mempertahankan SN sebagai anggota DPR, biarlah nanti rakyat pemilihnya yang akan menghukum (kabarnya pada Pilkada serentak 2015 kemarin, rakyat sudah mulai menghukum Golkar dengan sangat sedikitnya kemenangan yang diraih). Jangan malah pimpinan DPR dikembalikan kepada Golkar lagi, partai yang sudah semakin merosot citranya. Bagi kami, untuk mengembalikan kewibawaan lembaga DPR sudah selayaknya pemimpin DPR dikocok ulang (tentu dengan mengubah UU MD3) sehingga politisi-politisi yang menjadi pimpinannya berasal dari partai pemenang pemilu dan pilpres yang paham Revolusi Mental.

 

Yang terakhir dan yang paling penting adalah lembaga eksekutif, yang seharusnya menjadi soko guru dari Revolusi Mental. Bila ternyata para pejabat publik di kabinet sangat jarang berbicara tentang Revolusi Mental, kemudian kelakuannya juga malah bertentangan dengan Revolusi Mental, maka ybs sudah selayaknya masuk daftar reshuffle di awal tahun 2016. Selain si menteri ESDM yang memang sangat layak direhuffle karena merupakan biang gaduh “hitam”, menurut pandangan berbagai pengamat, aktivis, dan politisi, posisi lain yang sangat layak untuk direshuffle juga adalah menteri BUMN. Gerakannya memang terkesan sangat rapi, tidak tercium, tapi sudah menjadi pengetahuan publik bahwa ybs cukup aktif melakukan KKN, memanfaatkan posisinya di kekuasaan untuk memperbesar jaringan bisnis keluarganya. Beberapa proyek yang nyaris memperkaya diri dan keluarga si menteri BUMN sudah kena kepret oleh si Rajawali jago kepret.

 

Sebut saja rencana pembelian pesawat boeing A350 oleh Garuda Indonesia yang kabarnya menghasilkan fee proyek cukup besar bagi si menteri BUMN; atau rencana pembangunan pipa BBM sepanjang pulau Jawa oleh Pertamina dengan nilai proyek mencapai 5 milyar dollar AS, yang kabarnya memperkaya kakak kandung si menteri BUMN. Pastinya karena dua proyek ini batal akibat dikepret si Rajawali, si menteri BUMN kemudian menjadi salah satu tokoh yang paling aktif menjadi biang gaduh “hitam”. Salah satunya adalah proyek perpanjangan kontrak JICT ke asing, yang meskipun sudah berkali-kali dikepret, baik oleh si Rajawali maupun Pansus Pelindo di DPR, maupun oleh Serikat pekerja JICT, namun masih tetap berlanjut karena operator utama dari perpanjangan kontrak ini sebenarnya adalah adik kandung si menteri BUMN.

 

Biang terbesar atau raja dari gaduh “hitam” itu sendiri tak lain adalah Wapres JK. Jangankan menghayati makna Revolusi Mental, mengucapkannya di depan publik saja sepertinya belum pernah. Dalam berbagai kasus seperti Pelindo II, Freeport, maupun proyek 35 ribu MW sangat jelas terlihat dirinya memasang badan dan menantang Presiden. Mentalitas anti KKN sepertinya tidak pernah benar-benar dipahaminya. Mungkin, dalam istilah sekalangan aktivis progresif, tipe-tipe politisi semacam Wapres JK inilah yang disebut sebagai Reformis Gadungan.

 

Memang proses untuk menyingkirkan dirinya dari kabinet terbilang yang paling sulit (bukan mustahil) secara politik, tapi celah itu ada pada rencana dibentuknya Pansus Freeport. Kalaupun tidak bisa disingkirkan ya seminimalnya geraknya harus dibatasi, informasi-informasi proyek pemerintahan tidak boleh ditembuskan ke kantor Wapres- untuk menghindari peluang terjadinya KKN. Sudah sewajibnya juga KPK dan Kejaksaan mulai mengawasi gerak-gerak seluruh tamu untuk staf di kantor Wapres, karena kabar yang berkembang menyebutkan di kantor tersebut jamak dilakukan transaksi suap jual beli jabatan. Dalam memilih menteri-menteri baru untuk reshuffle-reshuffle yang akan datang, praktis Wapres tidak memiliki kewenangan sama sekali (karena terbukti hasil pilihannya di pembentukan kabinet Oktober 2014 banyak bermasalah). Kalau bisa, fungsi Wapres harus diperjelas, yaitu hanya untuk menggantikan Presiden dalam berbagai acara diplomatik dan kekeluargaan bila berhalangan.

 

Berikut ini adalah gambaran (sumber: investigasi Ir. Abdulrochim, aktivis 77/78) bagaimana KKN keluarga Wapres JK beroperasi:

  1. Yang membuat kekayaan Bukaka dan Bosowa naik hingga 600% pada era SBY tak lain adalah diputihkannya utang mereka di bank-bank plat merah oleh menteri keuangan saat itu;
  2. Wapres JK pada masa lalu pernah membela dua orang menteri hukum, Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra, ketika terbongkar menggunakan rekening kementerian hukum untuk menampung uang haram Tommy Suharto dari BNP Paribas;
  3. Wapres JK pernah memaksa agar Bukaka dapat proyek PLTA 620 MW di Ussu, Kabupaten Luwu Timur, senilai Rp 1,44 trilyun;
  4. Wapres JK pernah memaksa agar Bukaka dapat proyek PLTA 780 MW di Poso senilai lebih dari Rp 2 trilyun;
  5. Wapres JK yang memperbolehkan Bukaka kerjakan pembangunan PLTA 25 MW di Kolaka meskipun tanpa disertai AMDAL;
  6. Wapres JK yang berikan proyek dan izin pembangunan jaringan SUTET di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara meskipun tanpa disertai AMDAL;
  7. Wapres JK yang paksa Bukaka dapatkan proyek PLTA Asahan III 200 MW tapi akhirnya mangkrak dan merugi sehingga diambil alih oleh PLN;
  8. Wapres JK yang paksa PT Bukaka Barelang Energy dimenangkan dalam pembangunan pipa gas alam US$ 750 juta, sarat KKN dan culas;
  9. Wapres JK yang paksakan Bukaka menang dlm proyek PLTG US$ 92 juta Pulau Sembilang, Batam meski sebenarnya tdk layak menang;
  10. Wapres JK yg paksakan seluruh BPD se Indonesia harus biaya proyek 19 PLTA 10.000 MW, yg sangat bahayakan ekonomi nasional;
  11. Wapres JK yang paksakan Bukaka menangkan proyek PLTG Sarulla, Tarutung, Sumut, 300 MW yg terkatung2 dan bunting;
  12. Wapres JK yang akan kerjakan 19 proyek dgn dana murah BPD se Indonesia yg akan dimenangkan Bukaka, Bosowa , dan Intim (Halim Kalla);
  13. Wapres JK yang paksakan Bosowa mendapat proyek PLTU Jeneponto di Sulsel, tanpa tender;
  14. Wapres JK yang paksakan Intim (Halim Kalla) menang proyek PLTU 3 x 300 MW di Cilacap, dgn batubara dipasok dari tambang milik Halim;
  15. Konglomerasi JK melesat bak meteor dgn modus KKN: Bhakti Centra Baru (Bukaka Agro; Bukaka Asia Investment Ptd; Bukaka Barelang Energy; Bukaka Building Const; Bukaka Investindo; Bukaka Marga Utama (bangun/kelola Ciawi - Sukabumi toll road, Pasuruan - Probolinggo tol road).

Monopoli energy Proyek PLTA/PLTU/PLTG Kalla Group Sulawesi Selatan :

  1. PLTA Karama, Mamuju Rp 6 T;
  2. PLTA Ussu, Lutim (Bukaka Group);
  3. PLTA Pinrang Rp 1,44 T (Bukaka Group);
  4. PLTA Jeneponto (Bosowa) Sulawesi Tengah;
  5. PLTA Poso I, II, III Rp 3 T (Kalla Group), namun masyarakat sekitar tidak mendapat pasokan listrik karena dialihkan ke Sulsel dan Sulbar;
  6. PLTA Pintu Pohan, Sumut (PT Bukaka Barelang Energy-Achmad Kalla);
  7. PLTA Asahan, Sumut (PT Bukaka Barelang Energy-Achmad Kalla);
  8. PLTG Sarulla, Tarutung, Sumut (PT Bukaka Barelang Energy-Achmad Kalla);
  9. PLTG Pulau Sembilang, Batam US$92jt (PT Bukaka Barelang Energy-Achmad Kalla);
  10. PLTA Merangin, Kerinci, Jambi US$700jt (Kalla Group)Pulau Jawa;
  11. PLTU Cilacap, Jateng (Intim Group-Halim Kalla).‎

Selain KKN, persoalan mental yang cukup penting untuk dituntaskan adalah feodalisme dan primordialisme. Feodalisme terwujud dalam mentalitas anti kesetaraan, senioritas, dan anti kritik, yang masih kerap ditemui baik di lembaga pendidikan maupun di pemerintahan, membuat masyarakat kita menjadi sulit untuk maju. Sedangkan primordialisme terwujud dalam mentalitas kedaerahan, kesukuan, keagamaan, yang menyebabkan masyarakat kita sulit bersatu menjadi satu Bangsa besar yang menghargai perbedaan. Demikianlah kira-kira apa yang harus dilakukan dalam perjalanan Revolusi Mental ke depannya. Mari terus kita tingkatkan Revolusi Mental di tahun yang baru ini!

"Selamat Tahun Baru 2016!"

Ikuti tulisan menarik Eldistri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu