x

Ekspresi Menteri Susi Pudjiastuti, dalam konferensi pers setelah pertemuan dengan pejabat kedutaan Cina di Jakarta, Indonesia, 21 Maret 2016. karena intervensi ini, pemerintah berencana membawa sengketa wilayah maritim tersebut ke pengadilan internas

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Laut Kita Kalut

Pencuri ikan di perairan Indonesia membuat Panglima Komando Wilayah Pertahanan Sumatera Mayjen TNI Widodo geram. Kejadian itu dianggap ancaman subversif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak terpengaruh oleh surat yang dikirim Wakil Presiden Jusuf Kalla. Surat tertanggal 22 Maret 2016 itu meminta Susi mengevaluasi moratorium kapal ikan asing, larangan transshipment, dan pengaturan sertifikasi kapal yang menyebabkan ribuan kapal berhenti beroperasi. "Semua sudah sejalan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni peraturan presiden tentang daftar negatif investasi di sektor perikanan," ucap Susi.

Menurut dia, kebijakannya menyetop izin kapal ikan asing (moratorium) dan larangan pemindahan muatan di laut (transshipment) berkaitan dengan upaya memberantas penangkapan ikan secara ilegal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Susi menduga Kalla mendapat informasi yang keliru dari pengusaha di pusat dan di daerah yang selama ini menangkap dan mengolah ikan dengan cara tidak benar. Praktek selama puluhan tahun itu merugikan nelayan tradisional dan industri perikanan di Tanah Air.

Konflik antara nelayan tradisional dan pengusaha penangkap ikan telah berlangsung lama. Majalah Tempo edisi 10 November 1973 menuliskannya di rubrik nasional dengan judul "Pukat Daerah & Jaring Nelayan, di Laut Kita Kalut".

Tulisan dibuka dengan perintah Gubernur Jakarta Ali Sadikin kepada anak buahnya untuk membongkar bagan (rambu penangkap ikan) milik nelayan di Teluk Jakarta. Alasannya, perangkap ikan mengganggu lalu lintas laut yang semakin ramai. Nelayan memprotes dan menuduh pemerintah tidak memihak kepada masyarakat kecil.

Sebelumnya, protes serupa banyak terjadi di sejumlah daerah. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah pusat yang membuka pintu bagi penanaman modal di bidang perikanan pada 1968. Undangan itu disambut pengusaha dalam negeri dengan mengoperasikan kapal besar beserta alat tangkap modern yang dikenal sebagai pukat harimau (trawl). Pemerintah juga mengeluarkan izin bagi kapal-kapal asing untuk mengambil ikan di perairan Nusantara.

Kebijakan itu mendapat tentangan dari nelayan tradisional. Misalnya yang dilakukan nelayan di sekitar Laut Maluku, yang tidak senang dengan hadirnya kapal-kapal penangkap ikan Jepang yang telah mendapat izin dari pemerintah pusat. Di Sumatera Utara dan Aceh, pukat harimau merajalela di lautan. Menghadapi penjarahan ini, Gubernur Sumatera Utara Marah Halim mengirimkan delegasi dengan nama yang cukup aneh ke berbagai instansi pemerintah di Jakarta, yaitu Badan Perjuangan Penertiban Pukat Harimau.

Masalah lain, nelayan asing tak berizin juga nekat mencuri ikan di perairan Indonesia, misalnya di Maluku dan Selat Malaka. Aksi itu membuat geram Panglima Komando Wilayah Pertahanan Sumatera Mayjen TNI Widodo. Dia mengundang Duta Besar Indonesia di Malaysia dan Singapura serta semua musyawarah pimpinan daerah tingkat I Sumatera untuk rapat di Medan. Menurut dia, kejadian-kejadian itu sebagai ancaman subversif. Dia kemudian meresmikan terbentuknya Satuan Tugas Kamla-2, yang bertugas melakukan pengamanan di perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.

Widodo juga meminta Direktur Jenderal Perikanan Departemen Pertanian Nizam Zahman membantu melakukan penertiban. Nizam menjelaskan, Hankam dan penguasa pelabuhan memang menindak kapal yang melanggar batas perairan. Rupanya, ada masalah lain, yaitu sedikitnya jumlah kapal patroli cepat untuk menghalau atau menangkap para pelanggar itu. Selain itu, tidak mudah membedakan kapal asing mana yang memang mendapat izin penangkapan dan mana yang berniat mencuri. "Kalau memang ada pelanggaran, seharusnya terus ditembak kalau tak sempat ditangkap," kata Nizam Zahman, yang berpangkat Laksamana Muda TNI Angkatan Laut.

Nizam menjelaskan, jika operasi kapal trawl di perairan dekat pantai yang terlarang, perkaranya terpulang kepada pemerintah daerah yang mengeluarkan izin. "Saya hanya memegang policy. Izin ditentukan pemerintah daerah, sedangkan pengawasan ada di tangan Hankam dan Pelabuhan," katanya. Dia mengingatkan kembali soal Rancangan Undang-Undang Perikanan yang sudah disampaikan kepada DPR sejak 1969.

Tulisan ini terbit di rubrik Tempo Doeloe majalah Tempo edisi 4 April 2016

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu