x

Iklan

Kamaruddin Azis

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyoal Argumentasi CPI Makassar

Artikel ini adalah tanggapan atas opini “Apa dan Mengapa CPI?” oleh Ambo Tuwo di Harian Fajar, Makassar, 25 April 2016

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Klarifikasi bernuansa pasang badan Ambo Tuwo, tim pakar Gubernur di opini Apa dan Mengapa CPI, Fajar, 25/04/2016 menggelitik karena dua alasan. Pertama, pujiannya telah menutup analisis obyektif dalam mengurai prinsip dan kerangka operasional pembangunan seimbang ekologi, sosial-ekonomi. Kedua, ada Guru Besar Unhas secara terbuka menjustfikasi hasrat individu ketimbang mengelaborasi substansi kebutuhan kolektif daerah.

Ahli teripang lulusan Perancis ini mencatat, “Pengembangan kawasan CPI berangkat dari keinginan SYL yang ingin menjadikan Sulsel sebagai simpul jejaring, dan pusat pertumbuhan baru di Indonesia. Ide beliau dilandasi dua pemikiran. Pertama, Sulsel harus menjadi pilar ekonomi bangsa. Kedua, pewarisan landmark oleh generasi terdahulu harus dilanjutkan dengan membangun landmark baru Sulsel.” Pengulangan kata ‘ingin’ mengesankan CPI adalah kehendak SYL.

Janggal sebab kalimatnya rentan mendegradasi prinsip partisipatoris yang kerap didengungkan SYL. Membangun Sulsel adalah pengejawantahan aspirasi publik. Esensi kepemimpinan adalah memfasilitasi perencanaan pembangunan daerah untuk kesejahteraan, mendongkrak daya saing, jadi motor ‘good governance’. Kedua, Sulsel pilar ekonomi bangsa. Jika ini dibutuhkan maka pilar itu akan mewujud di perbaikan posisi IPM/GINI Rasio, pendidikan, kesehatan, pertanian, perkebunan atau perikanan (bukan jasa belaka).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di level kebutuhan apakah hingga CPI harus menguras dana daerah bahkan meminta taipan turun tangan? Ketiga, CPI sebagai pewarisan landmark generasi terdahulu. Generasi siapa? Menyangkut kecemerlangan budaya maritim Gowa-Tallo, itu adalah tata kelola syahbandar atau daulat mengayomi kerajaan dimana instrumen pengambilan keputusan mengadopsi prinsip keadilan sosial. Bukan oleh Raja semata.

Saat ini, bukan lagi boleh atau tidaknya suatu reklamasi namun proses apa yang mutlak dilalui agar muara pembangunan memberikan kemaslahatan universal. Benar, reklamasi dilindungi UU No. 27/2007 junto UU No. 1 Tahun 2014 atau Perpres 121 dan 122 Tahun 2012. Reklamasi perlu Amdal. Khalayak paham prosedur ini tetapi mengapa di realitas perencanaan seperti RTRW yang tak kelar justeru pembangunan tiang pancang reklamasi jalan terus?

Ihwal Argumentasi

Ruang baru dan aspek ekonomi menjadi alas pandangan Ambo Tuwo. Reklamasi CPI itu menukil dimensi ruang dan ekonomi, melingkupi faktor produksi dan proses pemenuhan kebutuhan. Lantaran itu ditebar iming-iming; New Karebosi 5 kali lebih besar, New Losari sepanjang 5 km, masjid megah 99 kubah terintegrasi Islamic Centre, museum maritim dan mimpi lainnya.  Mimpi diproyeksikan, laksana penonton disilaukan matanya oleh etalase modernitas.

Lalu, jika reklamasi CPI menjadi barrier mitigasi bencana seperti sangkaan itu maka tentu kontradiktif teori pengelolaan pesisir terpadu—intervensi apapun di pesisir laut akan berdampak ke sekitarnya. Disebutkan bahwa dampak pemanasan global berupa peningkatan permukaan laut secara bertahap, diprediksi naik 0,5–1,9 meter 100 tahun ke depan, perlu diantisipasi dengan mereklamasi bertahap, agar pantai Makassar terhindar risiko tenggelam.

Baginya, reklamasi bukan sekadar “keinginan pemerintah”, tetapi merupakan “kebutuhan masyarakat”. Apakah kebutuhan masyarakat tak konkret atau sulit dimediasi? Kalau kebutuhan, di manakah gerangan kepastian itu diperoleh? Di perencanaan kolektif atau kehendak seorang SYL belaka? Lalu, urgenkah investasi triliunan demi membendung kenaikan paras laut? Mengapa ke investor yang kemudian mengambil sebagian besar untuk dikomersialisasi?

Argumentasi bahwa reklamasi berkontribusi pada akumulasi aset daerah hingga Rp. 22 triliun dan dengan reklamasi tren penyerobotan tanah dapat dihindari. Tak mampukah aparatur negara menjaganya? Keempat, disebutkan bahwa ini demi aspek keadilan karena keterbatasan keuangan pemerintah maka CPI dikerjasamakan pihak ketiga. Dengan ini, muncul aspek keadilan lain yang menjadi perhatian pemerintah, yaitu pemilihan mitra.

Aneh saja. Ruang publik harusnya jadi prioritas, ruang dimana warga dapat berdamai dengan alam, memanfaatkan Lelong Rajawali, Barombong, Lae-lae, Tanatumbu sekitar CPI itu sebagai tempat berlindung dari badai harusnya lebih didahulukan. Tiada substansi keadilan ketika Negara harus merengek pada swasta demi pusat kebudayaan sebagaimana yang dipaparkan di paragraf pertama di opini itu jika tak melibatkan semua pihak. Keadilan apa yang ada ketika kita Pemerintah enggan bersitatap dengan warga, dengan nelayan, pemilik sumberdaya dan lebih intim dengan investor?. 

Kembali ke Substansi

Ambo Tuwo alpa mengelaborasi prinsip keseimbangan yang disebutnya di bagian pertama opininya, kebelanjutan lingkungan, kebutuhan sosial dan ekonomi. Dia hanya membenarkan lima kehendak SYL. Empat alasan mendasari pengelolaan secara terpadu sebagaimana telah ditulisnya di bukunya “Pengelolaan Ekowisata Pesisir & Laut (2011)” justeru tak didedah.

Pertama, relasi ekologis baik antar ekosistem pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Perubahan yang terjadi, misalnya hutan mangrove, cepat atau lambat mempengaruhi ekosistem lainnya. Dengan logika ini, jika ada pembangunan gedung tinggi atau reklamasi di depan Losari akan menjadi beban pada ekosistem atau wilayah lainnya. Simpel.

Kedua, di kawasan pesisir terdapat lebih dari satu jenis sumberdaya alamiah, buatan dan jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan. Artinya, prinsip kolaborasi mutlak ada. Apakah mungkin jika di CPI hanya Pemerintah Provinsi dan investor saja yang berbulan madu? Ketiga, di pesisir terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan dan kesenangan bekerja yang berbeda seperti petani, nelayan, petambak, industri dan pengrajin. Karenanya, jalinan kedekatan, interaksi dan kerjasama harus ditempuh.

Pertanyaannya, apakah reklamasi Losari atau CPI dan sekitarnya itu adalah ruang hampa hingga nyaris mengabaikan akses warga dan menyerahkan 70an hektare ke makelar tanah bangunan? Di sini, jika penyiapan ruang dan aspek ekonomi saja yang menjadi pilar peradaban baru sungguhlah malang. Maksudnya, jika ada wahana kebudayaan, sesiapakah yang bisa menjadi bagian di dalamnya jika unsur komersialisasi menjadi penyulut?

Di buku itu, menurut Ambo Tuwo, pesisir merupakan sumberdaya bersama yang dapat digunakan oleh siapapun, setiap pengguna berprinsip memaksimalkan keuntungan. Hal ini menyebabkan kawasan pesisir rawan terkena pencemaran, over-eksploitasi dan konflik pemanfaatan ruang. Jelas kontradiktif dengan argumentasi pembelaan CPI. Ke depan, CPI rentan menjadi tabir penutup akses orang biasa, menjadi penyuplai sampah dan limbah, menjadi pembeda kelas sebab orang-orang akan diperhadapkan pada komersialisasi yang tak mengenal basa-basi selain kipasan berlembar-lembar uang. Agenda pembangunan daerah yang banal.

Tebet, 27 April 2016

Ikuti tulisan menarik Kamaruddin Azis lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler