x

Iklan

Qosim Nursheha Dzulhadi, MA

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gagal Membela LGBT (Catatan untuk Mun’im Sirry)

Pandangan Mun’im Sirry jauh menyimpang dari pertanyaannya tentang LGBT: “Apa dasar agama tidak melegitimasinya?” Ada lompatan logika.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mun’im Sirry (MS), dosen di Universitas of Notre Dame, AS, menulis artikel berjudul “Islam, LGBT, dan Perkawinan Sejenis” (Koran Tempo, Rabu, 2 Maret 2016). Berikut ini sejumlah catatan saya:

Pertama, MS menulis, “Dalam buku teks pelajaran Islam, Kementrian Pendidikan Arab Saudi menggambarkan “homoseksualitas” sebagai berikut: “Salah satu dosa paling menjijikkan dan pelanggaran terbesar: Allah tidak pernah mengazab suatu umat sebagaimana azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth. Dia menghukum mereka dengan hukuman yang tak dialami umat lain. Homoseksualitas merupakan perbuatan bejat yang berlawanan dengan tabiat alamiah.”

Pandangan MS di atas jauh menyimpang dari pertanyaannya tentang LGBT: “Apa dasar agama tidak melegitimasinya?” Ada lompatan logika MS yang sangat akrobatik: dari pertanyaan mengenai LGBT melompat ke pandangan Arab Saudi tentang apa itu homoseksualitas. Padahal, pandangan mengenai apa itu homoseksualitas adalah kesimpulan dari ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa homoseksualitas kaum nabi Luth adalah fahisyah (perbuatan keji) yang belum pernah dilakukan oleh umat sebelum mereka (Qs. 29:28).  

Kata fahisyah, menurut Imam al-Baydhawi (w. 691 H) adalah al-fi’lah al-mubalighah fi al-qubh (perilaku yang sangat buruk). Dan itu belum pernah dilakukan umat sebelum mereka. Itu mereka lakukan karena rusaknya moral mereka. (Tafsir al-Baydhawi, 4/193). Pun disebut fahisyah karena mereka melakukannya tidak sendirian, melainkan berjamaah. (Syekh Mutawally al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, 18/11141). 

Imam az-Zamaksyari dari kalangan Mu’tazilah pun menyatakan bahwa perbuatan kaum Luth memang tidak pernah dilakukan oleh umat sebelumnya. Karena mereka merasa jijik dan homoseksualitas itu sungguh menjijikkan. Namun kaum Luth melakukannya karena bejatnya moral mereka. (Imam al-Zamaksyari, al-Kasysyaf, 4/546).

Jadi, tidak tepat, logika MS yang  mengkritik kitab pelajaran agama di Saudi Arabia, tetapi menolak ayat-ayat Al-Quran yang tegas mengatakan bahwa memang perbuatan kaum Nabi Luth benar-benar keji dan menjijikkan. 

Kedua, penafsiran MS sangat liar. Ketika menyebut firman Allah, “Mengapa kamu mendatangi laki-laki diantara ciptaan dan malah meninggalkan istri-istrimu yang Tuhan ciptakan untukmu?”(Qs.26:165-166), MS menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mendatangi laki-laki adalah melampiaskan nafsu”. Kemudian MS menyimpulkan: “Berarti bahwa hubungan seks mereka terjadi di luar nikah.” Seolah-olah, jika homoseksual itu dilakukan setelah nikah maka itu legal, sah, dan tidak dapat dipersalahkan. 

Bahkan, MS mengaitkan bahwa yang hadir ke kota kaum Luth adalah para pelancong, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan bentuk “perkosaan”. Ini justru makin keliru, karena Nabi Luth -- ketika dua orang malaikat datang ke rumahnya --  kaumnya sangat “selera” untuk mengggauli mereka. Tapi kemudian Nabi Luth dengan sangat bijak menawarkan anak perempuannya. Karena itu lebih tepat untuk menjagai kesucian mereka. Namun mereka menolak: lebih memilih tamu laki-laki Nabi Luth daripada anak perempuannya (Qs.11: 78-79). 

Jelas bahwa disitu ada penyimpangan seksual kaum Luth. Tidak mungkin Nabi Luth tidak menawarkan anaknya untuk dizinahi. 

Ketiga, memfitnah ulama. Setelah mengkritik penafsiran ulama Saudi, MS menguatkan pandangannya dengan pendapat Imam Ibn Hazm (w. 1064 H) dalam al-Muhalla, meskipun tidak mendukungnya. Menurut MS, Imam Ibn Hazm tidak mengaitkan azab yang turun dengan homoseksualitas, tetapi karena menolak ajakan Nabi Luth dan misi kenabiannya. MS tidak menjelaskan misi kenabian Luth. Pandangan MS ini mirip dengan Irshad Manji, seorang lesbian dan pegiat lesbianisme. (Irshad Manji, Allah, Liberty and Love, Terj. Meithya Rose Prasetya (Jaksel: Renebook, 2012: 132).

Padahal, salah satu misi kenabian Luth adalah: melarang perilaku homoseksual itu. Karena itu nabi Luth menawarkan putrinya karena lebih layak mereka nikahi, hunna athar lakum (Qs.11:78) namun mereka lebih selera kepada laki-laki (Qs.11:79). Artinya, perilaku mereka memang menyimpang dan bertentangan dengan fitrah. Makanya dalam Al-Quran perilaku mereka disebut dalam banyak istilah: fahisyah (Qs.29:28; munkar (Qs. 29:29); mufsid (merusak, Qs.29:30); musrif (terlalu, Qs.7:81, 51:32-34); mujrim (Qs.8:84); jahil (Qs.27:55).

Dan, Ibn Hazm menyatakan bahwa ada kaitannya antara azab dengan homoseksual. Dalam al-Muhalla beliau menjelaskan bahwa homoseksual itu bagian dari dosa besar (al-kaba’ir), perbuatan keji yang diharamkan seperti daging babi, bangkai, darah, khamar, zina, dan maksiat lainnya. Siapa yang menghalalkannya atau menghalalkan sebagian dari itu semua, maka dia kafir dan musyrik: halal darahnya dan hartanya. (Ibn Hazm, al-Muhalla: 11/380-masalah 2299).

Dan mengenai azab yang turun kepada mereka, Imam Ibn Hazm menegaskan bahwa azab itu turun memang bukan hanya homoseksual, melainkan karena kekufuran. Buktinya, istri nabi Luth juga “kena getahnya”(al-Muhallai: 11/384). Ini artinya, azab itu turun salah satunya karena homoseksual. Di sini MS keliru lagi. 

Itulah pandangan ulama Islam sepanjang zaman terkait dengan homoseksual.  Sungguh keliru,  jika dasar membolehkan LGBT adalah maslahat. Maslahat untuk siapa? Apa setiap pelampiasan hawa nafsu yang mendatangkan kepuasan hayawaniyah bisa dikatakan maslahat? Pelacuran pun membawa “maslahat” untuk germo. Korupsi juga membawa maslahat untuk koruptor dan keluarganya. Khamr juga ada maslahatnya! Tapi mudharatnya lebih besar. Karena itu diharamkan.

Juga, akal sehat menunjukkan, 1400 tahun lebih para ulama bersepakat tentang haramnya homoseksual. Maka, sepatutnya kita lebih cermat dan hati-hati dalam berpikir. (***)

*) Penulis adalah alumnus al-Azhar Kairo dan Magister Aqidah Unida Gontor dan pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan

KETERANGAN FOTO: Spanduk penolakan kaum lesbi dan homo yang ditempel oleh sejumlah ormas Islam di kawasan Gempol Sari, Bandung, Jawa Barat, 27 Januari 2016. TEMPO/Prima Mulia

Ikuti tulisan menarik Qosim Nursheha Dzulhadi, MA lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu