x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Skenario Tito Menjadi Kapolri

Benarkah penunjukan Tito sebagai Kapolri upaya untuk menarik pemodal Amerika, setelah poros RI-Tiongkok dianggap hanya memperkaya para taipan saja?.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penunjukan nama Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kepala Polisi Republik Indonesia menggantikan Jenderal Badrodin Haiti, menurut penjelasan Jubir Presiden Johan Budi, adalah pengajuan dari Kompolnas yang diketuai Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan. Setelah sebelumnya Presiden mendengar masukan semua pihak.

Pertimbangan Presiden sendiri memilih Tito adalah disamping untuk meningkatkan profesionalitas Polri sebagai pengayom masyarakat, Presiden juga nampaknya akan lebih fokus pada isu-isu memerangi terorisme, demikian penjelasan Johan (http://www.cnnindonesia.com).

Tito dianggap memiliki pengalaman lebih untuk itu dengan jabatan yang disandangnya sekarang, yakni Kepala Datasemen Khusus 88 Antiteror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sepak terjang Tito ketika memimpin tim membongkar jaringan terorisme di Indonesia pada 2004 hingga 2007 sukses besar. Puncaknya adalah pada Januari 2007 ketika Tito yang masuk tim Densus 88 Antiteror membongkar konflik Poso dan meringkus sejumlah pihak yang terlibat. Termasuk menangkap Noordin M Top.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa pemerintah fokus pada isu memerangi terorisme? Mengapa Kompolnas (baca: Luhut Panjaitan) ngotot mengajukan nama Kepala BNPT ini untuk menjadi Kapolri? Betulkah ini upaya Presiden Jokowi dan Luhut untuk menarik pemodal Amerika, setelah poros Indonesia-Tiongkok yang digagas Megawati (PDIP) dan Rini Soemarno dianggap hanya semakin memperkaya para taipan Tionghoa saja?

Sebelum masuk pada isu di atas, ada baiknya kita menelaah prediksi George Friedman, pendiri Stratfor (Strategic Forecast) mengenai situasi Geopolitik Global. Stratfor memprediksi skenario sebagai berikut: Donald Trump akan memenangkan Pilpres AS pada periode 2017–2021; Kebijakan Ekonomi Presiden AS Donald Trump akan membatasi perdagangan Tiongkok–Rusia; dan AS kembali dekat dengan Islam untuk menghadang lobi Tiongkok dan Rusia ke negara-negara Islam.  

Donald Trump akan merekatkan kembali AS dan Islam? Bagaimana bisa? Bukankah Trump dalam kampanyenya menyatakan secara ekstrem akan melarang Muslim masuk AS?

Ternyata pernyataan ekstrem Trump itu hanya strateginya semata untuk menarik dukungan dari para pemodal Yahudi dan Israel yang kebanyakan mendukung Hillary Clinton. Pendukung Trump sendiri justru kebanyakan berasal dari pengusaha minyak Timur Tengah, karena gurita bisnis Trump sendiri memang tersebar luas di negara Islam; dari Azerbaijan, Turki, Uni Emirat, Qatar, Dubai, hingga Indonesia. Hubungan dagang Trump dan Islam itulah yang mendasari Friedman memprediksi Trump akan kembali mendekatkan AS dengan Islam dan menjauhkan AS dengan Israel.

Terkait Indonesia, jika Trump menang dia akan mempertalikan erat antara AS dengan RI dengan berlindung pada isu memerangi terorisme global. Poros Jakarta–New York sedang dibangun serius oleh Trump. Kita tentu masih ingat kasus pertemuan Setya Novanto dan Fadli Zon dengan Donald Trump di New York dan kasus "Papa Minta Saham" yang menghebohkan itu. Apakah kasus itu terjadi secara kebetulan?

Terjadinya kasus tersebut berbarengan dengan aksi Carl Ichan memborong saham freeport. Carl Ichan adalah satu-satunya pemodal Yahudi besar di belakang Trump. Carl Icahn memborong saham Freeport sejak Mei 2015 s/d Januari 2016. Pada 1 Mei 2015, harga saham Freeport sebesar USD 23,66 per saham. Pada 29 Januari 2016, harga saham Freeport sebesar USD 4,6 per saham, anjlok 80,56%. Carl Icahn kini menguasai 8,8% saham Freeport, dan merupakan pemegang saham terbesar di Freeport. Pemegang saham lainnya di bawah 8%.

Kalau poros RI–Tiongkok dimotori oleh PDIP melalui ‘pemandu’ Rini Soemarno (akses taipan Tiongkok), maka poros RI–AS dimotori oleh Gerindra dan Golkar dengan ‘dirigen’ Luhut Panjaitan. Sederhana saja, pertemuan New York diwakilkan oleh Fadli Zon dan Setya Novanto menunjukkan Fadli Zon (Gerindra) dan Setya Novanto (Golkar) adalah juru lobi RI ke AS. Dan pada kasus "Papa Minta Saham" Presiden Jokowi sendiri kemudian menunjuk Luhut sebagai penanggung jawab lobi-lobi Freeport. Karena, jika persoalan Freeport sukses, maka akan tersedia modal melimpah bagi perhelatan Jokowi di 2019.

Kembali pada skenario pemerintah yang akan lebih memfokuskan pada isu memerangi terorisme dengan menunjuk Tito Karnavian sebagai Kapolri, hal ini sudah merupakan skenario AS sendiri. Deputi Assistant Secretary Bureau Of  East Asian And Pacific Affairs Departemen Of States Matthew P. Daley mengatakan bahwa, Asia Pasifik merupakan prioritas utama kebijakan luar negeri AS dalam “memerangi terorisme” pasca tragedi 9 November. (Daley, Increased Cooperation Needed to Combat Transnational Terrorism)

Kini, kita lihat saja esok pada reshuflle kabinet. Akankah “tangan-tangan Naga Merah Tiongkok” bertahan di jajaran menteri, atau tergusur oleh “para pedagang politik” yang merupakan kepanjangan tangan para pemodal Amerika yang berlindung dibalik isu terorisme?

Kasihan bangsa ini, selalu keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Demikian terjadi berulang-ulang, karena kepentingan elite-elitenya yang tak pernah berpihak kepada rakyatnya.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

20 jam lalu