Belajar dari Penurunan Tanah di Tokyo
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPenurunan tanah di Tokyo berhenti di sekitar tahun 1970 setelah muka air tanah dapat direhabilitasi ke level 10-20 tahun sebelumnya
Grafik warna merah pada gambar menunjukkan penurunan tanah yang terjadi di Kota Tokyo Jepang sejak tahun 1910 hingga 2010, sementara itu grafik warna kuningnya menunjukkan penurunan/kenaikan muka air tanah atau water table di akuifer di bawah tanah Kota Tokyo sana sejak tahun 1910 hingga 2010. Apabila kita perhatikan grafik yang berwarna merah, trend nya turun hingga sekitar tahun 1970 kemudian menjadi datar hingga tahun 2010. Sementara itu grafik yang warnanya kuning, trend nya turun hingga sekitar tahun 1970 kemudian trend nya menjadi naik hingga setara dengan kira-kira level 10-20 tahun sebelumnya, dan trendnya menjadi datar di tahun 2000-an hingga 2010. Apa penjelasan ilmiah mengenai hal ini, pelajaran apa yang dapat dipetik dari situ?
Penurunan tanah (land subsidence) adalah suatu fenomena alam yang banyak terjadi di kawasan binaan seperti Kota-Kota besar yang berdiri diatas lapisan sedimen, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Bangkok, Shanghai, Osaka, Tokyo, Venice, San Joaquin, Las Vegas. Apabila kita melihat Kota Jakarta, fenomena ini ternyata telah cukup lama dilaporkan terjadi di beberapa tempat di wilayah ini. Secara keseharian akibat dari adanya penurunan tanah di wilayah Jakarta memang sudah terasakan akhir-akhir ini yaitu antara lain dalam bentuk beberapa fenomena yang bersifat destruktif seperti : meluasnya daerah genangan banjir sebagai akibat dari timbulnya daerah-daerah amblasan atau cekungan banjir, terjadinya retak pada gedung/bangunan, miringnya bangunan, tidak berfungsinya saluran air, kerusakan sarana jalan, dan adanya penurunan kualitas lingkungan secara umum.
Secara teori, penurunan tanah diartikan sebagai gerakan muka tanah yang semakin rendah relatif terhadap suatu bidang referensi tertentu yang stabil. Arti lainnya menyatakan bahwa penurunan tanah itu tidak lain adalah penurunan muka tanah dalam fungsi waktu yang dicirikan oleh perubahan suatu titik (benchmark, pail) dipermukaan bumi. Selain terjadi di Kota-Kota besar yang berdiri diatas lapisan sedimen, penurunan tanah kerap terjadi disekitar wilayah ekploitasi minyak dan gas Bumi, di wilayah tambang bawah permukaan (underground mining), kawasan-kawasan Industri, serta di wilayah geotermal.
Di Tokyo penurunan tanah sudah tercatat semenjak awal 1900-an kemudian dari hasil monitoring ditemukan fakta penurunan tanahnya berhenti di sekitar tahun 1970-an. Hingga kini penurunan tanah di Kota Tokyo nilainya mendekati nol. Sementara itu di Jakarta penurunan tanah tercatat semenjak awal 1920-an dan dari hasil monitoring ditemukan fakta penurunan tanah masih berlangsung hingga hari ini. Dari tahun 1920 ke tahun 1974 nilai rata-rata penurunan per-tahunnya relatif kecil, namun sejak tahun 1974 hingga hari ini ini nilai rata-rata penurunan per-tahunnya cukup signifikan dengan trend grafik cenderung linier. Rata-rata penurunan paling besar dapat mencapai 15-20 sentimeter per-tahun. Tercatat hingga hari ini daerah Pluit sudah mengalami penurunan tanah hingga 4 meter, Pasar Ikan sudah mengalami penurunan tanah sekitar 2,5 meter, Kamal Muara sudah mengalami penurunan tanah lebih dari 2 meter, Kelapa Gading sudah mengalami penurunan tanah lebih dari 1.8 meter, belum lagi di tempat-tempat lainnya.
Mengapa penurunan tanah di Tokyo sudah berhenti, sementara di Jakarta masih berlangsung hingga hari ini, apabila kita tengok lagi grafik di atas, terlihat korelasi positif antara penurunan tanah dengan penurunan/kenaikan muka air tanah atau water table di akuifer di bawah tanah Kota Tokyo sana. Apabila muka air tanah terus turun, maka tanah di permukaannya akan ikut turun pula. Pertanyaan selanjutnya kenapa muka air tanah bisa terus turun, jawabannya karena air tanahnya terus diambil/disedot secara berlebihan. Pada tahun 1970-an di Kota Tokyo sudah dibuat aturan tidak boleh lagi dilakukan pengambilan air tanah sedikit pun, bahkan selain tidak diambil air tanahnya, air dari permukaan juga disuntikkan kedalam tanah dengan teknik artificial recharge, sehingga dapat dilihat di grafik trend nya sejak tahun 1970-an menjadi naik hingga setara dengan kira-kira level 10-20 tahun sebelumnya, dan trendnya menjadi datar di tahun 2000-an hingga 2010. Alhasil penurunan tanah di Kota Tokyo berhenti.
Dari studi penurunan tanah yang dilakukan selama ini, diidentifikasi ada beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu : pengambilan airtanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan (settlement), penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Untuk daerah minyak dan gas serta tambang bawah permukaan, eksploitasi minyak dan gas serta mineral tambang bawah permukaan juga merupakan faktor penyebab penurunan tanah. Dari faktor-faktor penurunan tanah ini, tiga faktor pertama (terutama masalah penggunaan air tanah) dipercaya berkontribusi dalam menyebabkan penurunan tanah. Bukti nyata sudah dapat di lihat di Tokyo, ketika air tanah banyak di ambil, maka permukaan tanahnya turun, namun sebaliknya ketika air tanah di stop pengambilannya, bahkan kembali disuntikkan ke dalam tanah, maka penurunan tanah dapat berhenti.
Jakarta harus belajar dari Tokyo. Apabila tanah di Jakarta terus turun maka diprediksi pantai Utara Jakarta di tahun 2050 berpotensi 95 % wilayahnya akan terendam oleh air laut. Hal ini tentunya bencana bagi Jakarta. Pengambilan air tanah di Jakarta mau tidak mau harus dihentikan! Regulasi faktanya sudah dibuat, namun belum berjalan efektif. Mengapa demikian, dikarenakan untuk mengganti air tanah dengan sumber air lainnya masih menjadi masalah di Jakarta. Faktanya untuk wilayah Jakarta sekarang saja kebutuhan akan air bersih baru bisa disediakan oleh Pemerintah sekitar 40 persen saja (secara catatan laporan), bahkan realitanya malah kurang dari nilai tersebut. Untuk itu mau tidak mau sudah saatnya untuk dilakukan tindakan penyediaan air baku dari waduk-waduk di selatan Jakarta seperti waduk Jatiluhur, waduk Krian, atau waduk lainnya dengan sistem penyaluran perpipaan, dikombinasikan dengan penampungan air hujan, water waste cycle system, penyulingan air laut, serta dilakukan juga upaya artificial recharge di area Jakarta. Kenapa Jakarta tidak bisa kalau Tokyo bisa.
Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Institut Teknologi Bandung
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pertarungan Paslon di Isu Reklamasi Pantai Jakarta
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBJanji Air Bersih untuk Warga DKI Jakarta
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler