x

Iklan

Ikhsan Darmawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sikap Ahok dan Politik Minus Etika

Dukungan politik tidak dapat dinilai seperti "barang yang murah" yang dapat diabaikan ketika sudah tidak dibutuhkan lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari-hari ini, publik disuguhi drama politik yang tak elok menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Setelah beberapa bulan lalu menetapkan dirinya akan berpasangan dengan Heru Budi Hartono melalui jalur perseorangan, belakangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok justru menunjukkan gelagat berbalik badan. Kepada media, Ahok mengatakan hubungannya dengan Djarot Saiful Hidayat belum mencapai talak tiga. Dengan begitu, Ahok tak menampik kemungkinan peluang berduet dengan Djarot dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2017.

Alih-alih menunjukkan sikap malu atas perubahan langkahnya, Ahok malah mengklaim, kalau ia jadi maju dengan Djarot, Heru akan maklum. Ditambah lagi, beberapa waktu sebelumnya, ketika ditanya awak media mengenai kabar mundurnya Heru, Ahok menanggapi dengan menyebutkan mungkin Heru ingin mengalah kepada Djarot.

Mengapa kemudian Ahok menunjukkan sinyal beralih jalur dukungan? Ada setidaknya 3 musabab. Pertama, sejak awal Komisi Pemilihan Umum (KPU)  melarang calon independen untuk didukung oleh parpol. KPU berpegang pada prinsip bahwa calon perseorangan dan calon dari parpol tidak bisa dicampuradukkan. Jika memilih jalur perseorangan dan dalam prakteknya didukung oleh partai, calon itu tidak boleh mencantumkan dukungan partai tersebut di atas kertas. Bagi partai pendukung, tidak dicantumkannya mereka dianggap riskan karena ikatan perjanjian politik mereka dengan Ahok tidak "hitam di atas putih".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi partai seperti NasDem, yang menyebut dukungan mereka kepada Ahok tanpa syarat, hal itu bisa jadi bukan masalah. Namun, belum tentu bagi partai lain.

Kedua, DPR RI dan Pemerintah telah merampungkan revisi Undang-Undang Pilkada. Hasil revisi itu mengubah ketentuan tentang dukungan bagi calon perseorangan. Revisi itu bahwa KTP syarat dukungan calon haruslah berupa KTP elektronik.

Ketentuan lainnya, yakni perubahan Pasal 48 ayat 3 huruf a menyebutkan bahwa verifikasi dukungan calon perseorangan bersifat faktual dengan metode sensus dan menemui langsung setiap pendukung calon. Syarat ini tidaklah mudah. Jika pendukung calon dalam verifikasi faktual tidak bisa dihadirkan, dukungan dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Perubahan pada UU itu, suka-tidak suka, membuat Ahok harus berhitung ulang. Pasalnya, memenuhi syarat dukungan di atas bukan perkara mudah.

Ketiga, setelah Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar di Bali, arah dukungan partai politik mulai berubah. Tak hanya Golkar yang kemudian mengambil posisi politik mendukung Ahok, PDI-Perjuangan belakangan ini juga terkesan akan masuk barisan di belakangnya. Beberapa waktu lalu, PDI-Perjuangan mengajukan tiga syarat kepada Ahok bila ingin didukung oleh partai yang diketuai Megawati Sukarnoputri itu. Salah satunya, Ahok mengaku telah salah memilih jalur perseorangan.

Meskipun demikian, perubahan keadaan bukan menjadi alasan untuk membenarkan perubahan ketetapan Ahok. Dukungan politik tidak dapat dinilai seperti "barang yang murah" yang dapat diabaikan ketika sudah tidak dibutuhkan lagi.

Sikap tidak firm dari Ahok ini patut disoroti karena dua hal. Pertama, mekanisme internal partai politik menjadi tidak dihormati dan dihargai. Ketika PDI-Perjuangan membuka pendaftaran calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok tidak mendaftarkan diri. Padahal, jika dari awal ingin maju lewat jalur partai, tahap itu haruslah ia lalui.

Kedua, perubahan sikap lompat pagar dari sebelumnya maju dengan dukungan Teman Ahok menjadi beralih ke jalan partai politik, adalah sebuah hal yang tidak etis. Andrew Sabl (2001) dalam bukunya Ruling Passions: Political Offices and Democratic Ethics menyebutkan teori etika politik pada umumnya mewajibkan setiap orang untuk menghormati setiap orang lainnya di setiap waktu. Artinya, dalam kacamata etika politik Ahok seharusnya menghormati semua orang, termasuk juga pendukungnya yang telah bekerja keras demi mensukseskannya selama ini.

Sayangnya, memang di negara kita etika politik tidak diatur secara tertulis. Di negara bagian Arkansas, Amerika Serikat, State Board of Election Commissioners-nya mempublikasikan Handbook for Candidates berjudul “Running for Public Office”. Buku itu mengatur banyak hal, termasuk soal etika setiap kandidat yang akan berkompetisi dalam pemilu. Tak hanya itu, mereka juga memiliki Ethics Commission untuk menegakkan aturan yang sudah ada.

Semoga saja, ke depannya ada perbaikan peraturan dalam kompetisi politik di negara kita. Tujuannya tak lain adalah tiada lagi politisi yang berpolitik minus etika.

 

Ikhsan Darmawan, Penulis adalah Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

*) Artikel ini dimuat di Harian Koran Tempo, Selasa, 14 Juni 2016

Ikuti tulisan menarik Ikhsan Darmawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu