x

Seorang petugas menunjukan bentuk kartu Jaminan Kesehatan Nasional di RS Fatmawati, Jakarta (01/01). Mulai 1 Januari 2014, pemerintah meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), JKN merupakan program jaminan kesehatan yang akan diterapkan s

Iklan

Tauchid Komara Yuda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

JKN Berparadigma Ganda

menyadari negara ini belum mampu memberikan jaminan kesembuhan, paling tidak mencegah orang menjadi sakit adalah hal yang mungkin dilakukan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tauchid Komara Yuda

Author is researcher and freelance writer who has concern in both of field social policy and welfare plurarism. He was affiliated with Department of Social Development and Welfare (PSDK), Faculty of Social and Political Scienes, Universitas Gadjah Mada (UGM)

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak seorang pun yang ingin terjatuh sakit. Namun, siapa sangka penyakit itu bisa datang kapan pun tanpa diduga-duga. Hingga seringkali ada cerita, seseorang menjual harta bendanya hanya demi menolong anggotanya keluarganya yang terpapar sakit. Bahkan tak jarang, harta sudah habis-habisan, penyakit pun tak urung sembuh.

Cerita-cerita semacam inilah yang pada akhirnya mendorong tiga rezim pemerintahan terakhir untuk mengupayakan suatu skema jaminan kesehatan, yang tidak hanya memberi rasa aman ketika seseorang jatuh sakit, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang jatuh miskin karena sakit. Skema ini lantas dikenal sebagai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Harus diakui, JKN merupakan prestasi membanggakan sepanjang sejarah Republik Indonesia berdiri. Hanya sayang, seringkali kita melupakan cerita lain, bahwa orang sakit itu juga karena pola hidup yang tidak sehat. Pada titik inilah semestinya JKN juga harus menerapkan paradigma berganda: mengobati orang sakit dan mencegah orang menjadi sakit. Pasalnya,  kalau JKN didesain hanya untuk mengobati –dengan kata lain harus sakit terlebih dahulu untuk mendapat layanan jaminan kesehatan– cepat atau lambat JKN ini juga bisa ikut-ikutan ‘sakit’. Logikanya, karena sakit bersifat unpredictable, otomatis pembayaran klaim juga menjadi tidak pasti, tergantung kesembuhan pasien. Disisi lain, JKN ini juga memberlakukan sistem managed care. Maksudnya,dengan biaya yang relatif minimal, peserta bisa mendapat manfaat pelayanan kesehatan untuk jenis penyakit termutakhir sekalipun (Wisnu, 2012). Oleh karena itu dapat dibayangkan bukan, kalau paradigma ‘mencegah’ tidak dioptimalisasi, maka laju orang sakit semakin tidak bisa di rem, artinya potensi defisit akan sangat besar. Sebagaimana pada akhir tahun 2015 lalu,  BPJS mengalami defisit hampir menyentuh Rp. 6 triliun, dan ditahun ini pun diprediksi kurang lebih sama. Kalau keadaannya begini, boro-boro meningkatkan kualitas, untuk tetap ada saja masih untung. Ibarat hidup segan, mati pun tak mau.

Tidak hanya itu, negara pun juga ikut merugi. Karena aturannya, kalau JKN defisit, negara harus melakukan injeksi dana untuk menyelamatkan keberadaan JKN. Disamping itu, dengan menempatkan iuran hanya sebatas sarana untuk mengobati, hemat penulis, justru ini menjadikan masyarakat ogah iuran karena merasa dirinya tidak sakit dan tidak harus diobati. Mengingat bagi sebagian orang, berasuransi masih merupakan hal baru. Mereka masih belum memahami betul bahwa membayar premi iuran, tidak sama dengan logika transaksional: membayar berarti membeli.

Pada logika asuransi, isitilah membayar merujuk pada makna antisipasi biaya jika sewaktu-waktu sakit. Sehingga peserta akan terus membayar selagi sehat. Inilah titik pangkal persoalannya. Mereka yang belum terbiasa berasuransi, tentu akan merasa keberatan jika harus membayar secara terus menerus tanpa memperoleh manfaat yang langsung bisa dirasakan. Apalagi bagi mereka yang dari segi pendapatan sangat fluktuatif, tentu kebutuhan mendesak jangka pendek akan lebih diprioritaskan ketimbang kebutuhan-kebutuhan jangka panjang. Oleh karenanya jangan buru-buru menyudutkan mereka yang baru membayar premi ketika sakit dan selepas sembuh mangkir lagi. Namun coba koreksi dahulu paradigma jaminan kesehatan kita yang nampak didesain hanya untuk sakit, bukan sehat.  

Hemat penulis, selama paradigma sakit masih memburit dalam citra JKN, apapun upaya pemerintah untuk menjaring lebih banyak masyarakat untuk bergabung menjadi peserta JKN, tidak akan pernah cukup menjawab persoalan defisit. Berbeda ceritanya kalau jaminan kesehatan juga sama prioritasnya untuk sehat. Akan sangat mungkin masyarakat yang tadinya enggan bergabung dalam kepesertaan JKN, justru menjadi antusias mengiur, karena mereka tahu iuran yang mereka bayarkan bukan untuk menjadi sakit, tetapi menjadi sehat. 

Tentu ini harus dibarengi dengan komitmen dinas kesehatan berikut BPJS itu sendiri untuk mengoptimalisasi fungsi preventif melalui peran dokter keluarga di fasilitas kesehatan primer. Konkritnya dengan melakukan reformasi pelayanan dari ‘menunggu bola’ kepada ‘menjemput bola’ semisal: mengunjungi klien secara periodik untuk memastikan kliennya berada pada kondisi ideal. Dengan begitu, masyarakat benar-benar merasakan faedah dari sistem JKN, yang tidak dimiliki oleh sistem asuransi pada umumnya

Dan yang tidak kalah penting perlu dingat, JKN ini sebenarnya melatih kita untuk membiasakan berderma daripada meminta. Logika sederhananya begini: kalau kita sakit sama halnya merugikan orang lain, karena kita menyedot dana orang sehat. Sebaliknya, dengan cukup menjaga diri kita tetap sehat, itu sudah cukup membantu dan memberikan harapan sembuh bagi mereka yang sakit.

Sedianya tulisan ini dapat menjadi sebuah refleksi sederhana: menyadari negara ini belum mampu memberikan jaminan kesembuhan, paling tidak mencegah orang menjadi sakit dan menyehatkan masyarakat sebelum sakit adalah hal yang mungkin dilakukan[]

 

Ikuti tulisan menarik Tauchid Komara Yuda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu