x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

UU Tax Amnesty: Melegalkan Aset Curian?

Mereka jelas telah “mencuri” dengan tidak mau membayar pajak. Negara bukannya menyita aset hasil curian tersebut, malah melegalkalkan menjadi milik mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejumlah masyarakat kecewa setelah Undang-Undang Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak disahkan dalam rapat paripurna DPR kemarin, Selasa (28 Juni 2016).

Bedu, misalnya. Buruh yang telah bertahun-tahun bekerja di sebuah pabrik, prihatin dengan kebijakan pemerintah itu. “Saya setiap bulan dipotong gajinya untuk bayar pajak ke negara. Negara justru mengampuni orang-orang berduit yang tak mau membayar pajak? Ini tidak adil,” kata Bedu.

Keprihatinan Bedu itu bukan tanpa dasar. Tarif tebusan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak bagi pengemplang relatif sangat kecil dibandingkan dengan aset yang dibawa ke luar negeri demi menghindari pajak di Indonesia. “Dengan tarif tebusan yang sangat kecil itu, pemerintah hanya mengejar yang kecil saja, tapi memberi kelonggaran begitu besar kepada pengusaha berduit yang nyata-nyata tak mau bayar pajak ke negara,” ujar Bedu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melalui UU Tax Amnesty yang berakhir Maret 2017 itu, para pengemplang pajak yang bersedia memindahkan aset yang selama ini disimpan di luar negeri demi menghindari pajak hanya diberikan tarif tebusan sebesar 2% sampai 5%. Adapun wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa memindahkan aset akan dikenai tarif 4% hingga 10%. Padahal di dalam Pasal 17 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan), tarif pajak penghasilan pribadi saja dikenakan 30%.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro beralasan bahwa tarif uang tebusan berbeda dengan tarif pajak 30% untuk pribadi. Menurutnya, tarif pajak normal untuk pribadi dikenakan terhadap pendapatan, sedangkan tarif uang tebusan dalam UU Tax Amnesty dikenakan terhadap aset.

Bambang juga menjelaskan, saat Undang-Undang ini diberlakukan hingga Maret 2017 mendatang, negara diperkirakan akan dapat meningkatkan APBN sebesar Rp165 triliun. Akan tetapi sejumlah pihak meragukan pernyatan Bambang tersebut. Karena, walaupun telah mendapatkan tambahan dana dari pengampunan pajak, APBN-Perubahan 2016 tetap memunculkan defisit sebesar Rp296,723 triliun atau Rp2,35% dari Produk Domestik Bruto.

Bedu tidak sendiri dalam hal ini. Banyak masyarakat juga beranggapan bahwa pemberlakuan UU pengampunan pajak tersebut sebagai sebagai bentuk ketidakadilan pemerintah. Orang-orang yang yang seharusnya dibawa ke peradilan perpajakan, malah kasusnya diputihkan hanya dengan membayar tarif tebusan yang relatif sangat kecil.

Dan dalam jangka panjang, pengampunan pajak ini juga bisa mendemoralisasi para pembayar pajak yang selama ini patuh. Untuk apa patuh membayar pajak, toh ternyata negara lebih memfasilitasi orang-orang kaya yang tidak patuh. Kemudian, adakah kepastian hukum di negara ini yang menjamin apabila para pengemplang pajak yang sudah mengikuti pengampunan itu selanjutnya akan patuh membayar pajak?

Masyarakat juga meragukan penegakan hukum selanjutnya. Karena tidak menutup kemungkinan pada pemberlakuan UU pengampunan pajak ini akan berpotensi menjadi “ucapan selamat datang” bagi konglomerat pelaku kejahatan ekonomi dan para pelaku pencucian uang. Hal ini karena dalam UU tidak menyebutkan asal-usul hartanya, sehingga berpotensi akan menarik banyak uang haram dalam APBN dan pereknomian Indonesia.

Inilah yang menjadi dasar keprihatinan Bedu dan rakyat Indonesia pada umumnya. Para pelaku pengemplang pajak itu jelas-jelas telah menggelapkan uang negara. Dengan pemberlakuan UU tersebut, otomatis negara menghapus pidana dan tuntutan hukum terhadap mereka, hanya dengan membayar tarif tebusan sebesar 2% hingga 5%. Kemudian setelah dihapus, aset tersebut bukannya disita menjadi milik negara malah dilegalkan menjadi milik para pelaku penggelapan uang negara tersebut.

Bedu tak habis pikir. Ia membandingkan dengan pelaku pencurian sepeda motor yang mencuri milik tetangganya beberapa hari yang lalu. Pencurinya tertangkap, motor pun dikembalikan kepada pemiliknya. Walaupun hasil curiannya itu kembali kepada pemilik, si pencuri tetap diproses secara hukum atas tindakan kejahatannya itu.

Nah, menurut Bedu, hal ini juga seharusnya berlaku terhadap para “pencuri uang negara” itu. Mereka jelas telah “mencuri” dengan cara menyembunyikan aset sebagai modus tidak mau membayar pajak. Negara bukannya menyita aset tersebut, malah melegalkan aset curian itu menjadi milik si pencuri. Adil kah...?

 

Images: jworldtimes.com

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu