x

Iklan

Achmad Sunjayadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kampung Halaman

Lebaran sudah di ambang pintu. Para pemudik berangsur-angsur meninggalkan ibukota menuju kampung halaman masing-masing.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lebaran sudah di ambang pintu. Para pemudik berangsur-angsur meninggalkan ibukota menuju kampung halaman masing-masing. Salah satu meme yang beredar tentang berlebaran di 'kampung halaman' sangat menggelitik: 'Pengen pulang ke kampung halaman, tapi lupa halaman berapa?'. Demikian teks yang tertulis dalam meme tersebut. 

Jalur padat, macet di utara dan selatan menjadi hal biasa setiap tahun. Kalau tidak terkena macet berarti belum sah mudiknya. Seloroh seorang rekan yang biasa pulang kampung dan mengalami kemacetan di perjalanan dalam cerita usai lebaran. Ada makna tersembunyi yang membuat orang rela antri berjamaah di perjalanan hingga sampai di kampung halaman dengan selamat.

Harga-harga pangan pun meroket tak terkendali. Meminjam ungkapan ala pemerintah di masa silam bahwa harga-harga mengalami 'penyesuaian'. Entah disesuaikan dengan apa. Harga sekilo jengkol, makanan beraroma yang ternyata banyak peminatnya nyaris sama dengan seekor ayam. Semakin dicari, maka semakin mahal harganya. Hidangan opor ayam, semur daging, sambal goreng yang pada hari biasa terasa biasa saja, pada hari lebaran menjadi lebih terasa luar biasa. Sehingga harga tidak menjadi halangan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi saya, 'mudik' adalah kenangan. Ikatan memori bersama yang akan selalu saya ingat. Pertengahan tahun 80-an, kami biasa pulang kampung usai shalat Idul Fitri konvoi dengan mobil menuju 'kampung', mengunjungi sanak-saudara yang masih ada. Pemandangan gunung, hutan, sawah di sisi jalan berliku menjadi penguat memori saya. Persis lagu 'Desaku' atau objek lukisan bergaya Mooie Indie. 

Macet? Tentu saja ada. Apalagi jika ada kecelakaan, pemudik yang terlalu lelah atau supir kendaraan umum yang mengantuk.

'Mudik' ke kampung, bagi saya menjadi sarana belajar mengenal negeri sendiri (setidaknya di Jawa). Kota-kota yang kami lewati di jalur utara maupun selatan menjadi perhatian. Setelah kota A, maka kota B demikian seterusnya. Atau sekedar mengamati plat nomor mobil yang berpapasan atau ada di depan mobil kami lalu menebak asal kota mobil tersebut jadi hiburan sepanjang perjalanan. 

Awal tahun 90-an, ritual 'mudik' ini semakin berkurang ketika sanak-saudara di kampung, terutama yang dituakan sudah tiada atau pindah ke Jakarta. Perjalanan mudik ke kampung lebih pada acara liburan dan mengunjungi makam para tetua. Sesekali menikmati kuliner khas setempat sambil menikmati suasana yang tidak ditemui di kota.

Tahun 2000-an kegiatan mudik mulai hilang dari ritual keluarga kami. Kami sudah sudah mulai berkeluarga dan memiliki anak. Kami lebih banyak berlebaran di kota. Tidak ada lagi istilah 'mudik' melainkan 'menghilir' alias ke kota. Jangan salah, di kota pun kami kebagian macet. Sehingga dari awal kami sudah menentukan keluarga mana saja yang harus kami kunjungi sambil memperhitungkan titik-titik kemacetan. 

Tahun 2016, anak-anak saya mulai menuntut 'kampung halaman'. Mereka ingin mudik seperti halnya kawan-kawan mereka. Setiap tahun memang kami selalu ke rumah nenek mereka di daerah Pondok Gede. Dari rumah kami, tak ada pemandangan seperti gunung atau sawah yang bisa mereka lihat karena kami hanya masuk jalan tol, keluar tol maka tiba lah kami di tujuan. Sempat terpikir dalam benak saya untuk menciptakan 'kampung halaman' buat mereka. 'Kampung halaman' di mana kami bisa 'mudik' dan membuat kami merasa ingin selalu pulang setiap menjelang lebaran.

gambar: lukisan pemandangan karya Soejatno Koempoel (1950) veiling.catawiki.nl

Ikuti tulisan menarik Achmad Sunjayadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu