x

Lika-liku Cetak Profesionalitas Pers Mahasiswa

Iklan

Didik Supriyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjadi Aktivis Pers Mahasiswa: Apa Motifnya?

Mengapa mahasiswa tertarik untuk menjadi aktivis pers mahasiswa?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengapa mahasiswa tertarik untuk menjadi aktivis pers mahasiswa?

Kami yang dulu pernah mengelola majalah Balairung dan tabloid Bulaksumur – keduanya diterbitkan oleh Badan Penerbit Pers Mahasiswa Universitas Mada atau BPPM UGM – mengidentifikasi beberapa motif yang mendorong mahasiswa mau mengikuti kegiatan pers mahasiswa.

Proses identifikasi waktu itu bukan melalui riset ilmiah – sesuatu yang sesungguhnya bisa dilakukan, tapi belum terpikirkan  – melainkan berdasar pengalaman merekrut para calon pengelola Balairung dan Bulaksumur. Tentu saja juga berdasar pengalaman pribadi masing-masing pengelola, sebab sepertinya halnya mereka yang sedang kami rekrut, sebelumnya kami juga direkrut oleh para senior.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, mahasiswa mau menjadi aktivis pers mahasiswa sekadar untuk mengisi waktu luang. Ini bukan berarti mahasiswa tahun pertama atau kedua memiliki banyak sisa waktu, setelah mengikuti kuliah dan berkutat di laboratorium. Tidak. Waktu mahasiswa untuk belajar sebetulnya terbatas, mengingat banyaknya buku yang wajib dibaca dan tugas yang harus diselesaikan.

Hanya saja, karena belajar adalah pekerjaan membosankan, maka meskipun semua bahan belum dikuasai, mahasiswa merasa sudah cukup belajar. Jadinya, mereka memiliki waktu luang. Nah, daripada waktu luang digunakan main kartu atau ngrumpi melulu, mereka pun mencari aktivitas lain untuk membunuh waktu. Kegiatan pers mahasiswa menjadi salah satu alternatif.

Kedua, mahasiswa menyediakan diri untuk menjadi aktivis pers mahasiswa karena ingin mencari teman atau menambah pergaulan. Berteman dengan orang-orang satu kos, satu sekolah asal atau satu daerah asal, tidak muncukupi bagi sebagian orang. Apalagi banyak orang percaya bahwa menambah teman, juga berarti menambah wawasan, memperbanyak pengalaman, dan memperluas peluang untuk meningkatkan kualitas hidup.

Bagi mahasiswa yang berpandangan demikian, begitu mendengar atau melihat pengumuman rekrutmen calon pengelola pers mahasiswa, tanpa pikir panjang mereka segera mendaftar. Bahkan jika mereka tahu unit kegiatan mahasiswa lain juga membuka pendaftaran, mereka mendaftar juga.

Ketiga, motif ini sebetulnya hampir sama dengan motif kedua, cuma lebih spesifik. Seorang mahasiswa mau menjadi aktivis pers mahasiswa karena ingin mendapatkan pacar. Ini bukan berarti calon pacar yang disasar hanyalah aktivis pers mahasiswa, tetapi bisa juga aktivis kegiatan mahasiswa lain, yang menjadi bagian dari wilayah pergaulan aktivis pers mahasiswa.

Tidak semua mahasiswa yang masuk menjadi pengelola pers mahasiswa menyadari motif ini. Rasionalitas dan kepercayaann diri demikian tinggi, sehingga motif itu tertindas di alam bawah sadar masing-masing. Nah, begitu mendapatkan pacar atau sebaliknya putus pacar, kesadaran akan motif itu muncul. Maka, mereka pun bisa menertawakan diri sendiri.

Keempat, banyak mahasiswa yang terobsesi jadi penulis atau jurnalis, sehingga mereka sudah meneguhkan diri untuk menjadi penulis atau jurnalis pascakuliah nanti. Karena mereka sudah menyadari jalan hidup yang akan ditempuh, maka sedini mungkin mereka membekali diri dengan berlatih. Mereka melihat kegiatan pers mahasiswa adalah wahana latihan yang paling tepat.

Oleh karena itu mereka langsung bergabung ke dalam lingkungan para penulis atau jurnalis muda, begitu kesempatan itu dibuka. Mereka yakin, dengan menjadi aktivis pers mahasiswa mereka bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan di penulisan atau jurnalistik.

Kelima, sebagai orang muda terpelajar, mahasiswa gampang gelisah saat menyaksikan kondisi masyarakat di sekitarnya. Kegelisahan itu dipicu oleh kesenjangan antara kenyataan sosial dengan idealitas yang terbentuk di kepalanya.

Kemampuannya mencerap pengetahuan dan nilai-nilai mulia, baik yang didapatkan dari membaca maupun diskusi, menjadikan mahasiswa jenis ini tidak gampang puas melihat situasi soial di sekitarnya. Mereka gelisah, dan terus mencari saluran untuk menyampaikan kegelisahan sosial itu.  Nah, kegiatan pers mahasiswa dilihat mejadi salah satu pintu untuk menyalurkan kegelisahan sosial, meskipun mereka sudah aktif di organisasi ekstra maupun intra kampus yang lain.

Jadi, ada lima motif yang mendorong mahasiswa aktif di dunia pers mahasiswa: mengisi waktu luang, menambah pergaulan, mencari pacar, melatih diri, serta menyalurkan kegelisahan sosial. Urutan penyebutan kelima motif tersebut bukan menunjukkan kualitas atau kehebatan masing-masing motif. Motif mencari pacar misalnya, bukan lebih buruk daripada motif melatih diri; atau motif menyalurkan kegelisahan sosial lebih hebat daripada motif menambah pergaulan.

Ketika saya dan beberapa kawan  memimpin Balairung dan Bulaksumur, kami sepakat mengabaikan motif sebagai dasar penerimaan calon aktivis Balairung dan Bulaksumur. Alasannya sederhana: kami tidak mampu mendeteksi motif masing-masing calon. Kami baru mengetahui atau menyadarinya setelah para calon tadi bergabung dalam kurun waktu tertentu.

Kami juga meyakini, bahwa ketika hendak memasuki dunia pers mahasiswa, seorang mahasiswa tidak hanya memiliki motif tunggal. Bisa saja mereka yang berniat mengisi waktu luang, pada saat yang bersamaan juga hendak menyalurkan kegelisahan sosial. Atau sambil melatih diri menjadi penulis, terus berharap mendapatkan pacar.

Selain itu, kami juga percaya bahwa dinamika aktivitas pers mahasiswa dapat mengubah motif seseorang. Dari yang semula sekadar hendak menambah pergaulan, tiba-tiba melihat peluang untuk mengembangkan diri menjadi jurnalis. Atau, dari semula bertekad hendak menyalurkan kegelisahan sosial, tiba-tiba cepat puas ketika mendapatkan pacar.

Jika memang demikian halnya, lalu apa artinya bicara soal motif menjadi aktivis pers mahasiswa?

Saya tidak bisa menjawabnya secara langsung. Yang pasti, ketika pertama kali membaca judul dan daftar isi buku ini, yang terbetik di pikiran saya adalah perbincangan saya dan kawan-kawan pengelola Balairung dan Bulaksumur tentang mengapa masing-masing kita, dulu mau menjadi pengelola pers mahasiswa. Kami mengidentifikasi ada lima motif tadi.

Perbincangan macam itu tentu saja bukan monopoli kami yang di Balairung dan Bulaksumur. Para aktivis pers mahasiwa di kampus lain juga sering membahas soal motif menjadi aktivis. Selain sebagai bahan candaan dan saling mengejek, perbincangan soal ini juga penting untuk refleksi.

Kepada para yunior atau di forum-forum resmi, kita sering bicara soal idealisme pers mahasiswa yang harus dipahami dan diperjuangkan oleh para aktivis pers mahasiswa. Namun pada saat perbincangan santai, kita bisa jujur dengan diri sendiri. Sambil bercanda kita tahu, ternyata kawan kita dulu naksir berat sama kawan yang lain; atau, kita tahu kawan kita baru baca serius tentang buku-buku filsafat setelah dalam diskusi salah ngomong sehingga diketawain forum.

Paling tidak ada dua hal yang bisa kita petik ketika kita bicara motif menjadi aktivis pers mahasiswa: pertama, mengetahui adanya perbedaan karakter pribadi antara sebelum dan sesudah menjadi aktivis pers mahasiswa; kedua, mengetahui hasil pengembangan diri setelah menjadi aktivis pers mahasiswa.

Jika yang pertama, kita bicara soal sejauh mana para aktivis pers mahasiswa menyerap nilai-nilai pers mahasiswa, sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan menghadapi situasi sosialnya; yang kedua, kita bicara soal sejauh mana para aktivis pers mamhasiswa memiliki pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan dalam mengelola media. Kombinasi dua hal inilah yang menyebabkan aktivis pers mahasiswa memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan aktivis mahasiswa jenis lain.

Apabila kita percaya bahwa idealogi punya peran penting dalam mengarahkan kehidupan seseorang atau sekelompok orang, maka para aktivis pers mahasiswa sangat beruntung. Perjalanan panjang pers mahasiswa (mulai dari terbitnya majalah Indonesia Merdeka di Negeri Belanda pada 1920-an, hingga beredarnya beragam buletin, tabloid dan majalah anti-Soeharto pada 1990-an), telah melahirkan nilai-nilai perjuangan pers mahasiwa, yang bisa disebut sebagai idealogi pers mahasiswa.

Nilai-nila itu diturunkan dari generasi ke generasi, disempurnkan bahkan cenderung dibesar-besarkan kehebatan, keistimewaan dan kebenarannya (karena itu disebut idelogi). Tentu tidak ada yang salah dengan itu. Sebab, yang terpenting adalah ketika para mahasiswa memasuki dunia pers mahasiwa mereka mengatahui apa yang seharusnya dikerjakan oleh seorang aktivis pers mahasiwa.

Dunia pers mahasiwa menjanjikan banyak kegiatan. Menulis hanya salah satu kegiatan yang menonjol. Untuk bisa menulis baik, seorang aktivits pers mahasiwa harus banyak membaca dan berdiskusi. Aktivitas membaca dan diskusi yang tinggi ini menyebabkan aktivis pers mahasiwa tampak lebih pintar dibandingkan dengan aktivis kampus lain. Jika tidak lebih pintar, paling tidak lebih bebas berpikir, sehingga tidak mudah terjebak pada pembicaraan orang lain.

Kegiatan pers mahasiwa juga menawarkan pengembangan seni menulis, mendesain, menggambar dan memfoto. Sebuah dunia yang penuh tantangan bagi pengembangan diri, karena hasil karya para aktivis pers mahasiswa langsung bisa dilihat, dibandingkan bahkan dinilai oleh orang lain. Mereka yang menekuni dunia administrasi dan bisnis juga mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri dalam bidang sumberdaya manusia, manajemen, pemasaran, periklanan.

Semua itu menjanjikan, bahwa dunia pers mahasiswa mampu mengubah karakter para aktivisnya; dari seorang yang culun tak tahu apa-apa menjadi sosok yang responsif terhadap berbagai perkembangan masyarakat; dari seorang yang minderan menjadi percaya diri saat menghadapi forum atau bahkan massa; dari seorang yang tak bisa apa-apa menjadi pribadi yang tangguh menghadapi medan usaha.

Namun semua itu tetap menempatkan para aktivis pers mahasiswa sebagai manusia biasa. Manusia yang mempunyai rasa takut, cemas, cemburu, gelisah, sedih, senang, bangga dll. Pengalaman menjadi aktivis pers mahasiswa menjadi bekal penting untuk mengarungi hidup pascamahasiswa. Semua itu tampak nyata dalam buku Teknokra: Jejak Langkah Pers Mahasiswa.

Ikuti tulisan menarik Didik Supriyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu