x

Ketua umum terpilih Setya Novanto memeluk calon ketua umum Ade Komarudin dirinya mengundurkan diri dari putaran kedua pemungutan suara dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, 17 Mei 2016. Setya Novanto terpili

Iklan

Ikhsan Darmawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

“Hal Biasa” dari Munas Luar Biasa Partai Beringin

Koran Tempo, Selasa, 24 Mei 2016

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ikhsan Darmawan

Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

 

Di tengah sorotan terhadap terpilihnya sosok kontroversial, Setya Novanto, sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada 17 Mei lalu, menarik untuk meneropong langkah partai ini setelah Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Bali. Isu lain yang tak kalah mengundang perhatian adalah bagaimana Setya membawa gerbong partai berlambang pohon beringin itu dalam konteks koalisi dengan pemerintah dan mengapa kebijakan seperti itu yang dipilih?

Partai Golkar, saat Munaslub lalu, memastikan diri keluar dari bendera Koalisi Merah Putih. Hal itu disampaikan oleh Siti Aisyah, Sekretaris Pimpinan Munaslub. Hal serupa juga dikemukakan oleh Aburizal Bakrie dalam pidato politik terakhirnya sebagai ketua umum. Dengan kata lain, Golkar tidak lagi menjadi pihak yang berlawanan dengan pemerintah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keputusan itu merupakan puncak dari gonjang-ganjingpertanyaan sejumlah pihak mengenai bagaimana sebetulnya posisi Partai Golkar ke depan. Tapi sebetulnya beleid itu tidak terlampau mengagetkan. Bulan lalu, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono bertemu dengan Jokowi di Istana Presiden. Aburizal menyatakan pertemuan itu sekadar memastikan kehadiran Jokowi di Munaslub. Adakah tawaran koalisi? Aburizal tak menampiknya. Dengan menggunakan bahasa implisit, ia berkata: “Jika ditawari kursi di kabinet dan ditolak, maka akan dibilang sombong”.

Kemantapan genderang berkoalisi dengan pemerintah sedikit banyak bertalian dengan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum. Meskipun keputusan untuk berpisah dengan KMP dibuat oleh partai, sosok Setya dianggap lebih dapat memuluskan implementasi kebijakan tersebut. Setya, dengan segala permasalahan yang menggelayutinya, dinilai akan lebih mau berdamai serta menjadi bagian dari pemerintah ketimbang Ade Komaruddin.

Sebelum terpilih, Setya Novanto juga disebut-sebut sebagai calon kuat yang “disukai” oleh pemerintah. Hal itu memang tidak pernah di­sebutkan secara eksplisit oleh pemerintah. Namun, adanya dukungan terhadap Setya dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut B. Pandjaitan merupakan salah satu pertanda. Hipotesis tersebut semakin diperkuat lagi oleh lontaran pernyataan Setya setelah terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Mantan Ketua DPR RI itu mengatakan Golkar mendukung Jokowi sebagai calon Presiden untuk pemilihan presiden pada 2019.

Selain itu, Setya adalah “orangnya” Aburizal, Ketua Dewan Pembina Partai Golkar saat ini. Dukungan kepada Setya, sampai akhirnya terpilih, merupakan bagian dari agenda dan skenario politik kelompok Aburizal untuk menjadi bagian dari pemerintah.

Mengapa kebijakan untuk berada di lingkaran pendukung pemerintah justru dipilih Golkar? Pertama, sejarah Partai Golkar ialah sejarah “partai pemerintah”. Di masa Orde Baru, ketika masih bernama Golkar, partai itu sepenuhnya merupakan partai penguasa. Setelah Orde Baru, dari Presiden ke Presiden, Partai Golkar selalu mendapat kursi kabinet, kecuali sejak 17 Juli 2014, yakni ketika bergabung dalam KMP sampai berlangsungnya Munaslub Bali.

Kedua, meski saat bergabung dalam KMP Golkar berada di luar pemerintah, bukan berarti partai beringin itu tidak mendapat apa-apa. Sebaliknya, Partai Golkar sejak dalam KMP sampai sekarang, berhasil memperoleh sejumlah posisi pada Alat Kelengkapan DPR, seperti Ketua DPR dan sejumlah kursi di Komisi. Jika jalan menuju koalisi dengan rezim Jokowi lapang, apa yang diperoleh Partai Golkar justru lebih banyak daripada yang dimiliki partai pemerintah sekalipun.

Ketiga, langkah Partai Golkar ini tak dapat dilepaskan pula dari persiapan mereka menuju Pemilu 2019. Sisa tiga tahun menuju 2019 merupakan momen penting untuk mempersiapkan diri. Dengan memiliki kader di pemerintah mereka memiliki jalur tambahan selain di parlemen untuk menambah amunisi memperoleh kursi politik sebanyak-banyaknya.

Dalam ilmu politik, perilaku Partai Golkar lazim disebut sebagai office-seeking atau memburu jabatan. Artinya, partai politik menjalankan sejumlah tindakan, langkah, dan kebijakan untuk mendapatkan jabatan politik serta keuntungan dari jabatan itu (Pedersen, 2012).

Lantas, bukankah semua partai politik memang memiliki sifat memburu jabatan? Hasil riset Helene Helboe Pedersen dari Aarhus University menarik dicermati. Penelitian Pedersen menemukan ada sejumlah partai politik yang ciri memburu jabatannya lebih menonjol daripada partai politik lainnya. Keberadaan sejumlah partai politik yang kurang kental ciri memburu jabatannya disebabkan oleh ciri-ciri lain yang kentara yaitu memburu kebijakan dan memburu suara. Hal itu membuat sifat memburu jabatan mereka menjadi tidak mencolok. Dalam hal ini, Golkar masuk kategori memburu jabatan.

 Pada akhirnya, pergelaran politik di Bali telah menjadi pintu keluar bagi Partai Golkar dari sengkarut internal selama setahun lebih. Namun, pada dasarnya Munas Luar Biasa itu menyisakan cerita “hal biasa” soal bagaimana Partai Golkar yang selama ini kita ketahui bersama.

Ikuti tulisan menarik Ikhsan Darmawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu