x

Ketua DPR RI Ade Komarudin (kedua kanan) didampingi Sekjen DPR RI Winantuningtyastiti Swasanani (kiri) saat meninjau sarana dan prasarana di Gedung DPR-MPR RI, Jakarta, 31 Januari 2016. Selain meninjau perkembangan proyek renovasi, Ade meninjau keber

Iklan

Antoni Putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perpustakaan Megah DPR: Memaksakan Kehendak dalam Kekurangan

Apa gunanya perpustakaan? Mengapa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ingin membangun perpustakaan? Apakah perpustakaan yang ada tidak mencukupi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa gunanya perpustakaan? Mengapa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ingin membangun perpustakaan? Apakah perpustakaan yang ada tidak mencukupi? Pertanyaan itu muncul setelah adanya rencana pembangunan gedung baru di kompleks parlemen.

Perpustakaan merupakan gudang ilmu, dan kodratnya senantiasa dibutuhkan. Tidak ada yang salah bila setiap orang menginginkan adanya perpustakaan di kompleks tempat mereka bekerja. Begitu juga di kompleks parlemen. Perpustakaan dapat menjadi rujukan untuk menciptakan peraturan perundang-undangan yang lebih baik.

Namun, rencana pembangunan sebuah perpustakaan terasa aneh bila dilakukan ditengah kekurangan. Bagaimana tidak, anggaran yang superfantastis dan perpustakaan yang telah ada pun jarang dikunjungi membuat rencana pembangunan perpustakaan baru tidak ubahnya program pemborosan dari DPR.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rencana pembangunan perpustakaan di kompleks DPR sepertinya merupakan cerita lama yang dikemas dalam kemasan berbeda. Sebelumnya DPR harus gigit jari menerima kebijakan pemerintah melakukan moratorium kebijakan pembangunan gedung baru di kementerian dan lembaga. Hal ini dilakukan karena negara kekurangan biaya untuk memenuhi pengeluaran yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.

Baru berjalan dua minggu semenjak kebijakan pemerintah tersebut, kini dengan alasan agar lebih intelek, pembangunan pun kembali direncanakan. Pembangunan itu diperkirakan menghabiskan dana Rp 570 milyar. Tidak hanya perpustakaan, bila disetujui didalam gedung baru yang dibangun itu nantinya juga terdapat ruang kerja DPR dan tenaga ahli.

Barter Politik

Bila pemerintah menyetujui pembangunan gedung baru tersebut, Sebagai gantinya DPR berjanji akan melakukan pembahasan RUU Pengampunan Pajak yang digadang-gadang dapat meningkatkan pendapatan negara sebesar Rp 1360 triliun. Namun pertanyaan yang muncul adalah apakah pantas DPR melakukan pertukaran kepentingan dalam melakukan pembahasan RUU?

Bila kita cermati, sejak awal RUU Pengampunan Pajak sangat kental dengan nuansa politik. Dalam hal ini DPR seperti tidak menjalankan fungsi legislasi dan anggaran sebagaimana seharusnya, tetapi mereka menjalankannya demi kepentingan prakmatis institusi tanpa menghiraukan masyarakat yang diwakili.

Kita dapat cermati perkembangan pembahasan RUU ini sejak awal direncanakan. Pertama, saat RUU KPK disetujui pemerintah untuk dibahas, DPR pun bersedia melakukan pembahasan RUU pengampunan pajak, tetapi saat RUU KPK diputuskan ditunda, pembahasan RUU Pengampunan Pajak pun ditunda.  Kedua, bila pemerintah menyetujui pembangunan gedung baru DPR, mereka pun menjamin pembahasan RUU Pengampuan Pajak dilancarkan.

Hal ini seperti mempertontonkan praktek jual-beli atau barter sebuah kebijakan. Keinginan pemerintah akan dipenuhi bila kehendak DPR dipenuhi. Hal ini tentu saja hanya akan memperburuk citra DPR dimata publik. Sebab mereka lebih mengutamakan kepentingan prakmatis institusi daripada melakukan pembahasan RUU yang menyangkut program kesejahteraan rakyat.

Belum Mendesak

Pembangunan perpustakaan besar di kompleks parlemen bukanlah kebutuhan yang mendesak. Sebab masih banyak kebutuhan lain yang harus lebih utamakan. Apalagi dengan kondisi negara kekeurangan anggaran tahun ini 290 triliun.

Keinginan DPR untuk membangun perpustakaan disaat negara kekurangan anggaran merupakan bentuk pemaksaan kehendak ditengah kekurangan. Belum saatnya perpustakaan itu dibangun, karena sesungguhnya DPR telah memiliki perpustakaan yang memiliki koleksi 25.060 buah buku. Namun sangat jarang sekali dikunjungi. Berdasarkan data oktober tahun lalu, perpustakaan itu hanya dikunjungi oleh 90 orang pengunjung, dan itu pun bukan anggota DPR. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan bahwa perpustakaan dengan anggaran Rp 200 juta per tahun  itu sebagai perpustakaan kelas RT( Media Indonesia 30/3).

Sepertinya DPR berfikir dengan logika yang aneh. Katanya membangun perpustakaan besar agar nantinya dapat menjadi simbol intelektual bangsa, tetapi apakah koleksi buku tanpa dibaca mampu mencerdaskan pemikiran anggota DPR? Saya rasa tidak. Memang buku merupakan surganya ilmu dan sumber ilmu pengetahuan. Namun bila koleksi buku yang sedikit saja dibiarkan ber-abu karena tidak dibaca, apalagi bila banyak dan menumpuk. Nantinya DPR bukannya membaca, namun akan asyik menghitung dang mengamati saja, Bermain-main dan foto-foto karena gedungnya besar dan bagus.

Perbaiki Kinerja

DPR seharusnya tidak memaksakan kehendak prakmatis konstitusi, tetapi berusaha dengan baik menjalankan Funsi legislasi dan Anggaran. Sebab bila target tercapai dan kinerja memuaskan, maka pembangunan gedung baru akan senantiasa mendapat dungungan publik.

Sebagai contoh kita dapat belajar dari pengalaman masalalu, yaitu saat DPR menolak pembangunan gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akibatnya publik pun tanpa disuruh memberikan dukungan secara sukarela untuk membangun gedung baru. Bahkan sampai ada gerakan pengumpulan koin untuk KPK. hal ini terjadi karena kinerja KPK memuaskan publik dan keberadaanya telah senantiasa berada dihati.

Oleh sebab itu DPR harus memperbaiki kinerja terlebih dahulu, baru meminta fasilitas yang lebih memadai. Sebab fasilitas yang ada sekarang itu sudah cukup dan terbukti mampu menjadi tempat bekerja. Meski tidak semewah yang dicita-citakan, tetapi tetap bisa membuat anggota DPR tertidur saat sidang.

Kemudian soal perpustakaan, bagaimana DPR mampu menjadikan pustaka sebagai acuan dalam membuat Undang-Undang yang lebih baik bila minat baca tidak ada. Ada atau tidaknya perpustakaan besar, saya yakin produk Peraturan Perundang-Undangang yang diahsilkan tetap sama. Karena sejatinya fasilitas bukanlah alasan bagi DPR untuk tidak membaca. Walaupun gedung perpustakaan yang sekarang tidak begitu besar, tetapi didalamnya tetap terdapat ilmu yang banyak. Bukan gedung yang harus dibangun kembali, tetapi bagaimana pengelolaannya yang harus ditingkatkan. Sebab perpustakaan kecil pun tidak akan kalah hebatnya dibandingkan perpustakaan yang besar bila dikelola dengan baik.

Ikuti tulisan menarik Antoni Putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu