x

Ilustrasi perkosaan. baomoi.com

Iklan

Yulianti Muthmainnah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Darurat Kekerasan Seksual, Siapa Peduli?

Apakah laki-laki diciptakan Tuhan hanya untuk menyakiti, memperkosa perempuan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kejadian yang dialami YY (14 tahun) di Bengkulu menyentakkan amarah dan menggedor rasa kemanusiaan kita. Bagi saya, rasanya baru kemarin saya dan teman-teman selesai mengadvokasi kasus yang dialami IN, mahasiswi UIN Jakarta. Secara memilukan dan berulang terjadi lagi, pemerkosaan yang dialami NN (14 tahun) di Lampung Timur, V (19 tahun) di Manado, kini MN (10 tahun) di Lampung Timur dan JQ (16 tahun) di Karawang.

Data ini hanya sebagian kecil yang diliput media. Di berbagai daerah lainnya bisa jadi tidak terdata. Para korban, mayoritas anak di bawah umur, harus kehilangan masa depan, mengalami kerusakan rahim dan organ reproduksi lainnya, bahkan kematian. Keluarga korban pun merasakan hal yang sama.

Data kekerasan terhadap perempuan yang dicatat Komnas Perempuan tahun 2015 ada 321.752 kasus. Di ranah personal, bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah pemerkosaan, yakni 72 persen atau 2.399 kasus, diikuti pencabulan 18 persen atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5 persen atau 166 kasus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di ranah komunitas ada 5.002 kasus (31 persen). Kekerasan seksual (61 persen atau 1.657 kasus), yakni pemerkosaan, adalah kasus tertinggi, lalu pencabulan (1.064 kasus), pelecehan seksual (268 kasus), kekerasan seksual lainnya (130 kasus), melarikan anak perempuan (49 kasus), dan percobaan pemerkosaan (6 kasus).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah laki-laki demikian buas dan biadab? Apakah laki-laki diciptakan Tuhan hanya untuk menyakiti, memperkosa perempuan? Apa kiranya pikiran dan perasaan laki-laki hanya dipenuhi nafsu syahwat, tidak bisa berpikir jernih? Apalagi pelaku rata-rata orang yang dekat atau kenal dengan korban. Bahkan pelaku di antaranya adalah anggota Dewan di Lampung dan polisi di Manado, yang idealnya justru memberikan contoh positif bagi masyarakat.

Pemerkosaan bukan hanya soal nafsu syahwat, tapi juga tentang tindakan brutal, sadistis, dan penyiksaan dari orang yang merasa lebih kuat dan berkuasa kepada orang yang lemah atau di bawah kuasanya (Catherine MacKinnon dalam Toward a Feminist Theory of the State, 1989). Senada dengan Catherine, Alexandra menguraikan bahwa pemerkosaan juga dipengaruhi oleh relasi kuasa yang tidak setara antara korban dan pelaku. Dengan perbuatan itu, laki-laki merasa menang, perempuan korban dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, ingin "bersenang-senang" dengan gerombolan laki-laki lainnya, menganggap rendah perempuan, menganggap perempuan milik laki-laki, ingin memamerkan kuasa dan membuktikan kekuatan dirinya (Alexandra Stiglmayer dalam Mass Rape The War Against Women in Bosnia-Herzegovina).

Pemerkosaan adalah tindakan kejahatan dan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Pemerkosaan adalah bagian dari kekerasan seksual, yang merupakan kekerasan terhadap perempuan. Sebagaimana dirumuskan dalam Rekomendasi Umum Nomor 19 Komite CEDAW PBB 1992 dan Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.

Sebagai kejahatan yang melanggar HAM, sejak 2002, Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court) telah memasukkan pemerkosaan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang ditanganinya.

Sekalipun pemerkosaan telah mendapat pengakuan dalam hukum internasional, di Indonesia justru sebaliknya. Keterbatasan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menempatkan pemerkosaan sebagai "kejahatan terhadap kesusilaan" (Pasal 285291) dengan hukuman maksimal 15 tahun bila menyebabkan kematian. Demikian juga dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, larangan perbuatan kekerasan seksual dan cabul terdapat dalam Pasal 76 D dan 76 E dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.

Ancaman hukuman tersebut terbilang ringan. Apalagi bila korbannya anak-anak. Saya juga tidak bersepakat bila mengaitkan pemerkosaan terjadi akibat pelaku mabuk setelah pesta miras. Justru karena mabuk dan pesta miras itu pemerkosaan terjadi, maka ini harus jadi hukuman yang memberatkan.

Hukuman harus memberikan efek jera kepada pelaku maupun calon pelaku lainnya. Aparat penegak hukum harus mampu menciptakan keadilan, meskipun ada keterbatasan dalam sistem hukum dan perundang-undangan kita, karena kejadian pemerkosaan selalu menyisakan duka dan trauma yang sangat dalam bagi korban dan keluarganya, serta menimbulkan teror bagi perempuan lain.

Selain itu, kampanye seperti Save Our Sisters dan Sisters in Dangers adalah cara tepat untuk mengajak masyarakat agar paham terhadap persoalan ini. Saya juga percaya bahwa masih banyak laki-laki yang menempatkan perempuan sebagai manusia sejajar dengannya. Gerakan Aliansi Laki-laki Baru adalah salah satu cara bagaimana laki-laki terlibat aktif dalam kampanye anti-pemerkosaan, yang menciptakan situasi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Bila bukan kita, siapa lagi yang akan peduli?

Yulianti Muthmainnah, Resource Center Institute Kapal Perempuan dan dosen UHAMKA Jakarta

 

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Kamis, 12 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik Yulianti Muthmainnah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

15 jam lalu

Terpopuler